Indonesia Defisit Neraca Perdagangan, Ini Bahayanya
Terhitung sejak pertengahan tahun 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$63,5 juta. Melihat kondisi tersebut, Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Handi Risza angkat bicara. Berikut hasil wawancara tim Humas pks.id dengan Handi Risza, Kamis (19/12/2019) di Gedung DPP PKS, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Apa yang menyebabkan neraca perdagangan Indonesia defisit?
Sampai dengan pertengahan tahun 2019 ini kita masih mengalami deficit neraca perdagangan, artinya baik nilai maupun pertumuhan impor kita itu masih besar dibandingkan ekspor kita, dampak lainnya adalah yang kita rasakan defisit neraca perdagangan ini telah membuat banyak sektor terutama sektor-sektor yang terkait dengan sumber daya manisa atau komoditas itu menjadi terhambat perkembanganya.
Kondisi ini tentu kami menilainya ada dua hal penyebabnya, pertama adanya Trade War perang dagang antara Amerika dan Tiongkok yang membuat demand atau permintaan terhadap barang-barang terutama komoditas itu melambat. Kedua, fundamental ekonomi nasional yang memang tidak sebaik yang diprediksi. Sehingga, kita tidak bisa memanfaatkan situasi atau kondisi Trade War ini untuk kita mendapatkan keuntunganan.
Dengan adanya defisit neraca perdagangan ini, apa dampak untuk perekonomian nasional?
Inikan bertahap ya, pertama defisit artinya uang yang kita miliki untuk membeli barang-barang impor itu jauh lebih besar, itu akan mempengaruhi neraca berjalan atau neraca transaksi berjalan, dimana uang yang keluar jauh lebih besar dibandingkan dengan uang yang masuk.
Jika kondisinya demikian maka akan berdampak pada posisi rupiah yang terganggu. Karena banyak modal yang tertarik keluar daripada yang masuk, sehingga ini rawan terjadinya rentanitas terhadap nilai tukar rupiah. Jadi, rupiah akan sangat mudah goyah, itu dari sisi moneternya ya.
Kemudian, dari sisi masyarakatnya sendiri seperti apa?
Tentu barang-barang impor semakin banyak, masyarakat kita akan disuguhi atau mengonsumsi barang impor yang seharusnya bisa kita konsumsi atau produksi sendiri disini. Sehingga kita tidak perlu melakukan impor barang-barang tersebut.
Sayangnya, dilapangan kita disajikan dengan realita bahwa ekspor kita juga tergantung kepada barang impor. Sebab, 90 persen dari barang impor yang masuk itu digunakan menjadi barang baku untuk ekspor. Nah, ini yang harus diputus kalau menurut saya. Rantai ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Sehingga, kita memiliki kemandirian dalam aktivitas ekonomi.
Mungkin saat ini kita belum bisa merasakan dampaknya secara langsung, namun jika dimasa mendatang kita secara makro akan merasakan ketimpangan ini. Kan akibat defisit ini juga akan membuat cadangan devisa kita berkurang, nilai tukar kita melemah dan parahnya fundamental ekonomi kita tidak sehat. Sehingga kita gampang terkena serangan krisis atau ekonomi dari Negara-negara yang kita bergantung kepadanya.
Jadikan kondisi saat ini (defisit neraca perdagangan-red) kan tidak terjadi secara tiba-tiba, tapi sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Artinya, kalau kita sebagai sebuah pemerintahan harus bisa mengantisipasi jauh-jauh hari. Cara mengantisipasinya dengan kebijakan.
Contoh beberapa tahun yang lalu, Tiongkok merelokasi pabriknya karena mungkin dirasa sudah tidak efisien lagi. Yang dipilih itu Negara-negara tetangga kita, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Tidak ada satupun yang masuk ke Indonesia.
Inikan menandakan bahwa kita punya masalah sehingga mereka tidak mau masuk ke kita. Bisa saja soal upah buruh yang tinggi, lahan atau pembebasan lahan yang rumit atau regulasi-regulasi yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Harusnya, ini disadari oleh pemerintah, untuk membuat regulasi yang mudah membuat para investor datang ke Indonesia.
Kedua, bagaimana kita bisa menyediakan kawasan-kawasan yang secara komprehensif dekat dengan bahan baku, upah buruhnya bersaing, dan ada intensif yang diberikan pemerintah. Serta menata kembali kebijakan industri kita yang memang beberapa tahun terakhir terlihat agak kedodoran dalam menghadapi tingkat persaingan global yang semakin kompetitif, Mungkin dulu kita tidak pernah membayangkan harus bersaing dengan negara seperti Vietnam dan Kamboja. Sekarang, mereka sudah jauh lebih maju ditimbang kita.
Kemudian, saya melihat kita sudah baik dalam melakukan pengetatatan dari sisi fiskal tapi dari sisi sektoral tidak terlihat. Artinya pemerntah menjaga betul anggaran kita itu defisitnya tidak terlalu besar, penggunaan hutang terkelola dengan baik, keseimbangan primer kita mengecil tapi sisi sektoralnya ini belum keliatan progresnya. Harusnya ini berdampak pada perbaikan di sektor riilnya juga.
Sehingga yang sudah baik di fiskal ini akan berdampak pada sektor ril. Pemerintah juga harus mulai berani untuk misalkan kalau kita bertahan dengan angka defisit diangka 1,7-1,8 tidak apa-apa sedikit dilebarin asal jangan melebihi 3%. Saya rasa perekonomian itu akan mulai bergairah kembali. Sehinga ini akan mendorong banyak investor atau penggiat aktivitas ekonomi untuk bisa menggerakan kembali sektor ekonomi ini. Sebab jika tidak demikian, maka rantai masalah ini tidak akan putus.
Kemudian, kita juga memerlukan investasi langsung atau PMA (Penanaman Modal Asing) ketimbang portofolio, sehingga keliatan gitu orang nanam modal dikita. Ada pabriknya, ada lapangan pekerjaan yang dia buka. Sehingga itu memberikan dampak pada perekonomian untuk semakin besar. Bagaimana caranya agar PMA ini semakin bertambah bukan malah mundur satu persatu. Ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah.
Kita juga menyambut baik rencana pemerintah untuk membuat omnibus law untuk merampingkan semua peraturan yang ada. Atau pemerintah membuat atau akan mereformasi peraturan perpajakan. Ini juga harus segera. Tetapi harus dengan semangat memperbaiki, bukan hanya tambal sulam saja.