Diskusi Catatan Akhir Tahun, Ekomarin: Ada Celah yang Ingin Dimanfaatkan oleh Pemerintah dari Omnibus Law

Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), Marthin Hadiwinata.
Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), Marthin Hadiwinata.

Jakarta (29/12) - Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) Marthin Hadiwinata mengatakan, Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tidak legitimate. Hal ini terlihat dari sangat buruknya proses pembentukan UU Omnibus Law tersebut. Demikian disampaikan Hadi, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Catatan Akhir Tahun 2021 DPP PKS, di akun Instagram @PK_Sejahtera, Senin (27/12/2021).

"Dari proses pembentukannya saja MK sudah menyatakan tidak melakukan partisipasi yang sebenar-benarnya kepada rakyat atau mining full participation. Dari satu hal itu saja sebenarnya sudah bisa kita katakan bahwa UU Cipta Kerja ini tidak legitimate, tidak legitimate untuk mengurus seluk beluk kehidupan rakyat Indonesia," kata Hadi.

Kedua terkait dengan substansi. Mneurut Hadi, secara substansi UU Cipta Kerja tidak ada niatan untuk melindungi pekerja perikanan, khususnya nelayan kecil, nelayan tradisional dan pekerja perikanan lainnya. "Kalau dalam hukum itu ada original inten, original inten dari UU Cipta Kerja adalah tiga hal turunan dari, satu kebijakan dunia saat ini kebijakan bank dunia dan IMF yaitu Neo Liberal. Dalam konteks yang pertama privatisasi kemudian investasi kemudian ketiga globalisasi," jelas Hadi.

Terkait privatisasi, hajat hidup orang banyak seharusnya diserahkan pada swasta. Dan swasta adalah jalan salah satunya bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan, padahal seharusnya tidak seperti itu memahaminya. "Saya sangat yakin teman-teman di PKS sangat paham bahwa swasta bukan segala-galanya untuk menjadi jalan kesejahteraan rakyat indonesia," imbuh Hadi.

Kedua investasi. pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) itu memaparkan, yaitu ada keinginan untuk menarik modal sebanyak-banyaknya ke Indonesia, tapi yang terjadi adalah 'karpet merah' dan cenderung tidak melindungi kepentingan rakyat Indonesia. "Salah satu dalam isu perikanan akhirnya turunlah sistem kuota. Sistem kuota ini pada akhirnya adalah privatisasi pada sumber daya perikanan," papar Hadi.

Terkahir yaitu globalisasi. Hadi menjelaskan, ada anggapan bahwa birokrasi Indonesia dianggap tidak efisien dan tidak efektif sehingga harus dipangkas perizinan sebanyak-banyaknya. Sehingga, lanjut Hadi, modal masuk dan salah satu pendekatan yang dipercayai dan diyakini adalah trickle down effect, bahwa investasi yang masuk ke Indonesia dengan cara globalisasi itu ada tetesan-tetesan keuntungan yang akan diterima oleh rakyat Indonesia, akan tetapi sebetulnya itu semua adalah mitos.

"Mitos-mitos yang dibangun oleh bank dunia IMF yang kemudian diterima mentah-mentah oleh pemerintahan hari ini dan diturunkan menjadi bentuk-bentuk ya omnibus law ini," ujar Hadi.

Di sektor perikanan misalnya, Hadi mengungkapkan, sangat terlihat jelas dimana sanksi-sanksi perikanan berubah menjadi denda, kemudian bentuk-bentuk perizinan yang lain menjadi dipermudah tetapi sebenarnya berusaha untuk tidak melindungi perikanan nelayan. "Khususnya nelayan kecil, salah satunya adalah bagaimana infrastruktur di pesisir laut akan sangat dipermudah tapi tidak ada niatan untuk melindungi nelayan kecil atau nelayan tradisional yang wilayah tangkapnya memang tidak lebih dari 12 mil," ungkap Hadi.

Tak lupa Hadi mengucapkan terima kasih kepada PKS yang konsisten menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam keputusan MK, masih kata Hadi, menurut pandangannya itu adalah keputusan yang setengah hati, kalau dinyatakan inkonstitusional seharusnya dinyatakan tidak berlaku lagi, tetapi malah dibuat bersyarat. "Jadi setengah hatinya ini bersyaratnya itu. Walaupun dalam bacaan saya, saya sendiri salah satu yang termasuk dalam pemohon bersama teman-teman Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dan lain-lain yang tergabung dalam KEPAL, kami mengajukan uji materil juga terhadap UU Cipta Kerja juga, tetapi memang tidak menjadi yang diputus, dan dalam putusan kami itu dinyatakan bahwa objeknya sudah tidak ada lagi, tidak berlaku lagi, sehingga yang kita baca adalah UU Omnibus Law ini seharusnya sudah tidak berlaku," ujar Hadi.

"Ini menurut saya ada celah-celah yang ingin dimanfaatkan oleh Pemerintah yang menurut saya itu tidak elok lah sebagai negarawan seharusnya melihat untuk kebaikan bersama di tengah situasi pandemi seperti ini seharusnya kebijakan-kebijakan yang posisinya sangat bisa mengubah konselasi ekonomi dan politik Indonesia seharusnya dihentikan dulu, karena situasi ekonomi kita sedang berantakan," pungkas Hadi.