Dicari, Pemimpin Berkarakter dan Kuat!

Anggota DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera
Anggota DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera

Jakarta (11/10) -- Kebijakan Pemerintah yang menaikkan harga Premium namun membatalkannya satu jam kemudian, menggambarkan lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Indonesia memerlukan pemimpin yang kuat dan berkarakter, bukan pemimpin yang mencla-mencle.

"Untuk mengelola 260 juta rakyat dengan kekayaan alam yang luar biasa, tentu bukan urusan yang mudah. Diperlukan kepemimpinan yang kuat. Cirinya adalah ketegasan," kata Anggota DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera kepada INDOPOS di Jakarta, Kamis (11/10/2018).

Dikatakan, kepemimpinan yang tegas dibutuhkan dalam mengelola sumber daya alam dan kandungan energi yang ada di dalam perut bumi Indonesia. "Yang tegas dalam menjaga kedaulatan demi kesejahteraan rakyat, bukan membiarkan asing mengelola kekayaan alam negeri ini," cetus Mardani.

Untuk itu, Mardani yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandi ini berpendapat, Pilpres 2019 mendatang adalah ikhtiar untuk mendapatkan pemimpin yang tidak gamang, tidak bimbang alias menclea-mencle dalam membuat keputusan.

"Pemimpin yang tegas, ketika berkata A, itu adalah dari pertimbangan yang dalam. Dan setelah diputuskan, mantap, tak lagi dikoreksi," ucapnya.

Selain itu, tambahnya, diperlukan pemimpin yang bisa mengkoordinasikan menteri-menterinya. Agar tak ada keributan di depan publik yang malah membikin bingung masyarakat.

"Seperti halnya dari polemik impor beras, kasus larangan ojek online, hingga yang terbaru soal kenaikan BBM. Kita berharap perbedaan komentar antarmentri yang seperti itu tak ada lagi setelah pilpres 2019. Setelah kita mensukseskan gerakan tagar 2019 Ganti Presiden," pungkasnya.

Terpisah, Koordinator Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak mengapresiasi kebijakan Presiden Joko Widodo yang menunda kenaikan BBM dengan alasan daya beli masyarakat.

"Saya apresiasi presiden yang akhirnya mengakui ada masalah dengan daya beli masyarat Indonesia. Memang selama pemerintahan beliau, daya beli masyarakat tidak mengalami perbaikan," ucap Dahnil kepada INDOPOS, Kamis (11/10/2018).

Dahnil pun berharap, di sisa waktu kepemiminannya ini, Presiden Jokowi tidak membuat kebijakan yang menyengsarakan masyarakat khususnya kalangan kurang mampu.

Dahnil menyoroti kelemahan koordinasi yang terjadi di pemerintahan Jokowi dalam mengumumkan rencana kenaikan harga premium. Menurutnya, bukan kali ini saja Jokowi kurang koordinasi dengan para menterinya dalam menentukan kebijakan.

"Saya berharap Pak Jokowi sebagai presiden di waktu yang tersisa, tidak mengulangi terus menerus kepemimpinan yang miskin perencanaan dan koordinasi seperti yang beliau tunjukkan selama ini," ujarnya.

Masih kata Dahnil, apa yang diperlihatkan Jokowi berimbas ke para pembantunya dan menunjukkan buruknya koordinasi antara pimpinan dan lembaga di bawahnya.

"Dampaknya, mempermalukan pemerintahan dan mengorbankan anak buah tanpa ada kata maaf sama sekali," pungkas Dahnil.

Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean turut memberi komentar kepada pemerintah. Ia menyebutkan bahwa rezim yang berkuasa adalah rezim senda gurau. Mengurus negara tanpa ada kordinasi dan semua berjalan semaunya.

"Ini rezim sendagurau. Menteri umumkan BBM Naik, Presiden membatalkan, Staff9sus Menteri BUMN menyatakan Pertamina tidak siap, Pertamina malah menyatakan tidak tau menahu kenaikan harga BBM," ucapnya.

Kritikan pedas yang datang dari kubu oposisi ini disayangkan oleh Ketua DPP PDIP Arteria Dahlan. Ia berpendapat, kubu oposisi lebih banyak mengkritik tanpa melihat fakta.

"Saya menyayangkan setiap kebijakan Pak Jokowi oleh Kubu Prabowo-sandi selalu dihadirkan dengan mendasarkan pada bangunan prasangka, menihilkan fakta, miskin logika dan jauh dari kewarasan berpikir," ucapnya.

Menurut Arteria, kubu Prabowo-Sandi amat naif mengaitkan penundaan kenaikan harga BBM jenis premium oleh pemerintah dengan kontestasi Pilpres 2019.

"Bahkan mereka sama sekali tidak menduga Pak Jokowi berani untuk menunda menaikkan BBM di tengah konferensi IMF-World Bank. Ini bentuk konkret kedaulatan negara, keberanian Pak Jokowi hadir dalam memastikan liberalisasi ekonomi global harus tunduk pada komitmen kebangsaan, apapun resikonya," cetusnya.

Anggota DPR RI ini menekankan pembatalan kenaikan BBM ini diapresiasi, bukan dikomentari dengan sentimen negatif.

"Ini komitmen kebangsaan yang terjabarkan dalam kebijakan pemerintahan yang berwatak kerakyatan," ucapnya.

Dalam kondisi sesulit apapun, lanjut Arteria, Presiden Jokowi selalu berpesan kepada partai pendukung pemerintah serta kementrian lembaga untuk memastikan, bahwa semua yang menyangkut hajat hidup orang banyak, wajib hukumnya terjangkau.

"Jadi saya menolak keras kalau dikatakan bahwa rezim Jokowi miskin perencanaan. Dalam perspektif apa? Siapa yang bicara? Siapa dia, dan dalam kapasitas sebagai apa? Kalau gak ngerti ekonomi, gak paham apa saja yang sudah dikerjakan, dan bagaimana perekonomian global bergerak dengan turbulensinya. Maka jangan asal bicara. Jadi kelihatan bodohnya dan bahkan gak intelek," tegas Arteri.

Dalam perspektif fiskal negara, penundaan kenaikan harga premium dilakukan lantaran pemerintah melihat kenaikan dolar dan harga minyak dunia masih ditangani dengan risiko fiskal yang sudah diprediksi.

"Jadi clear tidak diperlukan menaikkan harga BBM jenis premium," tandasnya.

Pembatalan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, menimbulkan silang pendapat di masyarakat. Di satu sisi, sejumlah pihak menganggap BBM subsidi masih sangat dibutuhkan masyarakat. Sehingga dengan tidak menaikan harga BBM subsidi akan sangat membantu masyarakat.

Namun di lain pihak, ada juga yang menyoroti kementerian apa sebenarnya yang diberi wewenang sebagai kepanjangtanganan pemerintah untuk menaikan harga BBM. Itu karena di media ramai diberitakan Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN ikut menanggapi.

"Siapakah yang berhak menentukan harga BBM tertentu bersubsidi dan penugasan apakah Menteri ESDM atau Menteri BUMN, silahkan baca Perpres. Dalam Perpres nomor 191 tahun 2014 dan Perpres nomor 43 tahun 2018, sudah jelas kewenangannya Menteri Menteri ESDM sesuai pasal 14," ujar Direktur eksekutif Center of Energy and resources Indonesia Yusri Usman, Kamis (11/10/2018).

Ia menambahkan, pada ayat 9 ditegaskan, Menteri menetapkan harga eceran jenis BBM Tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan sebagaimana disebut ayat 1 dan 8 berdasarkan rapat kordinasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian. Dalam hal terdapat perubahan harga.

"Sehingga publik memahami bahwa kebijakan Menteri ESDM telah melalui prosedur tersebut. Kalau katanya tidak, tentu ada keanehan mengapa bisa terjadi," beber Yusri. Lebih lanjut ia mengatakan, terkait pembatalan kenaikan BBM, Pertamina berpotensi merugi. "Kebijakan Jokowi membatalkan kenaikan harga Premium tanggal 10 Oktober 2018, tentu akan berpotensi Pertamina mengalami kerugian," jelas Yusri.

Menurutnya, harga ke ekonomian Premium Oktober 2018 adalah Rp 9.991,70 perliter, Sementara harga jual Premium selama ini oleh Pertamina Rp 6.550 perliter.Maka kira-kira potensi kerugian Pertamina dari Oktober sampai dengan Desember 2018 akan diperoleh potensi kerugian Pertamina dari jual Premium, Pertalite dan Solar. Untuk Premium Rp 9,991.70 dikurang Rp 6.550 = Rp 3,441.70 perliter. Sedangkan Pertalite, harga ke ekonomian sekitar Rp 10.100, perliter dikurangi harga jual Rp 7.800 perliter , maka kerugian Rp 10.100-Rp 7.800 = Rp 2.300 perliter. Harga Solar setara dengan Premium yaitu Rp 9.990.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengungkapkan, keputusan penundaan ini terjadi usai Menteri BUMN Rini Soemarno melakukan koordinasi dengan PT Pertamina (Persero). Dari Pertemuan itu, perseroan menyampaikan ketidaksiapannya dalam menaikkan harga BBM. Hal itu lantaran pada hari yang sama Pertamina juga telah menaikkan harga BBM jenis pertaseries yakni Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Biosolar Non PSO.

"Oleh karena itu Bu Menteri (BUMN Rini Soemarno) mengkroscek dengan Pertamina dan (Pertamina) menyampaikan bahwa kami tidak siap untuk melakukan dua kali kenaikan dalam waktu satu hari. Jadi perlu waktu," katanya.

Sumber: indopos.co.id