Berpotensi Langgar Konstitusi, PKS Tolak Perppu No.1 Tahun 2020

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI Ecky Awal Muharam
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI Ecky Awal Muharam

PENDAPAT MINI

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN

PEREKONOMIAN NASIONAL

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang Kami Hormati,

Pimpinan dan Anggota Badan Anggaran DPR RI

Menteri Keuangan RI dan Menteri Hukum dan HAM RI beserta segenap jajaran

Gubernur Bank Indonesia, Ketua OJK, Ketua LPS beserta segenap jajaran

serta Hadirin sekalian yang berbahagia

Pertama-tama, perkenankan kami mengajak hadirin sekalian untuk senantiasa memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita semua dapat menghadiri Rapat Kerja dalam rangka Pendapat Fraksi-Fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Pada Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, kita juga mengajak hadirin untuk memohon kepada Allah SWT agar diberikan kekuatan untuk menghadapi bencana pandemi Covid-19 serta segera diberikan jalan keluar terbaik, sehingga kita dapat bersama-sama merealisasikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23 Ayat 1.

 

Hadirin sekalian yang Kami Hormati,

Dalam menyikapi hasil pembicaraan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan PERPPU No. 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, Fraksi PKS memandang perlu untuk memberikan beberapa catatan, sebagai berikut:

 A. Potensi Melanggar Konstitusi

1. Fraksi PKS berpendapat bahwa PERPPU No. 1 Tahun 2020 berpotensi melanggar konstitusi disebabkan beberapa pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini terkait dengan kekuasaan Pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan terkait kerugian keuangan Negara, sebagai berikut: Pertama, PERPPU di Pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Hal ini telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam Undang-Undang atau yang setara. Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23 ayat 1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. Kemudian, RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD NRI Tahun 1945.

Isi lengkap Pasal 23 UUD NRI 1945:

(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.*** )

(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. ***)

(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.***)

2. Kedua, PERPPU di Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan PERPPU ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Maka hal ini bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum.  Padahal UUD NRI Tahun 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. UUD NRI tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini tertuang dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 1 ayat (3): “Bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Pasal 27 ayat (1): “Bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Pasal 28D ayat (1):Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

3. Ketiga, PERPPU Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Maka hal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara dan meniadakan adanya peran BPK untuk menilai dan mengawasi. Padahal Peran BPK untuk memeriksa tanggung jawab keuangan adalah amanat konstitusi, sesuai dengan Pasal 23 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.

Bunyi Pasal 23 E:

(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.*** )

(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.*** )

(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.*** )

4. UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin adanya distribution of power sehingga mekanisme check and balances dapat bekerja dengan baik. Bahwa DPR Memegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 20 ayat 1) dan memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan (Pasal 20A ayat1). Sedangkan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4 ayat 1) dan bahwa MK dan MA memiliki Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1). Serta bahwa ada 10 lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, KY, BPK, Bank Sentral, dan KPU). Dengan memperhatikan jaminan yang dikokohkan dalam UUD NRI Tahun 1945 terkait tentang supremasi Hukum, Pembentukan Undang-Undang, Pembentukan APBN, juga hak dan kewajiban Lembaga-lembaga negara, maka beberapa Pasal krusial dalam PERPPU No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan berpotensi melanggar UUD NRI Tahun 1945.

5. Fraksi PKS berpendapat terkait adanya potensi pelanggaran atas UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) masih membutuhkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya untuk mereduksi berbagai potensi terjadinya penyimpangan kekuasaan, Pemerintah dan KSSK harus menyiapkan kebijakan yang jelas dan akuntabel termasuk terkait penggunaan anggaran negara dalam rangka menghadapi bencana pandemi Covid-19. Kebijakan dan pelaksanaanya harus menganut prinsip tata kelola yang baik dan dapat memitigasi adanya abuse of power yang melahirkan terjadinya moral hazard.

B. Terkait UU dan Kebijakan Fiskal

6. Fraksi PKS berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 28 PERPPU No. 1 Tahun 2020 sejumlah pasal peraturan perundangan yang terkait dinyatakan tidak berlaku sehingga berpengaruh pada sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter. Peraturan perundang-undangan yang terkait tersebut antara lain: UU Keuangan Negara, UU APBN 2020, UU MD3, UU Perpajakan, UU Bank Indonesia, UU OJK, UU LPS, UU Pemda, UU Desa, UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, UU Kesehatan, UU Perbendaharaan Negara dan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Mengakibatkan begitu banyak peraturan perundangan yang dinyatakan tidak berlaku dalam PERPPU tersebut. Fraksi PKS berpendapat bahwa hal tersebut membuat kewenangan Pemerintah menjadi sangat besar dan tidak terbatas. Sehingga berpotensi menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse of power) dan dapat merusak sistem tata kelola APBN, Keuangan negara dan moneter yang baik. PERPPU ini sudah berlaku secara otomatis saat disahkan Presiden dan sudah merubah sistem tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter dengan jangka waktu yang tidak pasti. Hal ini diakibatkan tidak ada limitasi waktu terkait PERPPU ini atau jangka waktunya bersifat fleksibel, berdasarkan Pasal 29 dan Pasal 28 PERPPU. Konsekuensi lain tidak adanya batas waktu berlakunya, membuat rencana penanggulangan Pandemi COVID-19 tidak memiliki rencana waktu dan target yang jelas sebagai pedoman resmi yang harus dipatuhi oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Pandemi COVID-19. Pertanggung-jawaban anggaran yang disediakan oleh APBN menjadi bias dan tidak terukur. Selain itu, pasal-pasal UU yang dinyatakan tidak berlaku oleh PERPPU, tidak bisa digunakan sepanjang PERPPU masih berlaku.

7. Fraksi PKS mencermati terkait dengan Batas Atas Defisit yang tidak ditentukan akan mereduksi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan Negara. PERPPU No. 1 Tahun 2020 dalam Pasal 2 menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut: “(1) melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022”. Dalam klausul pasal tersebut di atas hanya menyebutkan melampaui 3% dari PDB, tetapi tidak menjelaskan batas atasnya. Fraksi PKS berpendapat tidak adanya Batas Atas penentuan defisit APBN terhadap PDB, berpotensi menjadi tidak terkontrol. Sehingga akan dapat membuat belanja APBN menjadi tidak prudent atau memenuhi unsur kehati-hatian dan membengkaknya utang. Selain itu juga berisiko dimasukkan kepentingan-kepentingan belanja lainnya yang tidak tepat dan tidak perlu. Batas atas defisit diperlukan agar adanya kepastian hukum, dan agar risiko keuangan akibat defisit menjadi terukur dan managable.

8. Fraksi PKS berpendapat Pemerintah tetap perlu menetapkan batas defisit anggaran. Tanpa ada batas atas dikhawatirkan defisit akan membengkak tanpa ada mekanisme control yang kuat. Perlu menjadi catatan rasio utang PDB sudah mencapai 30%, serta kemampuan bayar Indonesia pada dasarnya rendah, karena tax ratio Indonesia yang hanya berkisar antara 10-11%. Lebih lanjut, saat ini beban dari bunga utang sudah sangat besar dalam APBN. Sekitar 11,6% dari total belanja Pemerintah adalah untuk membayar cicilan bunga utang. Artinya kondisi utang Indonesia tidak dalam keadaan yang cukup baik. Terlebih, selama lima tahun terakhir rasio utang terhadap PDB terus mengalami peningkatan, yang artinya pertumbuhan utang jauh melebihi pertumbuhan produksi. Oleh sebab itu, tambahan utang di era krisis seperti saat ini perlu dikendalikan dan direncanakan dengan baik. Fraksi PKS mengingatkan di saat resesi seperti sekarang, biaya utang Pemerintah sangatlah tinggi. Hal tersebut terlihat dari data Indonesia Government Bondy 10Years. Pada 5 Maret, 3 hari setelah pengumuman pasien Covid-19 pertama, yield Indonesia masih pada level 6,54%, saat ini terus meningkat mencapai 8%. Artinya, Ketika defisit tidak dikontrol dengan baik, maka beban utang, karena tingginya bunga, akan terus membengkak, yang pada akhirnya akan menjadi beban bagi anak cucu kelak.

9. Fraksi PKS berpendapat bahwa program pemulihan ekonomi (economic recovery) hanya bisa berjalan ketika Rakyat berhasil diselamatkan. Sehingga insentif pemerintah terhadap kesehatan dan Jaminan Sosial adalah hal yang penting dan sangat mendesak dan harus menjadi prioritas sebelum program pemulihan ekonomi. Pemerintah telah berencana untuk memberikan tambahan belanja dan pembiayaan sebesar Rp405,1 triliun yang terdiri atas insentif kesehatan Rp75 triliun, insentif sosial safety net Rp110,1 triliun, insentif terhadap industri Rp70,1 triliun, dan insentif pemulihan ekonomi Rp150 triliun. Namun hal tersebut menjadi tidak konsisten karena jumlah insentif Kesehatan dan Insentif Jaminan sosial lebih kecil dari insentif pemulihan ekonomi dan insentif industri yaitu sebesar Rp185 triliun dan Rp220,1 triliun. Fraksi PKS mendorong agar pemerintah dapat konsiten untuk fokus terlebih dahulu kepada penanganan Pandemi COVID-19 dan jaminan sosial. Fraksi PKS mencatat bahwa Insentif pemulihan ekonomi mendapat porsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan insentif kesehatan, dan insentif jaminan sosial yaitu Rp75 triliun dan Rp110 triliun. Fraksi PKS berpendapat bahwa insentif pemulihan ekonomi sebesar Rp150 triliun perlu direncanakan dengan detail bersama dengan DPR RI serta stakeholder terkait. Fraksi PKS mendesak agar pemerintah dapat memberikan perancanaan penggunaan insentif pemulihan ekonomi kepada publik lebih detail lagi dan memastikan tata kelola penggunaan insentif tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan keuangan negara. Fraksi PKS juga menilai anggaran kesehatan dan anggaran bantuan sosial secara umum masih kurang memadai.

10. Fraksi PKS mempertanyakan program pemulihan ekonomi nasional (Pasal 11) serta anggarannya yang mencapai Rp 150 Triliun. Pemerintah mengatakan bahwa anggaran tersebut merupakan “below the line” yang dimasukkan pada kategori pembiayaan investasi Pemerintah. Fraksi PKS mengkritisi bentuk pemulihan yang dipilih oleh Pemerintah berupa penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan penjaminan. Ketiga model program tersebut memiliki potensi penyelewengan yang tinggi apabila tidak diatur secara rinci. Model pemulihan tersebut memerlukan target dan parameter yang jelas, yang hingga saat ini belum disediakan oleh Pemerintah. Pemerintah belum memberikan penjelasan mengenai mekanisme PMN, penempatan investasi serta penjaminan yang akan dilakukan, serta sasaran strategisnya. Pemerintah belum memperinci siapa yang layak mendapatkan penjaminan, sektor apa saja, dan Lembaga keuangan yang akan ditugaskan untuk menyalurkan penjaminan. Fraksi PKS berpendapat hal ini dapat membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan tersebut akan dinikmati oleh pihak-pihak tertentu saja.

11. Fraksi PKS berpendapat aturan yang memperbolehkan Bank Indonesia surat berharga negara di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan Pemerintah dapat ditinjau Kembali. Setidaknya terdapat dua isu besar, pertama, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan inflasi yang tinggi. Fraksi PKS menilai angka inflasi bisa lebih tinggi karena sumber tekanan cukup banyak. Tekanan pertama berasal dari ketersediaan pangan di daerah, yang pada akhirnya mendoring inflasi volatile food. Apalagi, saat ini, jalur distribusi di beberapa daerah terputus karena penutupan sementara. Selain itu, harga bahan pangan juga akan melambung karena gagal panen karena musim penghujan. Jika sejak awal pemerintah memiliki sistem penyimpanan bahan pangan (stock) yang baik, maka persoalan inflasi tidak akan serumit saat ini. Kedua, pembelian asset Pemerintah oleh Bank Indonesia dalam skala besar dikhawatirkan justru akan menimbulkan persepsi negatif, seperti buruknya stabilitas keuangan nasional dan potensi inflasi tinggi. Persepsi negatif tersebut dapat mendorong investor keluar, sehingga menyebabkan capital flight. Hal tersebut pada akhirnya dapat memperburuk cadangan devisa dan semakin memperlemah nilai tukar rupiah.

12. Fraksi PKS berpendapat bahwa PERPPU, maupun aturan turunannya, Perpres 54/2020, tidak memberikan komitmen yang jelas mengenai anggaran penanganan wabah Covid-19. Pemerintah berulangkali menyatakan akan menggelontorkan Rp 405 Triliun, akan tetapi angka tersebut tidak pernah tercantum dalam berbagai aturan yang telah diturunkan. Fraksi PKS mendorong Pemerintah untuk lebih transparan dalam hal realokasi dan kebijakan anggaran dalam penanganan wabah Covid-19.

13. Fraksi PKS menilai bahwa kebijakan PERPPU memiliki ketidak-jelasan keberpihakan terhadap kelompok Masyarakat Mendekati Miskin, Rentan dan Terdampak. PERPPU No. 1 Tahun 2020 tidak memberikan banyak ruang bagi perlindungan masyarakat berpenghasilan terendah yang terdampak yang belum masuk pada program PKH dan Kartu Sembako. Bahkan tidak ada satu pasal secara eksplisit yang terkait dengan kebijakan terhadap kelompok masyarakat mendekati miskin, rentan dan terdampak tersebut. Sehingga alokasi Rp405 triliun dikhawatirkan tidak akan banyak membantu bagi kehidupan mereka dan juga pada masa pemulihan nantinya.

14. Fraksi PKS menilai bahwa PERPPU masih kurang berpihak terhadap UMKM dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional. PERPPU No. 1 Tahun 2020 mengatur mengenai pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Sebagaimana terdapat dalam pasal 11 ayat (1)-(7) bahwa pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional lebih banyak terkait dengan pemulihan BUMN dan investasi Pemerintah. Tidak banyak menyebutkan mengenai program pemulihan UMKM dan sektor usaha, padahal sektor ini menghimpun 59,2 juta pengusaha. Fraksi PKS berpendapat bahwa seharusnya pemulihan UMKM menjadi prioritas utama pemulihan ekonomi nasional. Fraksi PKS meminta pemerintah agar sektor UMKM menjadi prioritas utama dalam membantu menghadapi dampak ekonomi akibat COVID-19. UMKM adalah sektor yang paling banyak merasakan dampak selama penangangan COVID-19. Mulai dari terhambatnya aktivitas produksi, penjualan hingga masalah permodalan. Seharusnya ini menjadi kesempatan bagi Pemerintah untuk memperkuat posisi UMKM bagi Perekonomian nasional, sehingga pasca COVID-19 nantinya, UMKM bisa tumbuh dan berkembangan menjadi sumber pertumbuhan baru dan lokomotif bagi perekonomian nasional.

15. Fraksi PKS berpendapat bahwa risiko Moral hazard dan adverse selection dapat terjadi melalui PERPPU ketika perbuatan abuse of power tidak mendapatkan ancaman hukuman atau sanksi. Kesalahan yang dilakukan baik disengaja ataupun akibat kelalaian (neglience) yang dilakukan oleh pengambil kebijakan atau pelaksana kebijakan dapat merugikan rakyat. Sehingga Pemerintah perlu untuk menyiapkan pengaturan dan tata kelola yang lebih detail untuk menghindari dan memitigasi risiko-risiko tersebut.

C. Terkait Sistem Keuangan

16. Fraksi PKS berpendapat bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 telah membuka peluang terjadinya kebijakan bail-out atau penyelamatan sektor keuangan dengan keuangan negara yang bersifat tidak adil. Hal tersebut terungkap pada Pasal 16 (1) dimana Bank Indonesia diberi kewenangan untuk: (a) memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik; (b) memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK; dan (d) membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Fraksi PKS menilai bahwa bailout memunculkan ketidakadilan bagi rakyat, dan seharusnya skema penyelematan bank melalui peran pemegang saham atau group konglomerasinya (bail-in) sebagaimana disebutkan pada UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK seharusnya tetap digunakan dan diutamakan. Hal ini disebabkan pemilik bank merupakan konglomerat di negeri ini. Bisnisnya pun menjamur ke sektor-sektor lainnya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mampu menggunakan skema bail-in.

17. Fraksi PKS berpendapat bahwa skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998. Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 triliun ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan. Segelintir kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang. Mereka tetap memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan mempengaruhi lanskap sosial dan politik hari ini. Fraksi PKS menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, lembaga keuagan, atau perusahaan lainnya.

18. Fraksi PKS berpendapat bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 memunculkan potensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya (blanket guarantee) pada melukai keadilan dan berpotensi memunculkan moral hazard. Pada Pasal 20 disebutkan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sementara pada pasal 22 (1) ditegaskan bahwa untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. Dengan penjaminan penuh (full guarantee) maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin oleh pemerintah. Tentu, hal ini berpotensi memunculkan moral hazard.

19. Fraksi PKS mendesak agar tindakan-tindakan free rider dengan alasan kedaruratan dapat dimitigasi oleh Pemerintah untuk pencegahannya. Fraksi PKS mengingatkan bahwa terjadinya aksi free rider dapat sangat melukai hati rakyat Indonesia terutama masyarakat miskin dan rentan yang paling merasakan risiko kesehatan dan beban ekonomi akibat terjadinya Pandemi COVID-19. Pemerintah harus berhati-hati, bangsa Indonesia tentu tidak ingin kejadian kasus keuangan seperti skandal BLBI ataupun skandal Century terulang lagi. Selain itu, Insentif dan stimulus yang dikeluarkan harus mendapat pengawasan yang kuat. Jangan sampai insentif dan stimulus dari APBN seperti bantuan sosial, BLT, Bantuan Ekonomi Produktif, Program Keluarga Harapan, relaksasi pajak dan seterusnya pada masa seperti ini menjadi tidak tepat sasaran dan tidak tepat peruntukannya.

20. Fraksi PKS berpendapat bahwa pembelian SBN di pasar pendana oleh Bank Indonesia menyebabkan pasar terdistorsi. Pada Pasal 19 Perppu disebutkan bahwa BI dapat membeli Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang sebagai sumber pendanaan bagi pemerintah. Hal itu telah menggugurkan Pasal 55 ayat 4 pada UU BI yang menyebutkan bahwa BI dilarang membeli untuk diri sendiri surat utang negara, kecuali di pasar sekunder. Pembelian SBN di pasar sekunder bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Masuknya BI ke pasar perdana menyebabkan distorsi pasar dan mendorong naiknya jumlah uang beredar. Kondisi tersebut akan mendorong naiknya inflasi. Lonjakan inflasi, pada akhirnya, menekan rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah. Fraksi PKS juga memperingatkan bahaya pencetakan uang tanpa underliying, yang dapat menyebabkan hyper inflasi dan dapat memukul daya beli rakyat.

21. Fraksi PKS menilai bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 memunculkan kembali trauma BLBI. Pada Pasal 2 disebutkan bahwa pemerintah berwenang menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan atau investor ritel. Dengan keterbatasan dana di pasar, dapat dikatakan bahwa Bank Indonesia yang memiliki dana likuid untuk membeli obligasi tersebut di pasar primer. Sementara itu, pada pasal Pasal 16 (1) huruf f terkait kewenangan dan pelaksanaan kebijakan oleh BI disebutkan bahwa BI diberikan kewenangan memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo Surat Utang Negara atau Surat Berharga Syariah Negara yang dimiliki korporasi/ swasta melalui perbankan. Munculnya aturan tersebut (terutama akses pada korporasi/swasta) akan menguras dana BI dan memaksa BI menyediakan likuditas besar-besaran untuk menyelamatkan korporasi/perbankan saat krisis. Hal ini sangat mengkhawatirkan terjadinya BLBI jilid II. Menurut audit investigasi BPK, penyimpangan dan kelalaian penyaluran BLBI merugikan negara hingga Rp138 triliun.

22. Fraksi PKS menilai bahwa Perppu memberikan wewenang yang sangat luas bagi KKSK. Hampir seluruh lembaga di KKSK mendapat tambahan wewenang. Namun, dalam menjaga pelaksanaan wewenang tersebut, Perppu melindungi penuh KKSK. Hal ini menyebabkan pengambil kebijakan kebal hukum. Dalam hal mekanisme kontrol, hanya disebutkan “tetap memperhatikan tata kelola yang baik”. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 12 (1) disebutkan bahwa PERPPU Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik.

Dengan berbagai pertimbangan dan catatan di atas Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menolak Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, dan menyerahkan pengambilan keputusan selanjutnya dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Demikian pendapat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, atas perhatian dan kesabaran Bapak/Ibu mendengarkan, kami ucapkan terima kasih.

Wallahu muwafiq ila aqwamith thoriq, billahi taufiq wal hidayah, 

Wassalaamu‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

Jakarta, 11 Ramadhan 1441 H

04 Mei 2020 M