Baron, Pelopor Bank Sampah yang Mengurus Manusia (1)

Baron Noorwendo
Baron Noorwendo

“Jangan panggil saya ‘Ustadz’!” ucap laki-laki itu di teras rumahnya Kampung Pitara, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat.

Ia memang pernah menjadi khotib Jumat, meski bahasa Arab belum begitu benar, tidak pernah di pesantren. Paling ngetop, katanya, juga ikut pesantren kilat. Ketika membaca doa ia pernah merasa tidak nyaman karena bukan orang yang faqih dalam ilmu agama, tapi saat itu tuntutannya memang begitu; diminta jadi khotib.

Ya, ia memang bukan seorang ustadz. Namun laki-laki setengah baya itu penuh khidmat untuk lingkungan sekitarnya. Namanya Baron Noorwendo, pelopor bank sampah.

Saat ditemui Sabtu (9/4) kemarin, dengan ramah Baron berkisah tentang awal mula bank sampah. Ketika itu saat pindah ke Jalan Mahakam—yang mulanya bernama Jalan Makam – tahun 2001, ia membaca satu makalah yang sangat menarik buatnya. Saat itu ia merasa kalau makalah diterapkan di dakwah, hasilnya luar biasa. Baron sendiri menikah dengan Sri Wulan Wibiyanti sekitar 1994. Ketika itu istrinya menyelesaikan kuliahnya jurusan Antropologi Universitas Indonesia. Dalam penyelesaian skripsi tersebut ada makalah-makalah yang dibaca Baron.

Makalah tersebut sederhana, bagaimana meneropong suku asing di Papua, mengajak bagaimana mereka agar berpakaian. Sayangnya upaya itu dilakukan oleh tim misionaris. Memang sebelumnya itu pemerintah sudah memberikan pakaian.

“Cuma kan itu ya, ada anggaran, seremoni mengasihnya. Sudah selesai diberikan secara simbolis oleh kepala sukunya, besoknya seminggu kemudian pakai koteka lagi,” tutur laki-laki yang memakai sarung itu menyesalkan.

Di makalah tersebut dibahas tentang masyarakat yang sudah ada struktur sosialnya menjadi apa yang sakral juga dipantau dan masuknya dari mana. Dari hal yang profan, konsekuensinya kita bisa mati karena menghilangkan hal yang sakral.

“Saya waktu itu juga nggak ngerti bagaimana cara penerapannya, kita nanya ustadz tapi waktu itu zaman kita belum ada jawaban yang memuaskan. Kita mau masuk ke suku yang asing belum civilized aja belum tentu diterima,” ucapnya.

Menyulap Rumah Jadi Lab

Ketika Baron pindah (ke rumahnya kini), mereka membuat program gabungan yakni perpaduan dua ilmu dirinya yang teknik mesin dan istri antropologi. Waktu itu mereka sepakat, untuk menjadikan rumahnya laboratorium bagaimana melakukan capaian dakwah yang alamiah.

Target mereka pertama bermanfaat untuk rukun tetangga (RT) terlebih dahulu. Tak terpikir diliput media atau tidak. Yang kedua, mereka ingin rumahnya menjadi sumber kebaikan yang kriterianya tiap hari didatengi orang.

“Tapi bukan buat pinjam duit atau buat nagih utang, Tapi ada hal yang bisa kita share di sini. Ya alhamdulillah sekarang udah kelihatan, meski masih belum berasa puas. Tiap hari ada tamu, bisa dari pagi sampai malam nggak berhenti-henti,” aku Baron.

Yang dikonsultasikan oleh para tamu itu ternyata sangat banyak, soal lingkungan, program, bagaimana menerapkan program lingkungan di sekolah atau di lingkungan tertentu bahwa ada para mahasiswa yang sekadar mengerjakan tugas atau magang.

Baron pun mengingat-ingat hari mereka datang dalam sepekan belakangan. Satu hari aja ada tiga rombongan datang. Ada guru-guru sekolah, 20 orang belajar ke rumah sederhananya itu gimana mereka bisa menerapkan di sekolahnya. Ada juga mahasiswa dari IPB hari Rabu, ada teman dari Bandung dan Semarang. Ada juga hari Kamis sama Jumat ada anak-anak SD, Sekolah Alam, ke sini. Jadi banyak ada aja tahu-tahu ada yang pakai janji ada yang tiba-tiba nongol. Termasuk juga tetangga-tetangga kami, rumah ini sering didatengi mereka.

“Ya alhamdulillah itu yang kita inginkan. Kita di sini nggak dipanggil ustadz, teman-teman ikhwah yang manggil ustadz saya nggak nyaman, Saya tahu kapasistas saya nggak sekelas ustadz,” ujar Ketua Departemen Pemuda Kreatif, Bidang Kepemudaan DPP PKS itu.

Ide Itu Bernama Bank Sampah

Ia bercita-cita itu, mulai mencoba mengajak warga di sini ikut membangun program macam-macam. Gagalnya 6 tahun, jatuh bangunnya 6 tahun. Baru ketemunya 2009 di masalah yakni persampahan dengan nama Bank Sampah WPL (Warga Peduli Lingkungan).

Suatu kali ia kedatangan wartawan harian Kompas untuk rubrik Sosok. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke rubrik tersebut. Setelah menemukan waktu yang pas untuk wawancara, ia bertanya terlebih dahulu kepada wartawan tersebut kenapa memilihnya untuk jadi narasumber.

“Mohon maaf, sebelum wawancara, kenapa sih pilih ke sini? Di Depok sini bank sampah banyak mas. WPL ini kecil, sampah juga nggak numpuk-numpuk. Di tempat lain, ada yang sebulan sampai ton-tonan sementara kami paling 200 kiloan,” ucap Baron mengingatkan perbincangannya masa itu.

Wartawan tersebut mengatakan bahwa ia sudah riset semua bank sampah yang di Depok. Akan tetapi, “Bank sampah yang lain itu ngurusin sampah, bank sampah yang Pak Baron dan Bu Wulan lakukan ngurusin manusia,” kata Baron menirukan jawaban wartawan.

Mengelola budaya itu, kata Baron, bisa dengan mengelola sampah. “Jadi kita bangun kesadarannya,” katanya.

Kenapa bisa begitu? Enam tahun pertama, metode yang dilakukan Baron beserta istri adalah memberi. Yang mereka sasar adalah ibu rumah tangga karena lebih mudah dibanding suami atau anak muda. Sebab, menurutnya, anak muda itu simple penginnya hari ini kerja dapet duit. Sementara para ibu rumah tangga lebih potensial, usianya produktif dari 25 – 40 produktif.

“Cuma di sini kan rata-rata ibu rumah tangga. Di rumah, di sini jarang wanita karir, sedikit malah,” kata Baron.

Ia melihat hal ini peluang, sumber daya umat yang useless, mubadzir. Dulu mereka menawarkan ikut program ini-itu. Sudah mencoba dari 2003 sampai 2008, termasuk taman baca, bonsai, budaya jamur, telor asin, kripik ceker, tak ada yang jalan. Tidak ada yang bisa warga ikuti.

“Akhirnya alhamdulillah tahun 2009 itu, kebetulan istri saya punya kebiasaan memilah sampah, jadi plastik organik dan non-organik dipilah, walau belum dimanfaatin ketika itu. Tapi kan menularkan ini ke warga tantangan sendiri. Kami emang baca 2008 di internet tentang bank sampah, pertama di Bantul punyanya Pak Bambang Suherda, dosen Poltekes Jogja. Namanya ngetop banget di Google,” ujar bapak enam anak ini.

Baron dan istri pun mencoba pelajari sistemnya, alurnya, bagaimana menerapkan di lingkungannya yang dirasakan berbeda kulturnya antara Jawa, Bandung atau Depok. Mereka pun mulai menerapkannya melalui sosialisasi ke warga. Istri Baron melakukan pendekatan dengan menggunakan sarana arisan dan ta'lim buat ngomong setelahnya. Prinsipnya adalah dipilah saja sampahnya. Hanya itu dahulu yang mereka sampaikan, belum tahu mau diapakan sampah yang terpilah tersebut dan nggak terampil.

Baron menyebut aksinya itu dengan “belagunomic”. Istilah untuk menyebut aksi nekat atau “belagu”-nya yang kerap ia sampaikan kepada orang yang ditemui.

“Sok tahu saja. Kita lihat ini peluang dan perlu dilakukan ya lakukan saja. Ke depan ada masalah ya hadapi saja, nanti juga ada solusinya. Kalau mikir-mikir terus nanti ngga jalan-jalan,” ujar Baron, merendah.

Baron mengumpakan dirinya dan istri hanya punya lilin sebatang. Dengan modal itu, mereka masuk ke hutan. Jika ketemu singa jalan yang ditempuh adalah kabur. Jika ketemu tebing mereka akan memanjat. Jika ketemu jurang ya kita balik lagi.

Setelah itu, sampah-sampah tersebut ditabung seminggu sekali oleh warga ke salah satu RT di sana. Baru setelah 3 bulan mereka bisa mencairkan uangnya.

Aksi Baron dan istri memang tak berjalan mulus. Kerap dicemooh oleh warga karena dinilai melakukan hal yang sia-sia belaka, hanya mengumpulkan sampah saja. Akan tetapi, pasutri tersebut tak patah arang. Mereka justru makin tertantang untuk mematangkan konsep bank sampah. (lanjut bagian 2) 

Muhammad Sholich Mubarok

#RelawanLiterasi