Bahaya Modifikasi Genetika, Politisi PKS Pinta Pemerintah Perketat Kedelai Impor
Jakarta (19/11) -- Anggota Komisi IV DPR RI, Hamid Noor Yasin meminta pemerintah agar memperketat seleksi kedelai impor yang yang terindikasi berbahaya bagi kesehatan akibat adanya rekayasa genetik pada tanaman kedelai yang di produksi dari luar, Selasa (19/11/2019) di Jakarta.
"Negara-negara maju sentra kedelai, saat ini menggunakan bibit kedelai yang telah dimodifikasi secara genetik (GMO/Genetically Modified Organism), sehingga 80% adalah organisme rekayasa yang belum terjamin kesehatannya ketika di konsumsi manusia," ungkap Hamid.
Dampak akibat konsumsi produk makanan yang berasal dari rekayasa genetika, akan di ketahui setelah bertahun-tahun konsisten masuk dalam tubuh Oleh karenanya, ia melanjutkan diperlukan solusi atas permasalahan tersebut.
"Solusi paling aman ya tidak Impor kedelai. Kita gunakan produksi lokal yang lebih sehat, lebih enak dan lebih bergizi. Namun untuk saat ini memang belum memungkinkan karena produksi kedelai lokal dalam negeri hanya memenuhi 16,4% atau sekitar 4.800 ton dari target 2,8 juta ton kebutuhan kedelai nasional," urainya.
Kami fraksi PKS, lanjut Hamid, meminta kepada Kementerian Pertanian untuk meningkatkan produksi kedelai lokal dengan perluasan areal tanam dan mengembangkan benih unggul yang aman bagi kesehatan. Benih unggul ini mesti tepat secara varietasnya, yang cocok dengan lingkungan Iklim Indonesia yang tropis. Selama ini kedelai identik dengan tanaman subtropis, sehingga pemerintah perlu melakukan inovasi dan teknologi benih unggul kedelai untuk daerah tropis, "Dengan kesesuaian bibit kedelai dengan iklim di Indonesia, semoga upaya intensifikasi dapat dilakukan secara maksimal,".
Politisi PKS ini mengatakan, bahwa bibit kedelai dengan varietas yang tepat, jumlah yang cukup, mutu yang baik, waktu yang sesuai, lokasi yang merata dan harga yang cocok, akan mendorong produksi kedelai secara maksimal. Tahun 2019, pemerintah telah mencanangkan produksi kedelai 3 juta ton. Ini menjadi pertanyaan besar, apakah produksi, atau menyediakan. Karena secara logika akan sulit di capai dengan luasan lahan yang tersedia. Hingga saat ini, ketersediaan lahan untuk produksi kedelai hanya sekitar 446 ribu ha sampai dengan 614 ribu ha. Luasan ini secara fluktuatif terjadi naik turun tiap tahun sehingga berimplikasi pada produksi kedelai yang tidak konsisten antara 675 ribu ton sampai dengan 963 ribu ton. Pemerintah pernah mencanangkan pada tahun 2018 akan memenuhi areal tanam khusus kedelai sebesar 2 juta ton, tapi itu hanya angan-angan. Sebagai pembanding, luasan lahan brazil khusus menanam kedelai sebesar 30 juta hektar dengan kapasitas produksi sebesar 117 juta ton mengalahkan Amerika yang produksi kedelainya 116,48 juta ton.
"Artinya perlu sekitar tiga kali lipat areal lahan dengan metode extensifikasi untuk memenuhi target 3 juta ton kedelai, dan ini agak mustahil untuk saat ini, karena lahan yang tersedia berebut dengan komoditas lain. Sedangkan optimalisasi lahan kritis dan penyehatan kembali lahan rusak belum dapat terpenuhi. Sedangkan dengan metode intensifikasi, teknologi benih nasional kita masih sangat kurang sehingga saat ini produksi kedelai kita hanya sekitar 2 ton/hektar dengan menggunakan bibit lokal yang aman hasilnya ketika di konsumsi," katanya.
“Saya berharap, pemerintah mampu mengembangkan bibit kedelai lokal yang saat ini, hasil produksinya masih terjamin kesehatannya ketika di konsumsi. Sedangkan kedelai rekayasa genetika, masih berpolemik karena tidak ada jaminan di masa datang, orang yang mengkonsumsi produk ini apakah sehat atau malah terjadi kelainan yang memicu berbagai penyakit baru dalam tubuh," tutupnya.