At The Last Minute  

Judul di atas adalah ungkapan lazim dalam Bahasa Inggris teruntuk sebuah peristiwa yang terjadi menjelang akhir. Ungkapan itu penulis ambil untuk menggambarkan situasi “pertarungan politik di unit terkecil (Desa/kelurahan ke bawah) di Masa Tenang dan hari H Pemilu.” Dia merupakan isu strategis kelima dari rangkaian lima isu yang layak diseriusi sebagai ikhtiar merengkuh target 15% suara nasional. Empat isu strategis lainnya, dan sudah dipaparkan secara berturut pada empat edisi terakhir, adalah kinerja anggota legislatif, efek ekor jas (Coat-tail Effect), oposisi politik, dan kampanye digital.

Mengapa “pertarungan politik di unit terkecil (Desa/kelurahan ke bawah) di Masa Tenang dan hari H Pemilu” adalah isu strategis? Setidaknya ada empat penjelasan, yang mengacu pada temuan survei AKSES School of Research di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, dan Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu. Survei dengan 1.200 responden di setiap provinsi itu bertajuk Peta Politik dan Perilaku Pemilih Pemilu 2024, menggunakan metode Multistage Random Sampling.

Pertama, sumber berita utama yang dipercayai tentang Pemilu adalah ngobrol dengan warga. Warga di sini mengacu pada tetangga, teman, keluarga, dan lain-lain yang ikatan kedekatannya erat satu sama lain. Di Jawa Timur ada 39.9% responden yang memilih ngobrol dengan warga sebagai jawaban teratas ketimbang pilihan lainnya seperti media sosial, pengurus partai, tim sukses, aparat pemerintah, dan lain-lain. Di Jawa Tengah, ngobrol dengan warga juga teratas dengan nilai 30.0%. Di DI Yogyakarta mayoritas responden juga memilih mengobrol dengan warga sebagai sumber berita utama tentang Pemilu (25.2%). Kecuali di Banten, ngobrol dengan warga berada pada posisi kedua sebanyak 20.7% berselisih tipis persis dibawah 23.1% responden yang memilih media sosial. Adapun di Sulawesi Selatan, tertinggi pula dimana ada 31.8% responden yang  memilih ngobrol dengan warga.

Kedua, waktu benar-benar memutuskan memilih untuk Pemilu Legislatif adalah antara masa tenang hingga Hari H Pemilu. Di Jawa Tengah ada 45.1% responden yang memilih kurun waktu  tersebut ketimbang masa kampanye dan sebelum masa kampanye. Di Jawa Timur 41.4%, DI Yogyakarta 54.0%, Banten sebesar 53.0%, dan di Sulawesi Selatan sebanyak 38.4%. Walhasil, at The Last Minute yang merujuk “Masa tenang hingga Hari H Pemilu” itu adalah crucial time. Meminjam istilah dalam dunia olahraga, masa tersebut adalah the grand final.

Ketiga, bentuk sosialisasi politik yang paling disukai adalah acara temu calon secara langsung.

Lagi-lagi data survei mengkonfirmasikan hal tersebut. Dari 17 bentuk sosialisasi politik yang disodorkan kepada responden dalam format pertanyaan “Apakah Anda suka atau tidak suka dengan bentuk sosialisasi politik calon anggota legislatif di bawah ini?”, di semua lokasi survei para responden kompak memilih “Acara temu calon secara langsung” sebagai yang paling disukai. Di Jawa Tengah bentuk sosialisasi politik ini meraih 84.3%, Jawa Timur 89.7%, DI Yogyakarta 89.3%, Banten 79.4%, dan Sulawesi Selatan 90.4%.

Keempat, pemberian uang atau barang (souvenir) dalam pemilu dengan tujuan memengaruhi pilihan politik warga cenderung dinilai wajar, dan waktu pemberian itu adalah antara Masa tenang hingga Hari H Pemilu. Di Jawa Tengah, 45.7% responden menilai wajar dan 42.6% memilih Masa tenang hingga Hari H Pemilu sebagai waktu yang tepat untuk pemberiannya. Di Jawa Timur, 65.1% responden menilai wajar dan 47.2% memilih Masa tenang hingga Hari H Pemilu sebagai waktu yang tepat untuk pemberiannya. Di DI Yogyakarta, 29.4% responden menilai wajar dan 42.1% memilih Masa tenang hingga Hari H Pemilu sebagai waktu yang tepat untuk pemberiannya. Di Banten, 55.5% responden menilai wajar dan 40.3% memilih Masa tenang hingga Hari H Pemilu sebagai waktu yang tepat untuk pemberiannya. Di Sulawesi Selatan, 45.6% responden menilai wajar dan 28.5% memilih Masa tenang hingga Hari H Pemilu sebagai waktu yang tepat untuk pemberiannya.

Mempertimbangkan sumber berita utama warga tentang pemilu berasal dari “Ngobrol dengan warga” dan bentuk sosialisasi politik calon anggota legislatif yang paling disukai adalah “Acara Temu Calon Secara Langsung”, berikut setidaknya dua rekomendasi penting. Pertama, menjadikan unit desa/kelurahan sebagai kunci pemenangan Pemilu 2024, yang diawali dengan misal merebut posisi kepala desa dalam perhelatan pemilihan kepala desa. Kedua, membekali pengurus partai dan tim sukses dengan materi Monografi Politik Berbasis Desa/Kelurahan untuk Pemenangan Pemilu 2024, yang kelak dari program ini bisa menelurkan rekomendasi strategi dan program pemenangan pemilu yang khas desa/kelurahan setempat.

Mempertimbangkan pula amat signifikan responden baru benar-benar memutuskan pilihan politiknya pada “Masa tenang” dan “Sebelum berangkat ke TPS pada hari pemilihan” serta signfikan pula jumlah responden yang berpendapat waktu yang tepat pemberian dana untuk memengaruhi pilihan politik terjadi antara “Masa tenang” dan “Sebelum            berangkat ke TPS pada hari pemilihan” –dan pemberian dana itu memengaruhi pilihan politik mereka-, maka rekomendasi untuk menghadapi masa tersebut adalah:

Pertama, dibentuk Gugus Tugas (task force) di tingkat Dapil DPRD Kabupaten/Kota yang khusus menangani masa amat krusial ini (“Masa tenang” dan “Sebelum berangkat ke TPS pada hari pemilihan”). Apa dan bagaimanakah Gugus Tugas ini? (a) Jumlah personalianya tidak banyak. Dia adalah kelompok kecil yang diibaratkan sebagai pasukan khusus; (b) Fokus tugas dan perhatiannya adalah sukses partai dan sukses caleg; (c) Direkomendasikan SDM yang fresh, berdaya militansi kuat, mampu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pelbagai pihak secara cepat dan cerdas; (d) Keputusan Gugus Tugas dalam operasionalnya adalah final dan mengikat.

Kedua, penguatan relawan di tingkat RT karena sumber berita utama warga tentang pemilu  berasal dari obrolan sesama warga. Survei ini juga menemukan fakta lain bahwa vote getter paling berpengaruh dalam masa tenang adalah Tokoh agama, Keluarga, dan Tokoh masyarakat.

Ketiga, membentuk satgas anti money politic berbasis desa/kelurahan yang intensif mensosialisasikan akan bahaya money politic dan bagaimana tindakan pencegahannya termasuk membentuk semacam call center atau pos pengaduan. Dalam konteks ini partai perlu menggandeng elemen masyarakat madani untuk terlibat aktif, sehingga anti money politic ini menjadi gerakan sosial.

Kamarudin, founder AKSES School of Research