Aku Bagian Umat, Aku Bagian Bangsa

Judul Otobiografi Prof. Dr. Deliar Noer di atas, penulis jadikan tajuk edisi kali ini. Ia menjadi  pintu masuk ke “Perspektif Sosiologis”, perspektif kedua dari lima, untuk menelisik mengapa “Politik” itu perlu  diketahui, penting difahami, mutlak dikuasai, dan wajib diimplementasikan.

 “Ummat”, mengutip Abdul Mannan dalam Era Peradaban Baru (2016), adalah istilah yang, “menjadi eksklusif dan menjadi sebutan identik pada pengikuti Nabi Muhammad SAW.” Sebagai komunitas penghusung peradaban tauhid, umat Islam secara berturut-turut digelari sebagai, “Ummatan muslimatan, Ummatan Wasathan, Ummatan Wahidatan, Ummatun Muqtashidatun, Ummatun Yad’una ila al-Khair, dan Khaira Ummah.” Intinya ada tanggungjawab maha besar disematkan ke pundak umat, sebagai Khalifatullah fil ardh, untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.

Maka misi penyelamatan itu menjangkau pula entitas lain diluar kerangka umat, pasti dalam semangat Rahmatan lil ‘alamin. Dalam ungkapan ringkas Sang Begawan Ilmu Politik, Prof. Dr. Deliar Noer itu, “Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa.”

Judul otobiografi itu menemukan relevansinya, dalam konteks geografis dan sosial politik. Indonesia adalah negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim, sebagaimana terkonfirmasi dari Data Sensus Penduduk Indonesia dari tahun 1971 hingga 2020. Mereka mendiami daratan yang lebih luas dari gabungan sejumlah negara di Eropa Barat, terbentang sepanjang 3.977 mil dari Sabang hingga Merauke. Negeri Zamrud Khatulistiwa ini terdiri dari 17.508 pulau kecil dan besar, 6.000 pulau diantaranya belum berpenghuni. Luas perairannya 3.257.483 km².

Dalam ruang hidup sebesar itu, ditambah posisinya yang amat strategis, negeri “sekeping surga” ini menampilkan keragaman budaya, bahasa, kuliner, dan lain-lain yang amat mencengangkan.

Termasuk beragam pemikiran politik Islam: Tradisionalisme Islam, Modernisme Islam, Neo modernism Islam, Fundamentalisme moderat, Fundamentalisme radikal, Salafi Radikal, Kiri Islam, Islam Liberal, Islam struktural, Islam kultural, dan lain sebagainya. Satu lagi, dengan jumlah penduduk yang besar itu, menempatkan Indonesia sebagai negara demokratis ketiga di dunia setelah India dan AS sejak 1999.

Pelbagai kategorisasi pemikiran tersebut adalah bentuk simplifikasi atas realitas sosial dan politik bikinan akademisi. Namun kepada para akademisi, early warning dikumandangkan oleh Prof. Dr. A. Rahman Zainuddin (Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI), “Janganlah pelbagai kategorisasi itu membuat kita mereduksi kebesaran, kemegahan, dan kemuliaan Islam.”

Lanskap realitas sosial tadi, beserta aneka kategorisasi pemikiran itu, menghasilkan keragaman budaya politik Indonesia. Clifford Geertz mengajukan konsep trikotomi: Abangan, Santri, dan Priyayi. Hildred Geertz membagi dua: Masyarakat pesisir dan Masyarakat pedalaman. Alfian dua jua: Budaya politik elite dan Budaya politik massa.

Perbedaan budaya politik itu berimplikasi luas, dari keragaman orientasi pilihan politik hingga tingkat penerimaan terhadap demokrasi.  Sebagai misal, meminjam kategorisasi dari Hildred Geertz, pada budaya masyarakat pesisir lebih bisa menerima demokrasi. Dengan pemukiman dekat dengan pelabuhan, mereka cenderung open minded terhadap nilai-nilai asing. Berbeda halnya dengan budaya masyarakat pedalaman, cenderung konservatif lantaran minim persentuan dengan dunia luar.

Namun kini, masyarakat digital Indonesia terpampang di hadapan. Data We Are Social, sebuah agensi media sosial global yang bermarkas di Singapura, per Januari 2021, menunjukkan pengguna handphone di Indonesia ada 345,3 juta, 125.6% dari total jumlah penduduk Indonesia yang 274.9 juta, pengguna internet sebanyak 202.6 juta (73.7% dari total jumlah penduduk), dan 170.0 juta yang aktif menggunakan media sosial (61.8% dari total jumlah penduduk). 

Masyarakat Indonesia yang amat friendly dengan media sosial itu, hadir di zaman yang disebut “Era disrupsi”. Apa itu Disrupsi? Clayton Magleby Christensen, Professor Administrasi Bisnis di Harvard Business School, Universitas Harvard, memperkenalkan teori Disruptive Innovation, dalam karyanya, The Innovator’s Dilemma (1997). Intinya, disrupsi adalah (1) Inovasi baru; (2) Berpotensi menggantikan pemain lama dengan yang baru (Misal, fenomena tumbangnya ritel-ritel raksasa yang digilas oleh toko online); (3) Menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan Internet on Things (internet untuk segala sesuatu), Artificial Intelligence atau AI (kecerdasan buatan), Big Data; (4) Tidak ada bidang yang tak terdampak disrupsi (Misal, AI pada bidang kedokteran, hukum, akuntansi, dan lain-lain).

Di bidang politik, telinga kita kini kian akrab dengan istilah demokrasi digital, demokrasi di tangan netizen, dan e-voting.

Dalam selimut Revolusi Industri 4.0 itu yang ditandai dunia yang penuh gejolak, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas itu, era Masyarakat 5.0 membayang. Masyarakat 5.0 adalah   masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based). Konsep ini untuk menetralisir dampak dari Revolusi Industri 4.0 yang dinilai berpotensi mendegradasi peran manusia. Dengan kalimat lain, Masyarakat 5.0 bertujuan menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan penyelesaian masalah sosial secara terintegrasi (www.cao.go.jp).

Masyarakat 5.0 adalah antithesa -dalam makna soft- dari Revolusi Industri 4.0. Masyarakat 5.0 adalah ikhtiar untuk (kembali) memuliakan manusia.

Dalam konteks “Islam, Politik, dan Umat Islam di Indonesia”, pasti dibutuhkan resources (sumberdaya) prima dalam mengarungi belantara Revolusi Industri 4.0 dan memasuki era Masyarakat 5.0. Umat Islam tak bisa lari dari kenyataan, sembari terus mendendangkan lagu “Kisah Sedih di Hari Minggu -dengan penambahan Senin, Selasa, dan seterusnya.” Mengapa? Karena, “Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa.”

Kamarudin, founder AKSES School of Research