2 Tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf, PKS Soroti Obesitas Koalisi dan Melemahnya Demokrasi

Jakarta-- Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti kinerja pemerintahan Jokowi-Maruf yang memasuki tahun kedua, dalam rilis resmi yang dikeluarkan, Ketua Departemen Politik Bid Polhukam DPP PKS Nabil Ahmad Fauzi memberi catatan kritis tentang gemuknya koalisi pemerintahan yang berimbas melemahnya indeks demokrasi di Indonesia.

“Dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ditandai dengan dengan penguatan koalisi politik pemerintahan dengan bergabungnya PAN. Saat ini, koalisi partai pendukung pemerintah memiliki 471 kursi di DPR RI berbanding 104 kursi gabungan PKS (50 kursi) dan Demokrat (54 kursi),” tutur Nabil dalam keterangan tertulisnya (22/10/2021). 

Nabil menyebut fenomena semakin bertambahnya partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan, mengindikasikan adanya kartelisasi partai politik yang berimbas semakin tidak efektifnya roda pemerintahan.

“Selain semakin gemuknya koalisi pemerintah dan fenomena sistem politik kartel, yang juga perlu dicermati adalah potensi semakin tidak efektifnya pemerintahan di sisa tiga tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf sampai 2024 mendatang. Fenomena ini dikenal sebagai jebakan "sindrom 7 tahun", di mana secara politik yang menganut sistem presidensial dua periode, maka tahun ketujuh disebut sebagai periode berakhirnya bulan madu koalisi,” terang Nabil. 

“Sebagaimana juga pernah dialami pada era pemerintahan Presiden SBY di tahun 2012 lalu. Hal ini disebabkan oleh situasi politik yang mendorong partai-partai koalisi mulai sibuk menyiapkan diri menghadapi Pemilu berikutnya. Situasi ini menyebabkan kinerja pemerintahan menjadi tidak fokus serta dibayangi oleh nuansa kepentingan politik yang kental dalam berbagai kebijakannya," lanjutnya. 

Selain menyoroti gemuknya koalisi pemerintahan, PKS juga menilai indeks demokrasi di Indonesia melemah di periode kedua pemerintahan Joko Widodo, hal ini dibuktikan laporan dari The Economist Intelligence Unit (EUI) yang menyatakan indeks demokrasi mengalami penurunan terendah sejak satu dekade terakhir.

“Laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) menunjukkan, skor indeks demokrasi di Indonesia cenderung menurun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir, " terang Nabil. 

Lebih lanjut ia juga menyinggung pelanggaran Demokrasi yang ditandai dengan penangkapan aktivis dan pembubaran demonstrasi secara represif dari aparat semakin menegaskan buruknya kualitas demokrasi di Indonesia. 

“International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mencatat penurunan indeks demokrasi di Indonesia pada 2020. Penurunan indeks demokrasi ini menurut IDEA menjadi yang terburuk sejak 2005. Dalam laporan tersebut, Indonesia mencatat rapor merah pada sejumlah indikator, seperti kesetaraan dan hak asasi manusia, sistem administrasi yang tidak memihak, dan keterlibatan publik," kata dia. 

“Berbagai pelanggaran demokrasi yang terjadi belakangan mulai dari penangkapan aktivis, pembubaran demonstrasi, represifnya aparat, sampai pembungkaman masyarakat lewat peretasan media sosial, semuanya kian mengafirmasi laporan penurunan indeks kualitas demokrasi Indonesia,” pungkas Nabil.

 

Rep: ARY