Undang-undang Perlindungan Anak Harus Memasukkan Unsur Preventif

Jakarta (9/6) - Rencana untuk merevisi Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak tahun 2002 terus mengemuka. Para wakil rakyat dari Komisi VIII DPR RI melakukan rapat bersama biro perundang-undangan DPR RI untuk merevisi substansi isi UU tersebut, di Senayan.

“Kita semua berharap revisi atas undang-undang ini akan membawa kondisi anak Indonesia menjadi lebih baik dengan adanya jaminan hukum yang benar-benar melindungi anak sekaligus memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak secara utuh,” kata Wakil Ketua Komisi VIII, Ledia Hanifa Amaliah usai melakukan rapat.

“Undang-undang Perlindungan Anak yang sudah ada memang dirasa masih memiliki beberapa kelemahan substansi. Misalnya saja soal titik tekan  perlindungan anak yang lebih banyak mengarah soal pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman, bukan pada soal pencegahan agar anak dapat terjamin hak-haknya dan sekaligus terpenuhi kebutuhan tumbuh kembangnya,” lanjut Ledia, Anggota DPR dari Fraksi PKS.

Begitu pula soal hukuman bagi pelaku. Fakta lapangan menunjukkan tindak kekerasan pada anak terus meningkat, banyak pihak akhirnya menggugat rendahnya hukuman yang tertera dalam undang-undang perlindungan anak dan meminta DPR mengubahnya menjadi hukuman yang lebih membuat jera, seperti dikebiri, hukuman seumur hidup hingga hukuman mati. Ledia menyetujui hal tersebut, namun menurutnya selain masalah hukuman, beberapa masalah lain harus juga diperbaiki agar tercapai upaya perlindungan anak yang lebih komprehensif.

“Ketika kita berbicara melindungi anak, itu artinya sejak awal kita harus membuat mekanisme agar anak terlindungi dari kemungkinan mendapat tindak kekerasan. Perlindungan itu harus dimulai dari dalam rumahnya, di lingkungan sekolahnya, di lingkungan bermainnya, hingga di tengah masyarakat umum. Dan ini berarti dibutuhkan satu ketegasan di dalam undang-undang untuk mendorong tindakan pencegahan munculnya kekerasan pada anak di dalam keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat umum,” paparnya.

“Dalam hal lingkungan sekolah misalnya, pendidikan akhlak, budi pekerti dan nilai-nilai positif bermasyarakat harus ditingkatkan, bukan hanya bagi siswa tetapi juga tenaga pendidik dan penunjang kegiatan pendidikan. Selain itu sekolah juga harus menyiapkan sistem pencegahan agar tidak terjadi bully, tawuran atau pelecehan seksual pada siswa,” Ledia memberi contoh.  

Selain itu Ledia juga mengingatkan faktor situasi keluarga yang semakin berjarak antara orangtua dan anak, sementara paparan nilai negatif dari lingkungan luar semisal dari tayangan televisi, internet, atau bacaan yang kerap memberikan contoh tindak kekerasan, pelecehan norma agama dan budaya, gaya hidup bebas dan pornografi menjadi poin berikut yang juga harus diformulasikan pencegahannya di dalam revisi undang-undang ini.

“Sebab menjadi kurang efektif kita memberikan hukuman berat pada pelaku kejahatan bila akar atau pemicu masalahnya juga tidak dibenahi.  Karena itu, revisi undang-undang ini harus meninggikan poin preventifnya dibandingkan tindakan kuratif dan rehabilitatif bagi pelaku maupun korban,” ujar Ledia pada Senin (9/6).