Ummi dan Rahasia yang Menyejukkan Pandangan

Bismillahirrahmanirrahim

Ketika aku masih duduk di kelas 9 SMP, salah seorang guruku pernah berpesan, “Ketika kamu berhasil mencapai cita-citamu, itu semata bukan karena usahamu saja, ada banyak peran yang terlibat di sana. Ingat lagi peran orangtuamu, gurumu, sahabat dan temanmu, bahkan para petani yang mungkin kamu belum pernah sempat berkenalan langsung dengan mereka, mereka juga memiliki peran dalam menunjang kesuksesanmu, mereka menyiapkan beras yang berakhir menjadi sepiring nasi untuk menjadi sumber energimu beraktivitas. Selalu ada hak orang lain, baik itu besar atau kecil, dalam kesuksesanmu”.

Teringat pada kisah di awal aku menapaki peran baru sebagai seorang mahasiswi kedokteran. Kurang lebih 3.5 tahun yang lalu, seorang anak perempuan berpose sangat manis dengan bajunya yang berwarna pink di gerbang depan kampus UNS; Universitas Sebelas Maret, bukan Universitas Negeri Surakarta, bukan Universitas Negeri Solo, bukan juga Universitas Negeri Syariah. Dalam hatinya dia berkata, “Yes, Alhamdulillah, I got it! Alhamdulillah aku berhasil mendapatkan yang dimimpikan oleh ribuan siswa kelas 3 SMA lainnya; mendapatkan tempat di Fakultas Kedokteran di Perguruan Tinggi Negeri.”

Siapa yang tidak senang dan bangga ketika berhasil menjadi salah satu dari mereka yang terbaik yang diterima di Fakultas Kedokteran; fakultas yang menjadi dambaan hampir semua siswa SMA. Menjalankan hari sambil membayangkan bahwa sebentar lagi aku dapat mengenakan jas putih sambil berkata dengan penuh senyuman tulus kepada para bapak dan ibu, “Bagaimana, Pak/Bu? Apa ada lagi yang bisa dibantu? Semoga lekas diberikan kesehatan yang sempurna dan tidak kambuh-kambuhan lagi yaa, Pak/Bu.”

Tetapi kalau boleh jujur, sepertinya aku dapat memasuki Fakultas Kedokteran jauh lebih berperan takdir daripada usahaku :”). Aku belajar layaknya siswa SMA lainnya, bahkan mungkin jauh lebih malas-malasan dibandingkan dengan siswa lain. Kembali pada nasihat guruku tadi, selalu ada peran orang lain selain diri sendiri di balik sebuah kesuksesan. Aku teringat kepada sosok yang selalu menginspirasi hidupku. Ya, Ummi alias ibuku sendiri.

Ummi adalah perempuan yang sangat sederhana. Seorang wanita lulusan SMEA yang berhati mulia. Ummi adalah seorang pekerja keras yang totalitas. Pekerjaan Ummi sehari-hari adalah mendidik ke-5 putera puterinya dan mendampingi Abi. Ummi membantu Abi yang diamanahi sebagai salah satu wakil rakyat dengan cara blusukan ke masyarakat. Ummi setiap hari pergi menyapa masyarakat mulai dari pagi hari, selepas aku dan saudara-saudaraku berangkat sekolah, hingga waktu petang tiba. Setiap Maghrib hampir bisa dipastikan bahwa Ummi telah tiba di rumah. Pertanyaannya: Apakah pekerjaan melayani masyarakat itu berhenti setelah Ummi pulang ke rumah? Tidak. Hanya bentuk pekerjaannya saja yang berubah, menyesuaikan agar bisa dikerjakan di rumah.

Suatu saat aku pernah bertanya kepada Ummi karena sudah lelah melihat Ummi yang sibuk mengurusi orang lain dan tidak bisa istirahat, “Mi… Apa Ummi gak capek mengurusi orang lain terus? Di luar rumah Ummi mengurusi masyarakat, di dalam rumah-pun begitu. Apa Ummi gak ingin beristirahat barang sejenak?”

Kemudian Ummi menjawab seraya tersenyum, “Kakak… Ummi melakukan ini bukan karena apa-apa, bukan untuk kebaikan Ummi atau Abi semata. Tapi ini karena spirit yang Ummi dapatkan dari surah As Sajadah ayat ke-17 (tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan). Siang dan malam Ummi lakukan ini semua karena berharap agar karunia yang Allah SWT rahasiakan itu bisa terus dinikmati oleh anak hingga ke cucu-cucu Ummi dan Abi. Apa Ummi salah melakukan ini semua?” Aku hanya bisa terdiam kemudian menangis di pelukan Ummi.

Ummi beberapa waktu ini fokus pada advokasi masyarakat di bidang kesehatan. Ummi membantu warga miskin agar tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Tak dapat kita pungkri, di zaman yang sudah lumayan maju seperti ini, diskriminasi antara si Kaya dan si Miskin tetaplah ada dan mungkin akan abadi sampai hari kiamat nanti.

Dari mulai kasus orang malam-malam mengetuk pintu rumah, “Mi, istri saya mau melahirkan… Kondisinya gawat, harus segera dirujuk ke Rumah Sakit tapi kami tidak punya uang.” Dan akhirnya puteri Bapak dan Ibu tersebut Alhamdulillah bisa dilahirkan dengan selamat karena proses lobbiying Ummi dengan pihak Rumah Sakit by phone.

Kasus selanjutnya adalah ketika dalam satu minggu kami hampir benar-benar “kehilangan” Ummi karena beliau harus mondar-mandir mengadvokasi 3 orang yang sakit jiwa. Pasien pertama terganggu kejiwaannya karena konflik keluarga, ia dipukul oleh Ayahnya karena meminta untuk dibelikan motor dan kemudian hal tersebut meninggalkan trauma mendalam. Pasien kedua karena diputus oleh pacarnya, mau tidak mau Ummi harus menolong, karena pasien tersebut adalah tetangga kami sendiri. Dan pasien yang ketiga terganggu kejiwaannya karena dipecat dari pekerjaannya. Menurutku, tak banyak orang yang mau meluangkan waktunya untuk memberi perhatian kepada mereka yang Allah berikan cobaan melalui gangguan kejiwaan. Ummi, aku bangga punya Ummi yang berhati mulia.

Lain lagi episode tentang tukang pasang tenda yang ditemukan Ummi sedang berbaring lemah di rumahnya yang sudah 2 pekan tersengat listrik tapi sama sekali belum dibawa ke rumah sakit. Tukang pasang tenda tersebut sedang bertugas kemudian ia tersengat listrik sehingga ia terjatuh dan terluka cukup parah. Akibat luka yang tidak mendapatkan perawatan yang baik, luka tersebut menjadi busuk dan menjadi tempat favorit bagi belatung-belatung. Bayangkan, ini orang masih hidup tapi sudah dirubung belatung! Allaah… Ummi hanya bisa meneteskan air mata sambil mengusahakan agar bapak ini bisa sehat seperti sediakala.

Begitulah Ummi dari satu episode ke episode selanjutnya, dengan keterbatasan fisik yang Ummi miliki, Ummi tetap bolak-balik ke Rumah Sakit hampir setiap hari. Sesekali ada orang yang penasaran dengan kehadiran Ummi yang sangat sering di Rumah Sakit, bahkan sering berbincang dengan para stake holder di RS maupun di Dinas Kesehatan. Mereka bertanya, “Ibu dokter spesialis apa, Bu? Praktiknya di Rumah Sakit mana saja?” Kemudian Ummi hanya tertawa kecil dan menjawab dengan gaya khasnya yang memancarkan kesederhanaan, “Waaah… Bukan. Saya bukan dokter, Bu. Saya hanya berusaha menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah agar pelayanan kesehatan yang baik dapat dinikmati oleh semua. Doakan anak saya ya, Bu, sekarang dia sedang mendaftar di Kedokteran.” Begitulah doa Ummi di siang dan malam. Ah yaa Allah… Semoga Kau perkenankan aku untuk menjadi dokter yang amanah, yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan ummat dan bangsa.

Tulisan ini ku persembahkan untuk ibundaku yang sedang berjuang untuk dapat terlepas dari kursi roda setelah serangan stroke mendadak beberapa waktu lalu. Saat itu beliau sedang terjun blusukan ke masyarakat dan langsung dibawa ke Rumah Sakit. Hari ini, yang masih terhitung sebagai masa recovery Ummi, beliau sudah aktif lagi menelpon ke sana ke mari bahkan minta diantar ke beberapa tempat untuk kembali dapat melayani masyarakat. Semoga keinginanmu untuk selalu menjadi khadimul ummah dapat menjadi keberkahan tersendiri, Mi. Love You for the sake of Allah SWT, terimakasih telah mengajarkan banyak kebaikan dan menitipkan doa pada setiap ucapan serta amal kebaikanmu, Ummi :”)

Surakarta, 9 Desember 2014

oleh Syayma Karimah

Ilustrasi: @bayprio