Tunda Pemilu dan Perpanjang Masa Jabatan, Bertentangan dengan Konstitusi Ditengah Kenaikan Harga Bahan Makanan dan Kelangkaan Minyak Goreng

Oleh: Memed Sosiawan

(Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR dan Ketua Komisi Kebijakan Publik MPP PKS)

Beberapa pekan sebelum bulan puasa (Ramadhan) telah terjadi kenaikan harga bahan makanan bersamaan dengan kelangkaan minyak goreng. Kenaikan harga itu disebut sebelum waktunya karena mendahului kenaikan harga yang selama ini terjadi pada bulan puasa (Ramadhan) dan selama lebaran (Syawal).

Dalam kondisi yang memprihatinkan tersebut, pemerintah malah menggulirkan agenda tentang penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Kedua agenda tersebut sebenarnya sudah diatur secara kaku (rigid) dalam konstitusi dan harus membutuhkan amandemen konstitusi untuk merubahnya, maka digulirkan pula agenda lain yang juga mempunyai implikasi terhadap amandemen konstitusi yaitu agenda tentang pokok-pokok haluan negara (PPHN).

Agenda penundaan pemilu bertentangan dengan konstitusi karena pemilu yang luber jurdil (langsung umum bebas rahasia jujur adil) harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut: ‘(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali *** )’.

Demikian juga dengan agenda perpanjangan masa jabatan presiden atau penambahan masa jabatan menjadi tiga periode yang bertentangan dengan konstitusi, karena presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan setelahnya dapat dipilh kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan, artinya adalah hanya dua periode masa jabatan. Hal tersebut dtegaskan dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut: ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan *)’.

Bahwa pada jaman Orde Lama dan Orde Baru, presiden Sukarno dan Suharto pernah menunda pemilu dan memegang jabatan selama lebih dari dua periode, karena memang pada saat itu konstitusinya memungkinkan terjadinya hal tersebut. Namun setelah reformasi 1999 dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 dari perubahan pertama sampai keempat sejak 1999 sampai 2002, maka hal tersebut tidak dapat dilakukan lagi karena kedua agenda tersebut telah diatur jangka waktunya secara kaku (rigid) dalam konstitusi.

Kalaupun pemerintah tetap bersikeras untuk berupaya menjalankan agenda penundaan pemilu atau agenda perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, maka pemerintah melalui partai koalisinya dapat mengusulkan agenda amandemen kostitusi dalam sidang MPR. Salah satu isu yang berkaitan dengan kedudukan MPR adalah tentang pokok-pokok haluan negara (PPHN), tentu agenda PPHN lebih tersamar dan tidak secara langsung terkait atau menyebutkan tentang agenda penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

PPHN ini membelah anggota MPR menjadi tiga kelompok. Pertama adalah kelompok yang menolak PPHN karena sudah ada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kedua adalah kelompok yang menyetujui PPHN dalam bentuk melalui Ketetapan MPR (Tap MPR). Dan ketiga adalah kelompok yang menerima PPHN dalam bentuk melalui undang-undang. Mengembalikan kewenangan MPR untuk membuat Ketetapan MPR terkait PPHN (atau garis besar haluan negara/GBHN) seperti jaman Orde Lama dan Orde Baru akan memerlukan amandemen konstitusi.

Komposisi anggota MPR terdiri dari 711 anggota. Dengan uraian terdiri dari 136 anggota DPD dan 575 anggota DPR. Perubahan Undang-Undang Dasar disebutkan secara khusus dalam Bab XVI UUD NRI Tahun 1945. Usulan amandemen konstitusi harus diajukan oleh sepertiga jumlah anggota MPR, artinya minimal harus diajukan oleh 237 anggota MPR, baik dari unsur anggota DPD maupun anggota DPR. Hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 37 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut: ‘Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR ****)’. 

Pengajuan usulan amandemen konstitusi juga harus dilakukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian mana yang akan dirubah beserta dengan alasannya, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 37 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut: ‘diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya ****).

Persidangan amandemen konstitusi harus dihadiri paling sedikit oleh dua pertiga jumlah anggota MPR, artinya minimal harus dihadiri oleh 474 anggota MPR, baik dari unsur anggota DPD maupun anggota DPR. Hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 37 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut: ‘sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR ****)’.

Keputusan terkait amandemen konstitusi, paling sedikit harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu dari anggota MPR, artinya minimal harus disetujui oleh 357 anggota MPR baik dari unsur anggota DPD maupun anggota DPR. Hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 37 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut: ‘Putusan dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% + 1 anggota dari seluruh anggota MPR ****)’.

Dengan demikian, amandemen kostitusi paling sedikit harus diusulkan oleh 237 anggota MPR, persidangannya harus dihadiri oleh 474 anggota MPR, dan keputusannya harus disetujui oleh 357 anggota MPR. Sampai hari ini anggota DPR yang sudah solid menolak amandemen konstitusi adalah PKS (50 anggota), Demokrat (54 anggota), PDIP (128 anggota), dan Nasdem (59 anggota), serta sebagian anggota DPD. Ada sebagian lain anggota DPD yang masih menerima amandeman konstitusi kalau dikaitkan dengan adanya agenda penguatan fungsi dan peran DPD. 

Komposisi jumlah anggota MPR dari unsur DPR yang solid menolak amandemen konstitusi yang dapat digunakan untuk melakukan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden adalah 291 anggota, masih diperlukan tambahan anggota MPR yang lain sejumlah 66 orang, baik dari unsur anggota DPD maupun anggota DPR agar amandemen konstitusi tidak disetujui oleh 357 anggota MPR.

Kalau paling sedikit terkumpul sejumlah 237 anggota MPR baik dari unsur anggota DPD maupun anggota DPR yang mengajukan usulan amandemen konstitusi, kemudian terjadi persidangan MPR yang paling sedikit dihadiri oleh 474 anggota MPR, serta akan adanya tarik-menarik dalam proses pengambilan suara untuk tercapainya keputusan menerima atau menolak amandemen konstitusi oleh paling sedikit 357 anggota MPR, maka ditengah kenaikan harga bahan makanan dan kelangkaan minyak goreng akan terjadi dinamika politik yang luar biasa selama masa persidangan MPR. Tidak tertutup kemungkinan tangan oligarki akan turut bermain sebagai bandar untuk mengokohkan kepentingan mereka, bukan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara (Depok, 22 Maret 2022).