Tiga Pertanyaan Syaikhu Terkait Rencana Perubahan UU Penyiaran No.32 Tahun 2002

Presiden PKS Ahmad Syaikhu mencoba fasilitas podcast (M Hilal/PKSFoto)
Presiden PKS Ahmad Syaikhu mencoba fasilitas podcast (M Hilal/PKSFoto)

JAKARTA -- Anggota DPR RI Ahmad Syaikhu mengajukan tiga pertanyaan terkait rencana pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Hal itu disampaikan Syaikhu dalam Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi I DPR RI di Sumatera Utara, Kamis (11/11).

Pertanyaan pertama Syaikhu sampaikan kepada Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan RRI. Menurutnya, semangat UU 32 tahun 2020 tentang Penyiaran adalah untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah. Karena itu, perlu dibentuk lembaga penyiaran yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Semangat semacam ini tentunya masih sangat relevan. Tapi perlu kita lengkapi dengan pentingnya menjaga kedaulatan NKRI. Sebab, dengan Era Digital saat ini, penetrasi informasi dan konten-konten dari luar negeri akan semakin mudah diakses, hampir tak terbendung. Sangat penting bagi kita untuk untuk membuat regulasi yang ketat dan langkah-langkah antisipasi serta mitigasi dalam RUU yang akan kita buat. Dengan harapan ada filter informasi yang kokoh bagi kita untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara.

Dalam UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 Bab IV Pasal 36 Ayat 1 dan 2 berbunyi:

Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.

"Jika kita melihat perkembangan teknologi informasi yang bagai gelombang tsunami ini, sepertinya kita harus sama-sama sepakat untuk meningkatkan ambang batas konten dalam negeri hingga 80% Apakah ini bisa kita lakukan?" tanya Presiden PKS ini.

Pertanyaan kedua Syaikhu arahkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Utara. Mengutip data dari KPI Pusat, Syaikhu menyampaikan sepanjang 2020, ada 920 potensi pelanggaran oleh lembaga penyiaran yang ada di dalam negeri. Jumlah itu berasal dari 306 program siaran yang ditayangkan di Indonesia. Di Tanah Air, ada 16 induk jaringan televisi yang ada di Indonesia. Dari 16 jaringan induk tersebut, rata-rata per hari memiliki sebanyak 15 program siaran. Dalam sehari, masyarakat memiliki kurang lebih sebanyak 240 program alternatif yang disiarkan. Jika produk siaran ada 240 sehari dan dibandingkan dengan jumlah pelanggaran sebanyak 920 dalam satu tahun, artinya ada potensi pelanggaran 1 persen per hari.

RUU yang kita akan buat ini seharusnya bukan seperti “pemadam kebakaran” yang hanya mengandung aturan pemberian sanksi saat ada pelanggaran. Tapi juga dapat meminimalisir potensi-potensi pelanggaran yang terjadi. Paling tidak potensi pelan gagasan dapat ditekan dibawah 1 persen.

"Nah, sudah sejauh mana langkah-langkah yang diambil KPID Sumatera Utara agar konten-konten di daerah dapat diminimalisasi potensi pelanggarannya," tanya Syaikhu lagi.

Pertanyaan ketiga, Syaikhu menyoroti pengawasan konten. Syaikhu menjelaskan, tidak bisa dipungkiri media memiliki pengaruh dalam membentuk masyarakat. Terutama anak muda. Saat ini orang tua khawatir tidak hanya TV, tetapi media sosial, termasuk di dalamnya aplikasi youtube maupun website film online berlangganan yang menayangkan film yang memuat konten yang berbahaya bagi anak. Syaikhu memandang perlu ada lembaga khusus yang mengawasi terkait konten di media sosial sebagaimana yang diperankan oleh KPI/KPID.

"Bagaimana menurut KPID Sumut, apakah peran pengawasan terhadap konten media sosial, terutama terkait konten hiburan harus diawasi/diatur oleh KPI/KPID, atau dibuatkan lembaga baru?" tanya Syaikhu.

RUU tentang Penyiaran saat ini telah masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sebagai RUU Prioritas Tahun 2021 sebagaimana diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 23 Maret 2021. RUU ini menjadi usul inisiatif Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Komisi I DPR RI yang ruang lingkup tugasnya meliputi pertahanan, intelijen, luar negeri, komunikasi dan informasi, merupakan alat kelengkapan DPR RI yang tepat untuk melaksanakan amanat Prolegnas tersebut.