Tiga Catatan Ekonomi di 2017

Ilustrasi
Ilustrasi

Jakarta (20/1) – Anggota Komisi XI DPR RI Refrizal memberikan tiga catatan yang harus diperhatikan bagi Tim Ekonomi Jokowi-JK di Tahun 2017. Hal itu disampaikan Refrizal dalam menanggapi evaluasi yang dilakukan pemerintah terhadap capaian APBN-P tahun 2016 silam.

“Terdapat beberapa hal yang cukup menggembirakan, namun terdapat pula hal-hal yang perlu mendapat porsi perhatian lebih oleh pemerintahan Jokowi-JK,” jelas Refrizal di Jakarta, Jumat (20/1).

Pertama. berdasar data Global Wealth Report yang dirilis oleh Credit Suisse’s tahun 2016, Indonesia menempati posisi keempat negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia. Dimana 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional. Secara berurutan empat negara dengan ketimpangan tertinggi adalah Rusia (74,5%), India (58,4%), Thailand (58%) dan Indonesia.

“Dari data yang dirilis oleh Credit Suisse, Indonesia masuk dalam kondisi ketimpangan yang mengerikan. Di 2017 ini kami harap pemerintah serius mengatasi persoalan ini dan mampu menjawab problem distribusi pendapatan” tegaswakil rakyat PKS dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat II ini.

Efek dari tingginya tingkat ketimpangan tersebut, tegas Refrizal, adalah rawannya kejahatan sosial di masyarakat.

Kedua. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah kinerja pertumbuhan kredit perbankan yang melambat dan meningkatnya NPL (Non Performing Loan). Data Agustus 2016 pertumbuhan Kredit di angka 6,7% atau terendah sejak krisis global 2008. Sedangkan NPL perbankan meningkat 3,22%.

“Kinerja perbankan di 2016 tidak terlalu baik, terjadi pelambatan pertumbuhan kredit yang diiringi dengan peningkatan NPL. Walau NPL belum mencapai 5% namun diharapkan Pemerintah berperan aktif mengatasi persoalan ini,” papar Refrizal.

Refrizal menambahkan kekhawatiran ini menjadi relevan bila dikaitkan dengan keinginan presiden Jokowi yang mencanangkan program bunga single digit untuk UMKM.

“Bila tidak diatasi dengan serius, Suku bunga perbankan single digit sulit untuk direalisasikan,” tegas Refrizal.

Ketiga. Terkait efek dari dikeluarkannya regulasi baru terkait dengan pencabutan larangan ekspor mineral mentah.

“Terbitnya PP No. 1 Tahun 2017 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan terindikasi melanggar UU No.4/2009 tentang Minerba. Secara jelas dinyatakan bahwa kegiatan ekspor mineral mentah terlarang,” ungkap Refrizal.

Kebijakan ini, nilai Refrizal, akan membuat pembangunan hilirisasi industri menjadi terhambat. Efeknya akan merugikan perekonomian Indonesia.  Apalagi ditengarai berdasar data dari Asosiasi Industri Pengolahan investasi di sektor ini sudah lebih dari Rp 150 triliun.

Oleh karena itu, Refrizal meminta pemerintah harus memikirkan efek kebijakan ini terhadap struktur APBN 2017, seperti berapa besaran pajak ekspor yang diterima atau lapangan pekerjaan yang berkurang.

“Diharapkan kualitas pertumbuhan ekonomi di 2017 ini lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sehingga dapat memberikan dampak maksimal bagi kesejahteraan bangsa,” tutup Refrizal.