Sektor Pendidikan Tinggi Penuh Masalah, Legislator PKS: Menteri Nadiem Harus Lebih Sering ‘Turun Gunung’

Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Abdul FIkri Faqih
Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Abdul FIkri Faqih

Jakarta — Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Abdul Fikri Faqih meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, Nadiem Anwar Makarim untuk lebih sering ‘turun gunung’ ke kampus-kampus agar mendapatkan informasi lebih detail terkait permasalahan terkini yang mendera sektor Pendidikan tinggi di tanah air.

“Terkadang permasalahan di lapangan tidak dapat tergambar dari data-data teknis yang disampaikan oleh pejabat di bawah, maka pemimpin perlu turun langsung untuk melihatnya,” ujar Fikri di Jakarta, Rabu (10/05).

Hal tersebut disampaikan Fikri usai menerima banyak masukan dari kolega di pendidikan tinggi yang terdiri atas para rektor PTS, PTN, maupun pengamat Pendidikan atas maraknya problem di kampus-kampus tanah air.

“Salah satunya masukan agar mas Menteri lebih sering turba, turun ke bawah mengunjungi kampus-kampus, baik negeri maupun swasta,” tutur politisi PKS ini.

Masalah pertama adalah soal evaluasi pelaksanaan PTN-BH (Pendidikan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) di sebelas Universitas. Beberapa pihak menilai, PTN-BH minim kontrol dari pemerintah, baik secara pengelolaan keuangan, maupun penerimaan mahasiswa. Padahal MK sudah memutuskan, bahwa asset PTN BH tetap milik negara, yang artinya tetap wajib diaudit dan ada pertanggungjawaban hukumnya dalam pelaporan keuangan.

“Kampus swasta (PTS) juga mengeluh, kuota penerimaan mahasiswa baru di PTN-BH tidak terkontrol hingga puluhan ribu mahasiswa tiap tahunnya, sehingga berpotensi mematikan PTS-PTS yang ada,” imbuh Fikri.

Selain itu, banyak PTS juga meminta perimbangan keuangan negara (APBN) dalam sektor Pendidikan tinggi di tanah air.

“Pemerintah harus hadir dan intervensi untuk keseimbangan anggaran Pendidikan tinggi yang ada di Indonesia, terutama karena jumlah PTS lebih besar dari PTN (90 persen kampus adalah PTS),” ucap FIkri.

Selama ini, menurut Fikri anggaran PTN mencapai 96 persen, sedangkan PTS dialokasikan hanya 4 persen. Padahal jumlah mahasiswa di PTS sangat besar, mencapai 72 persen, sedangkan di PTN hanya 28 persen.

“Meski sekarang ada skema competitive fund, dimana PTN & PTS punya peluang yang sama, namun masih jauh perbandingan alokasinya,” tambah Fikri.

Dalam diskusinya, Fikri juga mengungkap keluhan para akademisi soal beban administrasi yang harus dikerjakan para dosen pasca keluarnya Peraturan Menteri PAN-RB nomor 1 tahun 2023 tentang jabatan fungsional.

“Belum terintegrasinya sistem informasi yang digunakan untuk menginput kredit dan kinerja para dosen tersebut, serta mepetnya deadline yang diberikan, membuat kredit yang telah dikumpulkan para dosen terancam hangus,” ungkap Fikri.

Permasalahan ini menyebabkan lebih dari 4 ribu dosen menandatangani petisi di Change.org yang bertajuk: ‘Mendikbud, Batalkan Deadline 15 April yang Mematikan Karier Dosen! ‘

Masalah lain juga menjadi catatan Fikri, yakni terkait Rancangan Peraturan Menteri tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (RPM PM-PT) RPM PM-PT, yang mengatur berbagai hal sebagai turunan (peraturan pelaksanaan) dari UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Meski demikian dinamika pembahasan dan dialektika terkait RPM tersebut masih dalam proses sebelum disahkan.

“Kami (DPR) memang tidak ikut membahas di level peraturan menteri, namun mengingatkan agar penerbitan suatu regulasi tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, sesuai dengan ketentuan UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan,” tutup Fikri.