Saham Mayoritas BUMN di KA Cepat Terancam Jadi Minoritas
Jakarta (10/2) - Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang sudah diresmikan pembangunan relnya oleh Presiden Joko Widodo masih menuai kontroversi. Komposisi investasi gabungan juga cenderung merugikan pihak Indonesia.
Ketua Bidang Ekonomi Informasi Teknologi dan Lingkungan Hidup (Ekuinteklh) DPP PKS Memed Sosiawan mengatakan, mayoritas saham konsorsium BUMN dalam investasi KA cepat Jakarta-Bandung terancam akan menjadi saham minoritas.
Memed menjelaskan, sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan no 45 tahun 2015, Konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari China Railway Cooperation (CRC) yang mempunyai porsi saham 40persen dan konsorsium BUMN Indonesia yang mempunyai porsi saham 60persen. Konsorsium BUMN yang terlibat dalam pembangunan KA-Cepat tergabung dalam PT PSBI.
Total Project Cost dari program KA-Cepat ini adalah sebesar Rp 55 triliun, yaitu CRC Rp 22 triliun dan PT PSBI Rp 33 triliun.
Lebih lanjut Memed memaparkan, PT PSBI sendiri pada pembiayaan tersebut akan terdistribusi kepada empat BUMN, yaitu PT Wijaya Karya (Rp 12,54 triliun); PT Kereta Api Indonesia (Rp 8,25 triliun); PT Perkebunan Nusantara VIII (Rp 8,25 triliun); dan PT Jasa Marga (Rp 3,96 triliun).
"Tentu saja sejumlah besar biaya tersebut tidak akan mampu semuanya dipikul oleh kondisi modal (equity) dari setiap BUMN dalam Konsorsium PT PSBI, karena proyek KA-Cepat bukanlah core bisnis keempat BUMN tersebut," ujar Memed di Kantor DPP PKS, Jl TB Simatupang, Jakarta Selatan, Rabu (10/2/2016).
Menurut Memed, masing-masing BUMN berdasarkan kondisi kesehatan keuangannya diperkirakan akan mampu menyediakan dana sendiri dari modal (equity) sebesar 20 persen dan sisanya yang 80persen dari hutang (debt), sehingga DER (debt equity rasio) adalah 4.
"Kalau demikian kondisinya maka, konsorsium PT PSBI akan menyediakan biaya dari modal (equity) sebesar Rp 6,6 triliun dan sisanya sebesar Rp 26,4 triliun akan bersumber dari hutang yang dapat dicari dari pasar uang (money market) atau pasar saham (stock market)," imbuhnya.
Bahkan konon kabarnya, lanjut Memed, kebutuhan biaya yang berasal dari hutang, sekitar sebesar 60persen nya akan bersumber dari Lender China dengan alasan dalam kondisi perekonomian global yang tidak kondusif maka kondisi China yang mengalami over capasity dapat disediakan tampungannya di Indonesia. Jadi, total dana yang berasal dari China adalah pembiayaan dari CRC sebesar Rp 22 triliun dan hutang konsorsium BUMN dari Lender China sebesar Rp 15,84 triliun, kalau keduanya dijumlah adalah sebesar Rp 37,84 triliun.
"Jumlah dana dari China tersebut adalah setara dengan 68,80 persen dana berasal dari China dan dana yang bersumber dari BUMN hanyalah 31,20 persen dari total Project Cost. Kegagalan dalam memperoleh revenue yang mengandalkan karcis Rp 200.000 dari jumlah penumpang 39.000 per hari (2020) sampai dengan 137.000 per hari (2050), akan menyebabkan saham mayoritas konsorsium BUMN yang semula 60 persen dapat berubah menjadi minoritas 30persen karena besarnya dana China sekitar 70persen dalam proyek KA-Cepat Jakarta Bandung," pungkasnya.
Keterangan Foto: Ketua Bidang Ekonomi Informasi Teknologi dan Lingkungan Hidup (Ekuinteklh) DPP PKS Memed Sosiawan