RUU Omnibus Law Cipta Kerja Mengganggu Rasa Keadilan

Oleh Memed Sosiawan

Ketua Bidang Ekuinteklh DPP PKS

Pada bulan Februari ini pemerintah telah menyerahkan dua buah Draft Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law ke DPR, yaitu: RUU Omnibus Law Perpajakan dan RUU Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja. Omnibus law merupakan metode mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam UU, atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU, atau dimaknai juga sebagai UU baru yang mengatur berbagai macam materi dan subyek untuk penyederhanaan berbagai UU yang masih berlaku. \

Tradisi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia selama ini menggunakan sistem civil law (Eropa Kontinental). Ada keterikatan pada sumber hukum tertinggi yaitu Pancasila dan UUD RI 1945. Pembentukan peraturan ini sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan omnibus law berkembang dalam tradisi hukum common law (Anglo Saxon).

Dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hanya dikenal istilah Undang-undang yakni peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR atau sebaliknya, sedangkan istilah yang bisa disebut UU payung (raamwet, basiswet, moederwet) tidak dikenal. UU payung merupakan “induk” dari UU lainnya, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari UU “anak”. Selain itu, UU payung atau induk lebih dulu ada daripada UU “anak”.

Beberapa Omnibuslaw yang akan diusulkan Pemerintah ke DPR, diantaranya: Omnibuslaw Perpajakan, yang akan menyelaraskan Tujuh Undang-undang dan 28 Pasal; Omnibus Law Ibu Kota Negara, akan menyelaraskan 43 regulasi, terdiri dari peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan presiden dan permen; sedangkan Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja, akan meyelaraskan Tujuh Puluh Sembilan Undang-undang dan 1.244 pasal.

Ketujuh UU yang akan diselaraskan dalam Omnibus Law Perpajakan tersebut meliputi UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU tentang Kepabeanan, UU tentang Cukai, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan UU tentang Pemerintah Daerah (Pemda).

Sejumlah 43 regulasi yang akan diselaraskan dalam Omnibus Law Ibu Kota Negara tersebut meliputi 14 Undang-Undang yang berkaitan dengan ibu kota negara, yakni: 4 UU tentang kedudukan IKN; 4 UU terkait batas dan wilayah; 3 UU tentang bentuk dan susunan pemerintah; 2 UU tentang kawasan khusus pusat pemerintahan; 1 UU tentang penataan ruang; 1 UU tentang lingkungan hidup; serta 1 UU tentang penanggulangan bencana.

Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja

Sejumlah 79 undang-undang dan 1.244 pasal yang akan diselaraskan dalam Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja ini terdiri dari 11 kluster, yaitu: 1. Penyederhanaan Perizinan, mencakup 52 UU terdiri dari 770 pasal; 2. Persyaratan Investasi, mencakup 13 UU terdiri dari 24 pasal; 3. Ketenagakerjaan, mencakup 3 UU terdiri dari 55 pasal; 4. Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, mencakup 3 UU, terdiri dari 6pasal; 5. Kemudahan Berusaha, mencakup 9 UU terdiri dari 23 pasal; 6. Dukungan Riset & Inovasi mencakup 2 UU, terdiri dari 2 pasal; 7. Administrasi Pemerintahan ada 2 UU sebanyak 14 pasal; 8. Pengenaan Sanksi mencakup 49 UU mencakup 295 pasal; 9. Pengadaan Lahan, mencakup 2 UU, sebanyak 11 pasal; 10. Investasi dan Proyek Pemerintah, mencakup 2 UU terdiri dari 2 pasal; dan 11. Kawasan Ekonomi, mencakup 5 UU, sebanyak 38 pasal.

Terkait masalah ketenagakerjaan misalnya, terjadi beberapa perubahan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berpotensi merugikan buruh, antara lain: perhitungan uang penghargaan masa kerja pada Pasal 156 Ayat 3 huruf h (sepuluh bulan upah - dihilangkan); uang penggantian hak pada Pasal 156 Ayat 4 (uang penggantian hak yang harus diberikan diganti dengan dapat memberikan uang penggantian hak); PHK karena kasus tertentu pada pasal 169 (PHK karena kasus tertentu harus diberikan uang penggantian hak - dihapus); juga permohonan mengajukan PHK pada pasal 152 (permohonan pengajuan PHK kepada lembaga penyelesaian hubungan industrial - dihapus).

Terkait masalah Dukungan Riset dan Inovasi, terjadi perubahan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Paten, sehingga menghilangkan perlindungan terhadap hak paten. Pada pasal 20 yang akan dihapus dapat berpengaruh kepada 27 pasal yang mengatur Lisensi Wajib dari pasal 81 sampai pasal 107.

Terkait dengan Pengadaan Lahan/Pertanahan, terdapat banyak isu krusial yang dapat bertentangan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), diantaranya adalah: Pengaturan tentang Bank Tanah yang tidak jelas filosofinya, urgensinya, asal tanahnya, dan siapa yang paling diuntungkannya; Pengaturan tentang Hak Pengelolaan (HPL) bukan ditujukan untuk meluruskan konsep HPL sebagai “fungsi” pengelolaan, tetapi justru memantapkannya sebagai “hak” yang bersifat keperdataan, bahkan jangka waktu hak atas tanah di atas tanah HPL diberikan sekaligus selama 90 tahun dan dalam keadaan tertentu pemberian hak atas tanah di atas tanah HPL dapat diberikan perpanjangannya sekaligus; Pengaturan kepemilikan satuan rumah susun (HMSRS) yang berdiri diatas tanah HGB bagi WNA melanggar konsepsi universal tentang rumah susun (strata title).

Terkait dengan pengelolaan kawasan kehutanan, terjadi perubahan terhadap UU Nomer 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berpotensi merusak lingkungan hidup, antara lain: Tumpang tindih kawasan hutan dengan RTRW atau ha katas tanah diatur dengan perpres; Batas minimum 30% kawasan hutan untuk setiap DAS dan Pulau dihapus; Perubahan kawasan hutan strategis tidak lagi membutuhkan persetujuan DPT, cukup diubah dengan PP; Pemegang ijin tidak lagi bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan diarea kerjanya, hanya sebatas diwajibkan melakukan pencegahan dan pengendalian kebakaran di area kerjanya (Harian Kompas, 22 Februari 2020).

Karpet merah kemudahan dan insentif investasi melalui pembentukan RUU Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja, selain memunculkan berbagai masalah yang sudah diungkapkan diatas, masih banyak lagi menyisakan berbagai persoalan yang sangat merugikan kehidupan masyarakat dan mengganggu rasa keadilan karena luasnya cakupan pengaturan dari RUU tersebut. Jangan sampai keinginan memudahkan investasi menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap cita-cita nasional Indonesia sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.