Rumah Perubahan Perempuan

Saya terlahir bungsu dari 15 bersaudara. Masa kecil saya dihabiskan di lingkungan masyarakat yang kurang bersahabat. Kehidupan lingkungan keluarga kami sangat keras. Hampir setiap saat, saya melihat dengan mata sendiri bagaimana para pemuda lingkungan kami “berperang” antara geng pemuda lorong. Padahal masalahnya hanya sepele. Ungkapan yang tepat adalah “harga diri harga mati”, kata para pemuda di sana singkat. Apapun masalah sepele tersebut jika seseorang merasa tersinggung maka itu menjadi harga dirinya yang harus dibela walaupun harus sampai menumpahkan darah. Ibu-ibu mereka bahkan seakan pasrah melihat keadaan tersebut. Bahkan terkadang pertengkaran juga terjadi antara ibu-ibu yang tidak terima ketika anak-anaknya berkelahi dengan sesama temannya yang lain.

Alhamdulillah, ketika saya menginjak bangku SMA, Allah memberikan hidayah dan ekstra semangat untuk giat berda’wah. Saya pun mulai mengajar iqra kepada anak-anak santri di TPA Nahdatussa’adah. Di tempat itulah saya merasakan adanya hidayah untuk berdakwah di dalam sanubari. Lewat mengajar anak-anak, saya merasa bisa lebih dekat dan berkomunikasi dengan ibu-ibu mereka. Dari cerita ringan ibuibu ini akhirnya saya bisa mendapat asupan mengenai harapan hingga kegundahan mereka terhadap kondisi ekonomi yang pelik dalam keluarga mereka.

Singkat cerita, pada 2004 silam saya dipercaya menjadi Ketua DPC PKS Mariso, Makassar. Amanah ini pulalah yang membuat saya punya lebih banyak peluang untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat.Kegiatan-kegiatan di DPC pun banyak bersentuhan dengan ibu-ibu tersebut. Bantuan-bantuan sosial seperti pemeriksaan gratis dan pembagian sembako rutin setiap tahun kami lakukan. Saya dan penguruspengurus DPC juga memfasilitasi bantuan sembako yang berasal dari CSR perusahaan dan lembaga. Begitu pula dengan berbagai pelatihanpelatihan ketrampilan perempuan yang sering kami fasilitasi dengan baik. Tak heran jika masyarakat melabeli kegiatan kami dengan bantuan PKS meskipun mereka tahu siapa sebenarnya pihak pemberi bantuan itu.

Bagi saya, persoalan-persoalan mengenai perempuan rasanya sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Berada di lingkungan yang tak sedikit orang menyebut dengan istilah pemukiman “kumis” (kumuh dan miskin) membuat saya lebih semangat untuk melakukan sebuah perubahan nyata. Banyak yang menganggap jika orang-orang yang tinggal di daerah kami ini sebagai orang pinggiran. Oleh karena itulah itulah saya bercitacita membuat sebuah lembaga atau semacam komunitas pemberdayaan perempuan bernama Rumah Perubahan.

Rumah ini diharapkan dapat menjadi tempat berbagi ide, pelatihan dan pemberdayaan perempuan agar perempuan Indonesia (khususnya di Marisso) dapat menjadi semakin cerdas dan mandiri secara ekonomi sehingga kesan pinggiran yang melekat pun hilang. Efek positif tersebut diharapkan pula dapat meningkatkan harkat dan marwah kaum perempuan di negeri ini. Saya meyakini bahwa perempuan bisa semakin cerdas tidak hanya lewat pendidikan formal semata. Disinilah saya ingin lebih berperan aktif dalam hal itu. Edukasi informal yang saya gunakan dengan misi mencerdaskan perempuan-perempuan yang dimulai dari lingkungan saya sendiri. Selama perempuan itu memiliki harapan untuk kehidupan anak-anaknya untuk lebih baik dari mereka maka pola pikir mereka bisa berubah lebih baik dengan pendekatan sesuai kapasitas masing-masing dari mereka.

Alhamdulillah, setelah saya mendapat amanah jadi anggota legislatif atas dukungan mereka (meski masih terbilang seumur jagung), cita-cita dan harapan demi harapan perlahan mulai terealisasi. Saya merasa lebih banyak waktu bisa berinteraksi dengan mereka dibandingkan ketika saya jadi guru MITQ Azhar Center yang full day sekaligus merangkap menjabat ketua DPC selama 10 tahun. Berbagai pekerjaan dari program pemberdayaan masyarakat menjadi fokus saya untuk berkhidmat pada rakyat. Sebuah prioritas penting bagi saya agar tidak sekedar membantu ekomomi mereka namun juga sembari menyelipkan nilai moral dalam mendidik anak-anak mereka.

Saya baru membina 6 kelompok wanita tani (KWT) dan 4 kelompok bank sampah yang masih dalam proses menuju lebih baik lagi. Semoga dengan pekerjaan yang cukup sederhana ini bisa mengubah rumahrumah mereka yang tadinya penuh dengan pertengkaran dan kekerasan (baik fisik maupun psikis) menjadi rumah yang akan siap untuk mencetak generasi yang berkualitas. Arahan, saran, dan masukan dari semua kalangan pastinya sangat diharapkan dalam ikhtiar pemberdayaan perempuan, khususnya di wilayah Mariso. Bismillah, perjalanan ini masih sangat panjang.


Yeni Rahman, Anggota DPRD Kota Makassar Sulawesi Selatan


Diambil dari Buku Kartini Legislasi, Bunga Rampai Kiprah Perempuan Aleg PKS