Refleksi Akhir Tahun dan Proyeksi ke Depan: Lonjakan Rasio Utang Selama Pandemi Bisa Menyulitkan Kesehatan Fiskal Pemerintah

Oleh: Memed Sosiawan*

*(Ketua Komisi Kebijakan Publik MPP PKS, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR)

Sebelum memasuki tahun 2020, kondisi perekonomian Dunia sebenarnya sudah mengalami kelesuan kerena berlarutnya perang dagang antara Amerika dengan China, lalu Amerika selanjutnya juga membuka perang dagang dengan Eropa, sedangkan China kemudian juga membuka perang dagang dengan Australia. Kelesuan kondisi perekonomian tersebut, diantaranya ditandai dengan turunnya pertumbuhan ekonomi Dunia dan melemahnya harga minyak yang bahkan pernah menyentuh level dibawah US$ 20 per barel.

Tahun 2020 juga dilewati dengan terjadinya berbagai peristiwa penting baik di Dunia maupun di Indonesia. Pada awal tahun, Dunia dikejutkan dengan menyebarnya pandemi covid-19 ke seluruh Dunia. Di  Indonesia sendiri kondisi pandemi covid-19 baru diakui pemerintah pada bulan Maret 2020. Pandemi ini akhirnya mendorong Indonesia memasuki krisis kesehatan yang kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi yang ditandai dengan masuknya Indonesia ke dalam resesi. Kondisi resesi ini adalah yang pertama terjadi dalam duapuluh tahun terakhir.

Respon kebijakan yang dilakukan pemerintah dari sisi keuangan negara dalam menghadapi krisis kesehatan dan krisis ekonomi (resesi) serta upaya penyelamatan ekonomi nasional ini adalah dengan menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 2020 (yang disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covtd-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perpu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Perpres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (selanjutnya dirubah kembali dengan Perpres 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 Tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020), dan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nastonal.

Beberapa ketentuan yang termuat dalam Perpu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020), dan Perpres 72 Tahun 2020, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2020, yang secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan fiskal dalam jangka menengah, antara lain adalah:

 

  • Penetapan defisit anggaran melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (Perpu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Pasal 2 ayat (1) a.1.)
  • Penetapan besaran defisit sejak Tahun Anggaran 2023 akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto/PDB (Perpu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Pasal 2 ayat (1) a.2.)
  • Bank Indonesia (BI) dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019/Covid-19 (Perpu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Pasal 16 ayat (1) c.)

Dengan mulai diterapkannya beberapa ketentuan dalam Perpu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020), dan Perpres 72 Tahun 2020, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2020 diatas dalam APBN Perubahan 2020 dan APBN 2021, serta dilengkapi dengan informasi dari BPS (terkait dengan nilai PDB tahun 2019), kemudian ditambahkan beberapa perkiraan asumsi pertumbuhan ekonomi (2020, 2021, dan 2022) dan perkiraan besarnya defisit (2022) dari World Bank (Sumber: Indonesia Economic Prospects, December 2020: Towards a Secure and Fast Recovery, World Bank), maka proyeksi kondisi fiskal selama lima tahun dari tahun 2020 sampai tahun 2024 dapat disimulasikan. Table Simulasi Proyeksi Fiskal 2020-2024, terlampir dibawah ini:

WhatsApp Image 2020-12-22 at 13.16.48

Proyeksi kondisi fiskal 2020, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar -2,2% dan asumsi defisit anggaran sebesar 6,34% (defisit > 3%) maka jumlah total utang senilai Rp 5.802,38 triliun, sehingga rasio utang terhadap PDB bertambah menjadi 37,35%. Proyeksi kondisi fiskal 2021, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,4% dan asumsi defisit anggaran sebesar 5,7% (defisit > 3%) maka jumlah total utang menjadi Rp 6.726,81 triliun, sehingga rasio utang terhadap PDB bertambah menjadi 41,48%. Sedangkan proyeksi kondisi fiskal 2022, dimana ini adalah tahun terakhir berlakunya defisit lebih dari 3%, maka dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8% dan asumsi defisit anggaran sebesar 4,3% (defisit > 3%) maka jumlah total utang menjadi Rp 7.457,66 triliun, sehingga rasio utang terhadap PDB bertambah menjadi 43,88%.

Meskipun selama periode 2020 – 2022 tersebut, Bank Indonesia (BI) dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi covid-19, sebagai sebuah skema atau mekanisme membagi beban (Burden Sharing). Bank Indonesia sebagai bank sentral ikut terlibat membiayai defisit anggaran yang menggelembung.

Sedangkan untuk tahun 2023 dan 2024, dimana defisit harus kembali tidak boleh melebihi 3% (sesuai dengan ketentuan UU No. 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara), maka proyeksi kondisi fiskal 2024, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% dan asumsi defisit anggaran sebesar 3,0% (defisit =/< 3%) maka jumlah total utang menjadi Rp 8.556,78 triliun, sehingga rasio utang terhadap PDB bertambah menjadi 45,58%.

Rasio utang terhadap PDB sebesar 45,58% pada tahun 2024 semakin mendekati batas atas rasio utang terhadap PDB yang sebesar 60% (sesuai dengan ketentuan UU No. 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara). Pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, puncak rasio utang terhadap PDB adalah 84,8%. Pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati berhasil menurunkan rasio utang tersebut menjadi 51,3% pada tahun 2004 dan selanjutnya pemerintahan SBY juga berhasil menurunkan rasio utang menjadi 24,7% pada tahun 2014. Namun pemerintahan JKW ternyata kembali menaikkan rasio utang menjadi 30,33% pada tahun 2019, dan diperkirakan proyeksi rasio utang akan semakin meningkat menjadi 45,58% pada 2024.

Kondisi kesehatan fiskal pemerintahan baru 2024 – 2029 akan semakin sulit dengan perkiraan rasio utang yang trendnya mendekati batas atas 60% dari PDB. Kalaupun pemerintahan baru tersebut masih dapat memperoleh utang maka itupun jumlahnya akan terbatas, tersisa ruang utang sebesar 14,42% PDB, sehingga defisit anggaran pertahun yang dapat direncanakan adalah rata-rata sekitar 2,88% per tahun anggaran dengan asumsi pertumbuhan ekonomi rendah. Utang yang didapatkan pemerintah juga akan merupakan utang yang mahal karena berbiaya tinggi disebabkan oleh rendahnya kondisi kesehatan dan kesinambungan fiskal.

Oleh sebab itu setelah redanya pandemi covid-19 pemerintah dituntut untuk segera memacu pertumbuhan ekonomi tinggi sebesar lebih dari 5,5% untuk dapat mengobati terpuruknya kondisi perekonomian akibat pandemi covid-19 dan resesi ekonomi, juga agar dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi generasi usia kerja yang tumbuh selama terjadinya bonus demografi di Indonesia. Pemerintah harus mampu mewujudkan petumbuhan ekonomi bernilai tambah tinggi, mencapai pemerataan pendapatan dan melakukan redistribusi aset serta pembangunan lestari yang berwawasan lingkungan agar pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi lebih berkualitas karena mampu mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat, serta mengurangi rasio utang terhadap PDB.

Beberapa langkah utama yang dapat dilakukan pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi bernilai tambah tinggi dan berkualitas serta menciptakan sumber-sumber penerimaan baru sehingga mampu meningkatkan PDB, adalah: 1) Melakukan transformasi sektor pertanian dan perikanan guna melipatgandakan produktivitas petani dan nelayan dengan memperhatikan pengolahan sumberdaya maritim; 2) Mendongkrak daya saing sektor industri dan jasa nasional melalui pengembangan sistem inovasi nasional; 3) Membangun sektor-sektor yang berdaya ungkit tinggi sehingga dapat menjadi sumber pertumbuhan baru berbasis SDM, Iptek, SDA dan budaya; dan 4) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan harmonisasi dengan lingkungan hidup (Jakarta, 17 Desember 2020).