Penyelundupan Satwa Langka Marak, Revisi UU 5/1990 Mendesak

JAKARTA (27/5) – Rapat Kerja (Raker) Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Senin (25/5) membahas revisi Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Pembahasan ini dipicu desakan masyarakat yang meresahkan maraknya penyelundupan satwa langka dilindungi.

Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin mengungkapkan hal ini di Jakarta, Rabu (27/5). Ia mengatakan Raker menghasilkan kesepakatan antara DPR dan KLHK untuk segera merevisi UU 5/1990. “Sebelum proses revisi ini dilakukan, kami meminta pemerintah untuk memperbaiki instrumen penegakan hukum,” kata Andi Akmal.

Menurut Andi Akmal, Pemerintah, dalam hal ini Menteri LHK, mengakui operasi inteligen dan investigasi perdagangan satwa langka masih sangat lemah. Implementasi dari sanksi hukum masih jauh dari aturan yang ada. Ia mengungkapkan salah satu poin yang akan direvisi ialah sanksi hukum perdagangan satwa langka di Indonesia, yang saat ini masih berupa denda Rp100 juta atau kurungan maksimal 5 tahun penjara.

“Selama ini implementasi hukum terhadap pelanggar hanya berupa vonis 3-5 bulan penjara, paling maksimal pun 8 bulan kurungan. Ini sangat jauh dari ancaman hukuman yang tertera di Undang-Undang (UU),” jelas Andi Akmal.

Legislator PKS ini mengingatkan Pemerintah untuk segera membangun dan memperkuat instrumen hukum pada proses pembahasan revisi UU. Ia menyontohkan perlunya penguatan inteligen dan semua perangkatnya, mulai dari peningkatan kualitas dan otoritas Polisi Hutan (Polhut), penguatan teknologi pencegahan tindak penyelundupan, hingga memperkokoh armada yang digunakan aparat kehutanan selama bertugas menjaga kelestarian alam.

“Saya sangat menyayangkan, apabila polisi hutan tidak memiliki otoritas X-Ray pada pemeriksaan barang di bandara atau pelabuhan,” ujarnya.

Kondisi inteligen karantina saat ini, jelas Andi Akmal, sedang membangun infrastruktur dan sumber daya manusia. Awalnya, karantina di pelabuhan dan bandara dipandu oleh Badan Inteligen Strategis (BAIS). Namun, kini mereka di bawah koordinasi POLRI.

“Sebagaimana diketahui bahwa cara kerja POLRI ialah bertindak bila ada laporan terlebih dahulu. Sedangkan BAIS, sebelum kejadian dapat melakukan tindakan pencegahan,” paparnya.

Andi Akmal juga menyayangkan posisi Polhut yang masih belum masuk struktur permanen di Badan Karantina. Saat ini Badan Karantina di bawah Kementerian Pertanian, sedangkan Polhut di bawah Kementerian LHK. Sehingga untuk melibatkan Polhut, lanjutnya, harus ada operasi gabungan yang melibatkan Badan Karantina dan Kementerian Kelautan Perikanan. Itu pun apabila ada laporan dari Kominda (Komunitas Inteligen Daerah).

“Koordinasi lintas institusi selama ini berada di Kominda. Sedangkan Kominda di bawah Gubernur. Masih banyak regulasi kedepan yang harus diperbaiki agar lebih efektif dan efisien dalam menjalankan tindak pencegahan terhadap penyelundupan satwa liar dilindungi,” jelas Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Politisi asal Sulawesi Selatan tersebut menambahkan seharusnya Badan Karantina dapat berdiri sendiri di bawah Presiden, sedangkan SDM-nya berasal dari gabungan berbagai institusi. Sedangkan Polhut dan Kementerian Kelautan Perikanan, tambahnya, harus terlibat dalam karantina. Bahkan BAIS dan POLRI bisa bergabung untuk memperkuat Badan Karantina.

“Kami sangat berharap Badan Karantina memiliki unit inteligen yang sangat kuat. Sehingga kejadian penyelundupan satwa langka dilindungi dapat dicegah sejak dini. Kejadian seperti kasus kakak tua jambul kuning dan penyelundupan sisik trenggiling pun dapat lebih mudah digagalkan sejak awal,” pungkasnya.

Ilustrasi: Salah satu satwa langka yang dilindungi, kakak tua jambul kuning (sumber: istimewa).