Menolak Kenaikan Harga BBM, Kesalahan Tata Kelola Subsidi, Rakyat Terkorbankan

Oleh:Agus Rendy Wijaya

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan Hidup
DPP Partai Keadilan Sejahtera

Langkah pemerintah dalam menaikkan harga BBM bersubsidi, Solar dan Pertalite, ditengah kondisi perekonomian nasional yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi Covid-19, akan secara berantai semakin menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini terjadi karena Pertalite (RON 90) saat ini telah menjadi tulang punggung BBM masyarakat, dengan konsumsi BBM terbesar (hampir 80%) dibandingkan jenis BBM yang lain. Masyarakat berpindah dari sebelumnya konsumsi terbesar BBM jenis premium (RON 88), menjadi Pertalite karena akses dan ketersediaan premium semakin sedikit dipasaran, sehingga masyarakat secara hukum pasar akan mencari BBM sesuai kebutuhannya yang paling mudah diakses dan harga yang paling terjangkau (affordable). 

Konsumsi BBM Pertalite yang semakin besar ini, semakin membebani APBN. Hal ini disebabkan Pertalite dibuat dari campuran 50% premium (RON 88) dengan Pertamax (RON 99), dimana komponen premium ini disubsidi oleh pemerintah. Pemerintah mengklaim, hampir 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh orang kaya, sedangkan subsidi LPG sebesar 76 persen justru dinikmati oleh masyarakat mampu, sedangkan masyarakat miskin sekitar 24 persen dari total penyaluran. Pemerintah menilai subsidi BBM ini tidak tepat sasaran. Ini adalah alasan klasik yang selalu dinarasikan oleh pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Padahal pemerintah hingga saat ini, tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai perintah UU Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi Pasal 7 Ayat 2 menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu. Dalam teori ekonomi salah satu tujuan kebijakan subsidi adalah redistribusi, agar distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Dengan menetapkan harga lebih murah, barang yang disubsidi menjadi dapat dijangkau oleh masyarakat yang miskin sekalipun. Inilah salah satu tujuan subsidi BBM yang selama ini diperintahkan oleh UU untuk dijalankan oleh pemerintah.

Pemerintah selama ini bukan fokus pada bagaimana menyediakan infrastruktur, mekanisme dan alat kontrol sehingga subsidi BBM ini tepat sasaran sebagaimana diperintahkan UU, tetapi lebih memilih jalan pintas dengan melakukan subsidi terbuka tanpa mekanisme pembatasan yang jelas, akhirnya membebani keuangan negara. Bahkan, pemerintah telah memiliki roadmap untuk menjadikan Pertamax (RON 92) sebagai BBM bersubsidi menggantikan Pertalite dengan alasan emisi karbon BBM Pertamax lebih rendah sehingga mendukung target pemerintah pencapaian net zero emission 2060. Padahal tidak ada perintah UU yang mendasari penggunaan subsidi untuk kepentingan tersebut. Ini membuktikan, bahwa pemerintah dengan sengaja lalai dalam menjalankan tugas tata kelola subsidi yang tepat yang akhirnya berujung pada tidak efisiennya keuangan negara. Harusnya pencapaian net zero emission didorong dengan pemanfaatan energi terbarukan (EBT) tetapi pemerintah malah menggunakan instrumen subsidi yang bukan peruntukannya dalam kebijakannya. Inilah akar masalah subsidi BBM yang sudah sejak lama belum diselesaikan dan diabaikan oleh pemerintah.

Menaikkan harga BBM akibat kebijakan subsidi yang salah kelola itu, akhirnya memperparah kondisi perekonomian nasional yang sejak bulan Juli 2022 telah mengalami inflasi 4,94%. Dampaknya, masyarakat akan menanggung inflasi yang diprediksikan mencapai 7-8%. Selama tata kelola subsidi ini masih diabaikan oleh pemerintah, maka solusi menaikkan harga BBM hanyalah cara praktis pemerintah dalam menghadapi tekanan di APBN, bukan menyelesaikan masalah tetapi hanya buying time masalah yang sama dikemudian hari. Oleh karena itu, Partai Keadilan Sejahtera, konsisten menolak kenaikan harga BBM yang hanya dijadikan instrumen pemerintah hanya untuk menambah kuota BBM, menambah beban keuangan negara, dan semakin lalai terhadap akar masalah yang harus diselesaikan, yaitu tata kelola subsidi BBM. PKS tidak menginginkan kesalahan kebijakan yang membuat masyarakat terkorbankan tidak kunjung diselesaikan. 

Pemerintah harus didorong dan diawasi untuk segera melakukan perbaikan tata kelola subsidi BBM ini. Dengan pembatasan subsidi BBM yang tepat sasaran, konsumsi BBM bersubsidi akan dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang tepat, sehingga fluktuasi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah yang menjadi pendorong utama kenaikan harga BBM bisa dikontrol dampaknya terhadap APBN. Efisiensi anggaran dalam APBN yang dihasilkan harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur kilang dan penyimpanan BBM nasional, sehingga APBN kita memiliki ruang fiskal yang cukup untuk menyelesaikan permasalahan sektor hilir migas mengingat supply-demand migas nasional yang terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika permasalahan sektor hilir migas ini dapat diatasi dengan baik dan tepat, maka penyediaan BBM yang terjangkau dan efisien bagi masyarakat tanpa membebani APBN dapat tercapai.[]