Mengintip Evaluasi Mendagri Atas APBD DKI 2015 Usulan Gubernur Ahok: Menyeimbangkan Informasi (2)

Kelemahan kemampuan teknis ini patut dipertanyakan mengingat penyusunan APBD merupakan kegiatan yang berulang setiap tahun. Apakah ini akibat penggunaan sistem E-Budgeting sehingga penyusunannya mengikuti sistem yang dibangun dalam E-Budgeting? Kalau seperti ini, maka perlu dievaluasi bagaimana sistem penetapan nomenklatur dan mata anggaran disusun dalam E-Budgeting. Sebagai sebuah sistem, E-Budgeting memang bagus untuk mengontrol anggaran, namun perlu didukung dengan penyusunan sistem yang benar dan bukan malah membuat kekacauan dalam penyusunan APBD.

APBD yang tidak optimistik ditunjukkan dengan target pendapatan daerah dalam RAPBD 2015 yang lebih rendah dari APBD Perubahan 2014, sehingga secara total RAPBD 2015 ini hanya sedikit meningkat dari APBD 2014. Di sisi belanja alokasi belanja modal yang dibutuhkan untuk pembangunan pada RAPBD 2015 ini juga lebih rendah dibanding APBD-P 2014. Padahal tantangan pembangunan dan permasalahan Jakarta yang harus diselesaikan masih sangat banyak dan membutuhkan anggaran yang besar.

Kelemahan dalam aspek regulasi dalam penyusunan anggaran sangat terlihat dengan banyaknya mata anggaran yang tidak jelas landasan hukumnya. Bahkan terdapat inkonsistensi besaran alokasi anggaran antara anggaran dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), KUA-PPAS dan  RAPBD yang seharusnya konsisten satu sama lain. Substansi dan format  KUA-PPAS juga tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Dari sisi penerimaan, Gubernur masih mengalokasikan penerimaan dari Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol yang seharusnya dilarang untuk dianggarkan karena dasar hukum yang menjadi landasannya sudah dicabut. Dari sisi belanja, sangat banyak alokasi anggaran yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas seperti berbagai kegiatan operasional di SKPD/UKPD, kegiatan yang tidak memiliki korelasi langsung antara program dengan outputnya, maupun alokasi anggaran untuk kegiatan yang berjudul lanjutan, padahal bukan program yang bersifat multiyears. Kelemahan landasan hukum juga terlihat dengan adanya alokasi yang nilainya mencapai lebih dari 800 milyar untuk belanja premi pada kegiatan di SKPD/UKPD yang dilarang dialokasikan kecuali untuk kelompok miskin. APBD versi Gubernur juga ada yang dialokasikan untuk belanja kegiatan yang bukan menjadi wewenang dan tanggungjawab Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan total nilai Rp. 125.4 milyar

Hal paling memprihatinkan dalam RAPBD 2015 versi Gubernur yang dievaluasi Kemendagri adalah masalah keberpihak anggaran yang sangat kurang kepada kepentingan rakyat banyak. Alokasi anggaran gaji dan tunjangan untuk PNS DKI Jakarta mencapai 16,5 triliun atau 24,5% dari total APBD, dinilai oleh Kemendagri tidak wajar dan tidak rasional dari sisi proporsionalitas antar jenis belanja. Jumlah dan alokasi ini lebih besar dari alokasi anggaran untuk fungsi pendidikan yang hanya 14,5 triliun, apalagi dibanding fungsi dan bidang-bidang lain seperti kesehatan yang hanya 6,6 trilun atau 13% dari total belanja. Lalu, dimana keberpihakannya kepada kepentingan masyarakat banyak dalam bidang kebutuhan dasar?

Bersambung ke Mengintip Evaluasi Mendagri Atas APBD DKI 2015 Usulan Gubernur Ahok: Menyeimbangkan Informasi (3-Habis)