Mempersiapkan Pendapatan dan Postur Belanja Negara yang Efektif dan Kredibel

Ketua Departemen Keuangan dan Perbankan DPP PKS   Ecky Awal Mucharom
Ketua Departemen Keuangan dan Perbankan DPP PKS Ecky Awal Mucharom

A.Postur dan Pendapatan Negara

Terkait dengan Postur RAPBN Tahun 2017, secara umum masih perlu dipertajam dan didesain lebih progresif untuk mendorong pembangunan ekonomi, peningkatan pemerataan dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23 Ayat 1 dengan catatan sebagai berikut.

Target penerimaan perpajakan sebesar Rp1.495,89 triliun kurang realistis. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan pada tahun 2015 hanya 8,2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan pada periode 2010-2014 yang mencapai 15,05 persen; shortfall penerimaan perpajakan tahun 2015 sebesar Rp 250 triliun; serta realisasi penerimaan perpajakan Semester I-2016 lebih rendah sebesar Rp 11 Triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2015. Pemerintah seharusnya menjadikan data tersebut acuan dan pembelajaran untuk menyusun target penerimaan perpajakan yang lebih realistis. Target Penerimaan yang terlalu ambisius dapat mengakibatkan terjadinya shortfall kembali yang membuat Pemerintah harus melakukan penyesuaian di tengah tahun anggaran dalam bentuk pemotongan anggaran. Pemotongan anggaran di tengah tahun dapat mengganggu kinerja Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Target penerimaan perpajakan harus ditetapkan lebih realistis.

Realisasi pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan pada dasarnya masih jauh dari optimal. Tax ratio yang stagnan dan bahkan menurun beberapa tahun terakhir perlu menjadi perhatian serius. Salah satu kebijakan besar untuk menyelesaikan berbagai permasalahan perpajakan yang belum diselesaikan pemerintah adalah reformasi perpajakan lanjutan baik berupa paket amandemen UU perpajakan seperti UU KUP, UU PPh, dan UU PPN, penguatan kelembagaan, pembinaan aparat perpajakan, akses data dan informasi, dan lain-lain. Hal ini menjadi prasyarat penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan secara komprehensif dan berkelanjutan. Berdasarkan data Direktorat Perpajakan, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya sebesar 30,04 juta (2,4 juta WP Badan, 5,24 juta WP Pribadi Non-karyawan dan 22,4 juta WP Pribadi Karyawan). Padahal, menurut data BPS jumlah pekerja di Indonesia mencapai 93,72 juta, atau artinya hanya 29,4% yang terdaftar sebagai wajib pajak. Pemerintah perlu lebih serius untuk melanjutkan pengusutan penggelapan pajak dari aktivitas 2.000 PMA dengan potensi pajak yang hilang mencapai Rp500 triliun yang sering disampaikan Menteri Keuangan pada berbagai media. Pemerintah juga harus bersungguh-sungguh untuk mereduksi praktik transfer pricing khususnya oleh perusahaan asing.

Kebijakan pemotongan pajak (tax cut) yang dilakukan oleh Pemerintah perlu diarahkan agar menghasilkan stimulus yang optimal. Pemerintah mengeluarkan dua kebijakan pemotongan pajak, pertama dengan meningkatkan PTKP, kedua rencana penurunan PPh Badan. Meningkatkan PTKP artinya memperbesar disposable income (uang yang diterima) oleh pekerja, sehingga daya beli mereka semakin meningkatkan. Peningkatan daya beli tersebut diharapkan dapat meningkatkan permintaan aggregate yang pada akhirnya mendorong perekonomian. PPh Badan rencananya akan diturunkan oleh Pemerintah, dari awalnya 25 persen menjadi 17 persen. Secara umum, turunnya PPh Badan diharapkan mengurangi beban dari perusahaan, sehingga mereka memiliki dana tambahan untuk investasi. Akan tetapi perlu diingat bahwa pemotongan pajak berarti menghilangkan potensi perpajakan, yang artinya negara akan menanggung beban tambahan. Apabila pemotongan pajak berasal dari peningkatan defisit, maka efek positif dari pemotongan pajak akan tereliminasi dari efek negatif peningkatan defisit anggaran.

Pemerintah harus mengoptimalkan sistem logistik dan kepabeanan, sehingga memperlancar lalu lintas perdagangan internasional dan meningkatkan pendapatan dari pajak perdagangan internasional. Pajak dari perdagangan internasional mengalami penurunan 5 persen pada RAPBN 2017 dibandingkan APBNP 2016. Selain itu pemerintah belum serius membenahi sektor logistik nasional. Hal ini nampak dari peringkat logistik Indonesia mengalami penurunan dari 53 pada tahun 2014, menjadi 63 pada tahun 2016 (World Bank, 2016). Dimana, salah satu indikator yang mengalami penurunan terbesar adalah kualitas infrastruktur pendukung logistik, yang pada tahun 2014 mencapai 2,92 turun menjadi 2,65 pada tahun 2016.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam RAPBN tahun 2017 yang direncanakan mencapai Rp240,36 triliun belum optimal. Target PNBP tersebut turun 1,9 persen dari APBNP 2016. Fraksi PKS memandang target PNBP dalam RAPBN 2017 kedepan perlu ditingkatkan kembali, mengingat potensinya yang masih sangat besar. Optimalisasi PNBP membutuhkan pembenahan yang serius terutama untuk meningkatkan Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA), Bagian Pemerintah atas Laba BUMN, dan pendapatan BLU. Penerimaan PNBP-SDA yang ditetapkan dalam RAPBN 2017 sebesar Rp80,27 triliun, perlu dipertimbangkan ulang. Penerimaan ini masih memungkinkan ditingkatkan jika kebijakan migas baik terkait percepatan produksi, peningkatan lifting, dan renegosiasi untuk memperbaharui harga jual gas. Upaya untuk menutup kebocoran dan efisiensi cost recovery baik melalui audit penentuan cost recovery, update negative list cost recovery, peningkatan governance perusahaan juga sangat penting.

Pada RAPBN 2017, PNBP SDA non-migas mengalami penurunan sebesar Rp 11 Triliun dibandingkan APBN-P 2016. Pada dasarnya Pemerintah masih dapat berusaha lebih untuk menggenjot target PNBP SDA non-migas mengingat pada dasarnya potensi PNBP yang begitu besar. Memang terjadi penurunan harga komoditas global yang berpengaruh kepada besaran royalti Mineral dan Batubara yang akan diterima oleh Pemerintah. Akan tetapi, penurunan harga komoditas pada tahun ini diperkirakan tidak akan separah tahun sebelumnya, dan mulai mendekati titik equilibrium harga. Untuk itu adar dilakukan audit tambang secara seksama untuk mengetahui potensi kebocoran Sumber Daya Alam yang selama ini terjadi. Pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah strategis guna mendongkrak PNBP dari sektor tersebut, mengingat besarnya potensi yang ada. Pemerintah harus mendorong penuntasan penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang masih mengalami tumpang tindih lahan dengan kawasan pekebunan dan kehutanan.

Terkait dengan pendapatan bagian laba BUMN dalam RAPBN 2016 sebesar Rp38 triliun lebih tinggi 11,2 persen dari target dalam APBNP 2016 perlu dikaji lebih mendalam, pengelolaan BUMN harus mengarah sebagai korporasi modern sehingga dapat berkontribusi optimal bagi negara baik melalui dampak ekonomi, pajak dan juga setoran dividen sebagai PNBP. Kontribusi langsung BUMN kepada APBN, secara umum masih relatif rendah jika dibandingkan dengan skala asset yang dimiliki. Oleh karena itu, pemerintah agar merencanakan program–program yang jelas dan terukur untuk memacu kontribusi ekonomi BUMN untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan nasional.

B. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat

Perubahan dari postur belanja negara jangan sampai merugikan kepentingan rakyat. Pemerintah menurunkan belaja negara sebesar 0,5 persen dibandingkan APBNP 2016. Belanja yang bersifat program dan bersentuhan langsung ke masyarakat jangan sampai mengalami pemotongan yang signifikan. Hal ini penting mengingat rendahnya daya beli masyarakat saat ini yang diakibatkan oleh semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi. Keberadaan stimulus fiskal melalui belanja program Kementerian/Lembaga menjadi sangat penting. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat yang ditetapkan sebesar Rp1.310,43 triliun masih perlu dipertajam agar lebih progresif untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, memperbaiki tingkat kesenjangan dan mendorong pembangunan ekonomi nasional. Alokasi anggaran untuk fungsi pelayanan umum yang mencapai Rp343,64 triliun atau 26,2 persen di mana jumlah tersebut meningkat sebesar 6,5 persen dibandingkan dengan alokasi dalam APBNP tahun 2016 sebesar Rp322,58 triliun perlu dibenahi secara serius untuk mendukung kegiatan operasional dan meningkatkan kualitas pelayanan sehingga akan memberikan dampak kepada rakyat secara luas. Peningkatan alokasi untuk fungsi ekonomi Rp332,68 triliun atau 25,4 persen layak diapresiasi, meski masih disayangkan hanya meningkat sebesar 0,5 persen apabila dibandingkan dengan alokasi sebelumnya.

Peningkatan alokasi untuk mendukung pembangunan infrastruktur ekonomi dari Rp307,1 triliun dalam APBNP tahun 2016 menjadi sebesar Rp336,9 triliun juga layak diapresiasi. Meski demikian, pemerintah perlu benar-benar membenahi proses eksekusi belanja infrastruktur yang selama ini masih berjalan lamban. Kinerja realisasi belanja modal tahun 2015 yang hanya sekitar 80 persen dari pagu harus menjadi catatan serius. Secara komposisi pemerintah harus mempertimbangkan juga proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersifat massif dan padat karya, meningkatkan fasilitas sarana untuk mobilitas masyarakat, barang, jasa, ketahanan dan kedaulatan pangan serta energi, termasuk sumber daya terbarukan, kegiatan usaha serta menarik investasi yang produktif agar dampak perputaran ekonomi untuk rakyat lebih optimal.

Peningkatan alokasi anggaran infrastruktur melalui transfer ke daerah dan dana desa dari Rp88,0 triliun dalam alokasi APBNP tahun 2016 menjadi Rp133,7 triliun dalam RAPBN tahun 2017 adalah langlkah yang tepat namun harus diimbangi dengan kebijakan dan sistem pendukung yang kuat agar benar-benar terbelanjakan secara tepat dan tidak menjadi dana yang idle di daerah dan tetap akuntabel. Peningkatan alokasi untuk pembangunan infrastruktur pertanian dan kelautan perlu diambil karena kedua sektor ini seharusnya menjadi basis industrialisasi baru yang kokoh dan menjadi pusat pertumbuhan baru yang mampu membuka lapangan kerja, membantu petani, nelayan serta masyarakat berpenghasilan rendah sehingga akan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan rakyat. Selain itu nggaran infrastruktur terkait logistik, penyediaan energi dan transportasi masal juga perlu mendapatkan perhatian dan alokasi lebih tinggi. Hal ini sangat penting mengingat masih rendahnya daya saing dan terbatasnya infrastruktur nasional yang pada akhirnya menjadi faktor yang menghambat konektivitas serta membuat sistem logistik menjadi sangat mahal.

Peningkatan pos belanja infrastruktur via transfer daerah perlu diawasi efektifitasnya. Alokasi Anggaran infrastruktur pada RAPBN 2017 mencapai Rp 336 triliun, mengalami pertumbuhan 9,14 persen. Walaupun begitu, alokasi melalui penyertaan modal negara mengalami penurunan, dari awalnya Rp 36 triliun (APBNP 2016) menjadi hanya Rp7,2 triliun (RAPBN 2017). Di sisi lain, anggaran infrastruktur melalui transfer ke daerah dan dana desa mengalami peningkatan sebesar 51,13 persen, meningkat dari awalnya Rp88 triliun menjadi Rp133 triliun. Pemerintah agar meningkatkan kemampuan daerah dalam menyerap anggaran tersebut. Kemampuan daerah dalam menyerap anggaran sangat beragam. Data per Juni 2016 menunjukkan bahwa masih ada Rp220 triliun dana Pemerintah Daerah yang mengendap di perbankan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah dana transfer tersebut dapat digunakan secara maksimal oleh Pemerintah daerah.

Pemerintah harus serius merealisasikan program ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai prioritas dengan alokasi anggaran yang memadai. Hal ini sangat penting mengingat permasalahan ketersedian, kecukupan dan kenaikan harga-harga pangan selalu berimbas pada turunnya daya beli rakyat secara luas. Untuk itu alokasi anggaran dalam RAPBN 2017 untuk fungsi kedaulatan pangan sebesar Rp104,0 triliun, turun Rp13,9 triliun dari Rp117,9 triliun dalam APBNP 2016 perlu ditinjau ulang. Selain itu, terkait kedaulatan pangan, pemerintah harus memiliki disain kebijakan yang komprehensif agar sektor pertanian dan kelautan, benar-benar mampu menjadi basis industrialisasi dan pusat pertumbuhan baru ke depan. Meningkatnya impor bahan pangan adalah salah satu wujud ketidakberhasilan kedaulatan pangan yang selama ini diharapkan menjadi implementasi agenda ke-7 Nawacita, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Dalam rangka mendukung program ketahanan dan kedaulatan pangan, pemerintah agar sungguh-sungguh merealisasikan kebijakan Reforma Agraria untuk meningkatkan penguasaan lahan bagi petani sehingga akan meningkatkan produksi pangan nasional. Pemerintah juga perlu terus meningkatkan pemberian insentif bagi petani dengan perbaikan infrastruktur, penyediaan benih gratis, peningkatan subsidi pupuk, pembiayaan permodalan, asuransi gagal panen bagi petani, peningkatan besaran program ganti rugi lahan puso, bantuan alat dan mesin pertanian serta jaminan pasar untuk produk lokal melalui kebijakan proteksi dan promosi secara integral. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan perlu segera menyelesaikan permasalahan lahan-lahan potensial yang bermasalah dan bisa dimanfaatkan untuk peningkatan produksi.

Pemerintah diharapkan untuk terus meningkatkan kedaulatan dan ketahanan pangan. Data menunjukkan bahwa walaupun inflasi secara umum relatif rendah, akan tetapi inflasi harga pangan relatif tinggi, hingga mendekati 10 persen. Oleh sebab itu, kedaulatan dan ketahanan pangan menjadi kunci untuk mencegah inflasi pangan membumbung tinggi yang pada akhirnya menggerus daya beli masyarakat. Oleh sebab itu, pos belanja yang bersinggungan langsung dengan peningkatan produksi pangan, seperti pos subsidi pupuk dan benih harus terus ditingkatkan. Pos subsidi pupuk dan benih hanya mengalami peningkatan tipis, dimana secara berturut-turut meningkat sebesar Rp1,15 triliun dan Rp267 miliar. Selain itu, pos anggaran Dana Alokasi Khusus untuk infrastruktur irigasi dan pertanian juga mengalami pemotongan berturut-turut sebesar Rp9,9 triliun dan Rp2,1 triliun.

Kebijakan impor untuk stabilisasi harga pangan adalah kebijakan parsial dalam menyelesaikan masalah pangan Indonesia. Menurut amanat UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah berkewajiban melaksanakan kedaulatan pangan, ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan keamanan pangan. Bukan hanya terkait stabilisasi harga pangan. Selain itu, terkait asuransi pertanian, pemerintah agar tidak hanya memberikan untuk komoditas Padi seperti tahun sebelumnya tapi juga komoditas pertanian lainnya termasuk komoditas ternak karena sesuai amanat UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Alokasi anggaran untuk fungsi kesehatan sebesar Rp61,72 triliun secara umum masih konsisten memenuhi amanat UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga alokasi ini benar-benar mampu meningkatkan kualitas layanan kesehatan untuk rakyat yang selama ini masih belum memadai. Kekurangan infrastruktur layanan kesehatan dan masih buruknya layanan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus segera dibenahi oleh pemerintah. Kebijakan anggaran JKN perlu mendapatkan prioritas yang tinggi dan pelaksanaanya perlu terus disempurnakan. Kepastian agar rakyat miskin mendapatkan fasilitas JKN harus terus dipastikan. Pemerintah juga perlu memastikan kecukupan kebijakan dan anggaran untuk BPJS Ketenagakerjaan yang telah secara penuh harus menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), dan jaminan kematian (JKM). Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus berjalan secara prima dan berkelanjutan. Terkait kasus vaksin palsu yang terungkap tahun 2016 yang menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan pemerintah, hal ini harus segera dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Perlu dilakukan pencermatan ulang dan memastikan efektivitas alokasi anggaran untuk pendidikan di mana dalam RAPBN 2017 mendatang direncanakan mencapai Rp414,1 triliun, melalui Pusat sebesar Rp141,76 triliun dan transfer daerah Rp269,5 triliun. Alokasi yang cukup besar diharapkan mendorong peningkatan kinerja birokrasi dan guru-dosen, serta peningkatan kualitas infrastruktur dan proses pendidikan termasuk peningkatan pemerataan akses, kualitas, relevansi, dan daya saing. Anggaran pendidikan harus mampu mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan berdampak pada peningkatan kualitas manusia Indonesia serta daya saing bangsa. Pemerintah juga harus memperbaiki kualitas penggunaan anggaran untuk pendidikan, sebab kunci utama (key factor) dan sumber leverage penting untuk menuju Negara yang rakyatnya berpendapatan tinggi (high income countries), dan keluar dari middle income trap, terletak pada pembangunan SDM. Karena sumber pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan kedepan akan ditentukan produktivitas, inovasi dan networking dari sebuah bangsa. Inovasi adalah engine of growth, yang akan mengakselerasi proses pembangunan kedepan.

Alokasi pada Fungsi Agama yang mengalami peningkatan sebesar 6,6 persen apabila dibandingkan dari alokasi dalam APBNP tahun 2016 yaitu Rp9,77 triliun menjadi Rp10,42 triliun di RAPBN tahun 2017 harus benar-benar ditujukan untuk peningkatan kualitas kehidupan beragama, terwujudnya harmoni dan kerukunan umat beragama serta kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama.

Alokasi anggaran untuk fungsi perlindungan lingkungan hidup sebesar Rp12,31 triliun yang menunjukkan peningkatan sebesar 11,9 persen jika dibandingkan dengan alokasinya pada APBNP tahun 2016 sebesar Rp11 triliun layak diapresiasi. Pemerintah agar benar-benar mengalokasikan anggaran tersebut untuk mengoptimalkan konservasi sumber daya alam, peningkatan produktivitas dan daya saing hasil produksi pertanian, perikanan dan kehutanan, peningkatan nilai tambah industri mineral dan pertambangan, peningkatan ketahanan terhadap bencana serta konservasi laut, pengendalian dan penyelesaian masalah kebakaran hutan serta pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.

Alokasi anggaran fungsi perumahan dan fasilitas umum sebesar Rp32,77 triliun diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mendukung program prioritas pembangunan nasional di bidang perumahan dan pemukiman yang mengutamakan pada meningkatnya akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak, aman, dan terjangkau. Demikian juga untuk fungsi Pariwisata, di mana alokasi anggaran sebesar Rp5,76 triliun dalam RAPBN tahun 2017 harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mendorong perekonomian rakyat melalui pengembangan pariwisata. Pemerintah diharapkan untuk meningkatkan integrated marketing, perbaikan fasilitas dan akses informasi serta komunikasi pada destinasi-destinasi pariwisata daerah yang potensial sehingga berkembang menjadi pariwisata nasional yang mendunia. Menurut data The Travel and Tourism Competitiveness Report 2015, daya saing pariwisata Indonesia berada pada peringkat 50, lebih rendah dari Singapura (11), Malaysia (25), Korea (29), Thailand (35).

Terkait kenaikan anggaran pada dua kementerian yang sangat berperan di bidang pembangunan infrastruktur. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam RAPBN tahun 2017 dialokasikan dana sebesar Rp105,56 triliun, meningkat sebesar Rp8,49 triliun dibandingkan dengan alokasi dalam APBNP tahun 2016 sebesar Rp97,07 triliun dan Kementerian Perhubungan dalam RAPBN tahun 2017 sebesar Rp48,73 triliun, meningkat sebesar Rp5,82 triliun dibandingkan alokasi dalam APBNP tahun 2016 sebesar Rp42,9 triliun. Lambannya kementerian terkait dalam mengeksekusi belanja infrastruktur di tahun sebelumnya harus dievalusasi dan mendesak pemerintah segera merealisasikan pembangunan berbagai infrastruktur tersebut dengan tidak mengesampingkan program padat karya dan selalu mengutamakan tenaga kerja asli Indonesia.

Komitmen Pemerintah untuk mengatasi backlog 13,5 juta unit rumah masih dipertanyakan (BPS, 2014). Komitmen tersebut belum nampak pada RAPBN 2017 yang justru menurunkan anggaran untuk fungsi perumahan sebesar 4,6 persen dibandingkan APBNP 2016. Problematika backlog ini menjadi isu serius mengingat setiap tahunnya backlog akan bertambah sebesar 800-900 ribu, dan terdapat 3,4 juta rumah yang tidak layak huni. Pada dasarnya Pemerintah punya senjata untuk mengatasi hal tersebut yang bernama UU Tapera. Pemerintah dapat mengoptimalkan UU tersebut dengan mengawasi pelaksanaannya, membantu dalam penyediaan lahan murah, menindak apabila terjadi kerumitan perizinan pembangunan perumahan, dan memberikan penugasan kepada Perumnas untuk membangun perumahan subsidi.

Terkait dengan alokasi anggaran untuk fungsi Pertahanan dalam RAPBN 2017 sebesar Rp104,58 triliun atau mengalami penurunan sebesar 4 persen dibandingkan alokasi anggaran daam APBNP tahun 2016 yang sebesar Rp109 triliun, perlu dikaji lebih mendalam. Hal ini sangat penting mengingat pentingnya kekuatan pertahanan dengan melanjutkan pemenuhan kekuatan dasar yang diperlukan (Minimum Essential Forces/MEF), meningkatkan upaya pemeliharaan dan perawatan melalui peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri, baik produksi alutsista maupun pemeliharaannya. Alokasi ini harus berdampak untuk memperkokoh industri pertahanan dan alutsista dalam negeri. Anggaran pertahanan perlu menjadi prioritas pemerintah dalam mewujudkan aparatur pertahanan yang profesional dan sistem pertahanan yang kuat. Kesejahteraan prajurit, peremajaan dan penambahan alutsista menjadi dua faktor utama penunjang pertahanan. Kesejahteraan prajurit menjadi modal utama terbentuknya profesionalisme prajurit, peremajaan alutsisa dibutuhkan untuk meminimalisir gugurkan prajurit dalam menjalankan tugas dan penambahan alutsista dibutuhkan untuk menutup celah pertahanan sehingga tidak ada lagi sejengkal wilayah tanah air yang tidak terlindungi. Alokasi anggaran pertahanan sesungguhnya dapat memiliki dampak ekonomi yang besar dengan berkembangnya industri pertahanan dan alutsista nasional dan akan mereduksi ketergantungan dari impor.

Anggaran Keamanan di dalam RAPBN 2017 sebesar Rp72,43 triliun, turun dibandingkan anggaran APBNP 2016 sebesar Rp79,3 triliun. Penurunan anggaran keamanan tersebut perlu dicermati lebih mendalam dikarenakan ancaman keamanan khususnya separatisme dan terorisme masih cukup tinggi. Pada tahun 2017 akan dilaksanakan pilkada serentak tahap ke 2, tentunya diperlukan langkah antisipasi dan penanganan potensi konflik yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan pilkada serentak tersebut.

Pada tahun 2017, Indonesia akan kembali menggelar pelaksanaan pilkada serentak tahap ke 2 yang akan digelar di 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota. Walaupun menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota ditegaskan anggaran pilkada menjadi beban APBD, akan tetapi Pemerintah Pusat harus memperhatikan anggaran KPU Pusat dan BAWASLU sebagai supervisi pelaksanaan Pilkada serentak 2017. Anggaran KPU Pusat didalam RAPBN 2017 sebesar Rp1,85 triliun, menurun dibandingkan anggaran APBNP 2016 sebesar Rp1,91 triliun. Sedangkan anggaran BAWASLU didalam RAPBN 2017 sebesar Rp 485 M, naik dibandingkan anggaran APBNP 2016 sebesar Rp463 M. Penurunan anggaran KPU Pusat di dalam RAPBN 2017 perlu dipastikan tidak akan mengganggu persiapan dan pelaksanaan pilkada serentak 2017.

Pemerintah harus melakukan langkah-langkah kongkret dalam rangka perlindungan generasi, terutama terkait dengan maraknya kejahatan terhadap anak, narkoba, minuman beralkohol, kejahatan seksual, serta perdagangan manusia. Dibutuhkan kebijakan signifikan dan dukungan alokasi anggaran yang memadai terkait hal tersebut, yang diharapkan dapat tercermin dalam APBN 2017 nantinya. Khusus terkiat permasalah narkoba yang meluas, alokasi anggaran BNN didalam RAPBN 2017 sebesar Rp1,39 triliun, yang turun dibandingkan anggaran APBNP 2016 sebesar Rp2,53 triliun, perlu dicermati lebih mendalam dalam kaitan dengan kinerja pemberantasan peredaran narkoba ataupun menekan angka penggunaan narkoba.

Alokasi belanja subsidi dalam RAPBN 2017 yang sebesar Rp174,91 triliun harus dibahas lebih mendalam. Terutama untuk kebijakan subsidi energi yang mencapai Rp92,17 triliun yang terdiri dari subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg sebesar Rp42,31 triliun, subsidi listrik sebesar Rp48,55 triliun, dan subsidi energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp1,3 triliu. Pemerintah perlu memastikan agar subsidi energi didukung kebijakan pengaturan dan diversifikasi energi yang kuat, serta sistem distribusi yang lebih baik dan tepat sasaran. Pemerintah juga harus lebih serius mengalokasikan pasokan gas untuk PLN, meningkatkan efisiensi pembangkit listrik, serta menurunkan lossess jaringan transmisi dan distribusi listrik nasional. Kebijakan subsidi energi juga harus didukung kebijakan harga yang tepat sehingga tidak memukul daya beli rakyat akibat kenaikan tarif sebagaimana terjadi selama ini.

Alokasi belanja subsidi non energi yang mencapai Rp82,74 triliun dalam RAPBN tahun 2017 yang terdiri dari subsidi pangan sebesar Rp19,78 triliun, subsidi pupuk sebesar Rp31,15 triliun, subsidi benih sebesar Rp1,29 triliun, subsidi PSO sebesar Rp4,3 triliun, subsidi bunga kredit program sebesar Rp15,84 triliun, serta subsidi pajak ditanggung pemerintah (DTP) sebesar Rp10,34 triliun harus benar-benar didukung dengan basis data yang valid dan sistem yang akuntabel, sehingga kebijakan subsidi semakin adil dan tepat sasaran.

Alokasi anggaran untuk fungsi perlindungan sosial sebesar Rp158,47 triliun dalam RAPBN tahun 2017 atau meningkat sebesar 5,1 persen jika dibandingkan dengan alokasi anggaran dalam APBNP tahun 2016 sebesar Rp150,84 triliun harus diarahkan pada peningkatan kualitas dan efektivitas program-program perlindungan sosial dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan, menjaga kualitas hidup masyarakat, serta mendukung penyempurnaan pengembangan sistem perlindungan sosial yang komprehensif dan tepat sasaran.

C. Transfer Daerah dan Dana Desa

Berkurangnya dana transfer hingga sebesar Rp 29,4 triliun menjadi Rp700 triliun dibandingkan APBNP 2016 perlu menjadi perhatian serius. Terutama, penyebab terbesar berkurangnya dana transfer berasal dari berkurangnya Dana Transfer Khusus (berkurang Rp 34 triliun), khususnya Dana Alokasi Khusus Fisik yang berkurang hingga Rp 29 triliun.

Pemerintah perlu pro-aktif mendorong daerah untuk menggunakan dana APBD agar tidak hanya mengendap di bank. Hingga Juni 2016, diperkirakan terdapat Rp 220 Triliun dana APBD yang mengendap di perbankan nasional maupun daerah. Hal ini sangat disayangkan karena pada dasarnya dana tersebut dibutuhkan untuk menggerakan perekonomian Indonesia dan memiliki potensi untuk menciptakan multiplier effect yang besar. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan reward and punishment yang dikaitkan dengan realisasi belanja daerah. Selain itu pemerintah harus benar-benar mampu melakukan koordinasi kebijakan antara pusat dan daerah secara efektif.

Anggaran transfer ke daerah perlu dipastikan agar benar-benar berdampak pada kesejahteraan dan perbaikan kualitas hidup rakyat di daerah. Anggaran dana transfer ke daerah secara umum semakin tinggi, tetapi ternyata masih didominasi untuk pengeluaran belanja pegawai dan barang. Harus ada upaya-upaya sistematis agar peningkatan transfer daerah ini tidak hanya habis untuk belanja pegawai dan belanja untuk birokrasi lainnya.

Kebijakan Pemerintah untuk meningkat jumlah anggaran dana desa hingga sebesar 27,7 persen menjadi Rp60 triliun pada RAPBN 2017 perlu diapresiasi. Meski demikian, alokasi tersebut masih perlu ditingkatkan secara lebih signifikan agar berdampak pada pembangunan desa, kesejahteraan rakyat serta penciptaan lapangan kerja dipelosok-pelosok desa. Dana Desa seharunya lebih besar dan mampu memenuhi mandat UU Desa. Dana desa dibutuhkan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk desa. Alokasi Dana Desa juga diprioritaskan untuk fungsi ekonomi produktif lebih besar dibanding dengan infrastruktur fisik.

Alokasi transfer daerah dan dana desa yang semakin besar diharapkan juga didukung oleh kebijakan untuk mendorong penumbuhan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru didaerah-daerah unggulan dan potensial. Baik berbasis pariwisata, maritim, pertanian, maupun dengan produk unggulan yang lain.

D. Keseimbangan Primer, Defisit dan Pembiayaan

Keseimbangan Primer yang defisit semakin tinggi, mencapai Rp111,43 triliun, meningkat Rp5,9 triliun dari APBNP 2017, mencerminkan APBN yang tidak sehat kekurang mandirian fiskal. Pemerintah telah memahami bahwa jika keseimbangan primer telah defisit, itu berarti pemerintah menarik utang untuk membayar bunga utang. Keseimbangan primer yang negatif merupakan indikator bahwa pemerintah meminjam bukan untuk investasi, tapi meminjam untuk keperluan men-service utang masa lalu.

Terkait dengan defisit dalam RAPBN tahun 2017 yang diajukan sebesar Rp332,83 triliun atau 2,41 persen dari PDB, defisit APBN selama ini masih bersifat tidak produktif. Hal ini karena masih tingginya alokasi anggaran birokasi yang tidak efisen, perencanaan anggaran yang tidak tepat sasaran, serta potensi kebocoran berbagai belanja lainnya yang masih tinggi.

Terkait peningkatan jumlah utang yang signifikan, terutama rencana penerbitan Surat Berharga Negara (netto) sebesar Rp404,31 triliun atau meningkat sekitar Rp40 triliun dibanding APBNP 2016, perlu dikaji lebih mendalam. Pemerintah perlu lebih memprioritaskan penerbitan project-based sukuk (sukuk negara dengan underlying proyek) agar dapat mendorong disiplin fiskal lebih baik dan berdampak langsung pada dinamika sektor riil.

Pemerintah diharapkan untuk menjaga kesinambungan pembiayaan dan mengoptimalkan hasil pengelolaan aset dan investasi serta piutang-piutang Negara yang bermasalah agar dapat menjadi penerimaan Negara.

Manajemen utang yang ketat dan efektif belum didesain secara lebih baik ditengah beban hutang yang semakin tinggi. Beban bunga utang dalam RAPBN 2017 sebesar Rp221,40 triliun meningkat Rp30 triliun dari APBNP 2016, lebih 10 persen dari total pendapatan negara. Terkait penarikan utang, harus dikaji lebih mendalam, mengingat realisasi serapan anggaran yang juga tidak optimal dan defisit APBN yang masih bersifat tidak produktif.

Ketua Departemen Keuangan dan Perbankan DPP PKS 

Ecky Awal Mucharom & Tim