Memaknai Hari Ibu

Telah dimuat di Harian Republika

Edisi Selasa, 22 Desember 2015, Hal. 6

Tepat 78 tahun lalu, di pendopo Dalem Jayadipuran milik bangsawan RT Joyodipoero, berlangsung kongres yang dihadiri perempuan dari berbagai penjuru nusantara. Dimulai pada 22 Desember dan berakhir 25 Desember 1928, para perempuan itu berbincang dan tak jarang bersilang pendapat akan nasib mereka dalam hal pendidikan hingga perkawinan.

Susan Blackburn dalam bukunya Kongres Perempuan Indonesia Tinjauan Ulang mencatat, dari sekitar 600 peserta kongres, lebih setengahnya adalah kalangan Aisyiyah. Selain dari anak organisasi Muhammadiyah ini, kongres juga dihadiri perempuan dari Jong Islameten Bond, Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo.

Kongres menelurkan rekomendasi di bidang pendidikan kepada pemerintah kolonial. Terdapat tuntutan untuk menambah sekolah dan menyediakan beasiswa bagi anak perempuan, memberantas buta huruf di kalangan wanita, dan mendesak pemerintah agar menghambat pernikahan di usia belia.

Tuntutan yang mereka rumuskan mencerminkan tiga keinginan: hasrat untuk bangkit dari ketertindasan dominasi kaum pria, keinginan untuk cerdas dan terpenuhi kebutuhan kognisinya, serta tetap bermartabat dengan terjaga jati diri sesuai fitrahnya.

Kegigihan perempuan yang sebagiannya juga menjadi ibu di kongres itu menunjukkan wanita Indonesia sudah berdaya sejak prakemerdekaan. Mereka memiliki kemajuan berpikir serta semangat berkon tribusi untuk kehidupan berbangsa dan me majukan kaumnya agar lebih cerdas, berani, bermartabat.

Mereka yakin jika kaum wanitanya maju, maju pulalah Indonesia. Hingga bangsa ini akan terbebas dari segala bentuk penjajahan. Lalu, dari rahim mereka terlahir generasi merdeka yang akan memimpin.

Memperhatikan proporsi peserta yang sebagian besar dari organisasi Islam, bisa dikatakan agama turut memengaruhi pergolakan kaum perempuan. Tak heran, karena ada kisah Muslimah menghadap Rasulullah SAW menyampaikan as pirasinya langsung. Islam tak mengekang Muslimah mengutarakan gagasan di hadapan khalayak.

Setelah perhelatan itu berakhir, kelak 25 tahun kemudian, Presiden Sukarno menerbitkan Dekrit Presiden No 316 Tahun 1953 yang menetapkan Hari Ibu Nasional jatuh pada 22 Desember. Artinya, perjuangan meng angkat harkat wanita dipan dang mere - presentasikan gejolak hati para ibu di nusantara yang ingin melihat anaknya tak peduli jenis kelamin apa punya kesempatan sama meraih pendidikan dan kehidupan layak.

Kendati sudah lama kongres itu diperingati sebagai Hari Ibu, tetapi mungkin sejarah dan semangatnya larut oleh zaman. Masyarakat saat ini memahami Hari Ibu sebatas hari untuk berbakti dengan cara spesial kepada ibu, hari merasakan pekerjaan ibu di rumah, tapi luput menyadari kenangan kegigihan perempuan prakemerdekaan memperbaiki kualitas kaum nya juga generasi bangsa.

Tujuh puluh tahun setelah Indonesia merdeka, akses pendidikan telah merata dan perlakuan pada wanita pun mem baik. Apa yang diperjuangkan di pendopo Dalem Jayadipuran itu telah terwu jud. Tetapi, bukannya tak ada lagi problem. Human trafficking, kekerasan dalam rumah tangga, hingga pelecehan seksual tak hilang sama sekali.
Juga kualitas generasi bukan berarti tak perlu lagi diperhatikan. Dalam rekomendasi Kongres Perempuan pertama terlihat adanya perhatian kualitas generasi. Perempuan zaman ini pun harus menyambung itu.

Peringatan Hari Ibu idealnya mengembalikan semangat perempuan tahun 1928. Sebagaimana Ny Siti Moendjijah, Sitti Soendari, atau Nyi Hajar Dewantoro berpidato di Kongres Perempuan pertama, para ibu zaman sekarang pun harus lantang bicara solusi masalah kekinian. Para ibu harus memandang dirinya, baik sebagai subjek maupun objek, merumuskan gerakan konkret yang membenahi persoalan yang menyelubungi mereka pada zaman ini.

Ibu merupakan makhluk mulia yang berdaya dan mampu berbuat banyak hal. Namun, ia tak boleh melupakan tugas utamanya sebagai pendidik. Disematkan gelar ibu karena ada generasi yang harus ia besarkan.

Ibu, yang dalam bahasa Arab disebut al-ummatau ummun, memiliki arti induk. Ibu adalah induk, sumber tempat sesuatu berasal dan kembali. Ungkapan Arab berbu nyi, "al- ummu madrasatul ula. Idza a'dadtaha a'dadta sya'ban thoyyibal a'raq". Ibu adalah sekolah utama. Bila engkau mempersiapkan nya, engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.

Para ibu di zaman sekarang mesti paham tugas besar ini. Sebagai subjek, ibu berhadapan dengan anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya. Ia wajib mendidik anak-anak itu hingga menjadi manusia berkualitas. Di atas segala aktivitasnya, peran di rumah untuk mendidik anak tak boleh terabaikan.

Ibu harus punya keteladanan dalam berbagai hal. Di rumah, sebagai ibu rumah tangga hingga di gedung parlemen sebagai politikus, ia harus menunjukkan teladan yang baik.

Karena itu, perempuan masa kini harus mengembangkan diskursus introspektif akan perannya sebagai pusat pendidikan generasi.

Di peringatan Hari Ibu, para ibu patut mempertanyakan dirinya sejauh mana peran sebagai pendidik dituntaskan. Sebagaimana yang dilakukan peserta Kongres Perempuan pertama, para ibu juga harus melakukan penyadaran kepada kaumnya untuk tugas utama ini.

Ibu merupakan makhluk yang harus dimuliakan. Rasulullah SAW memerintahkan agar ibu diberi penghormatan lebih banyak tiga kali dibandingkan ayah. (HR Bukhari no 5971 dan Muslim no 2548). Perlakuan spesial untuk ibu karena perannya yang sangat besar untuk generasi umat manusia. Ada yang mengibaratkan menjaga seorang wanita berarti menjaga tujuh generasi.

Islam pun memberi perhatian kepada pembinaan wanita. "Barang siapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku." (Anas bin Malik berkata, Nabi menggabungkan jari jemari beliau). (HR Muslim 2631)

Kepentingan akan kualitas seorang ibu sangat besar dan harus menjadi perhatian pemerintah. Karena dari ibu berkualitas, akan hadir generasi yang juga berkualitas untuk bangsa ini. Pendidikan dan kesehatan ibu menjadi isu penting yang harus disuarakan wanita zaman sekarang.

Ibu yang terdidik, cerdas, serta kokoh jiwanya akan menjadi benteng kuat di rumah.

Ia akan menjaga suaminya dari perilaku koruptif, bahkan menjadi penopang perjuangan lelaki. Maka itu, pemerintah harus menjamin pendidikan akal dan mentalnya.
Dan ibu yang sehat akan punya kekuatan dalam mengawal pertumbuhan anaknya. Ibu yang sehat akan melahirkan generasi kuat.

Salah satu parameter perhatian pemerintah terhadap kesehatan para ibu bisa didapat dari angka kematian ibu saat melahirkan. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan, angka kematian ibu (AKI) melahirkan di Indonesia adalah 359 per 100 ribu kelahiran hidup (Republika, 16 Desember 2015). Angka ini harusnya bisa ditekan jauh lebih rendah lagi.

Dilihat dari perspektif ibu sebagai subjek ataupun objek, peran serta kepentingan masyarakat terhadap ibu tak bisa jauh dari sebagai pusat pendidikan. Ini harus diikutkan dalam tema peringatan Hari Ibu setiap tahunnya. Selamat Hari Ibu.

Wirianingsih (Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga DPP PKS)

Sumber: Koran Republika