Mayoritas Statistik, Minoritas Politik

Kelima adalah Perspektif Politis, terakhir dari lima perspektif, untuk menelisik mengapa “Politik” itu perlu  diketahui, penting difahami, mutlak dikuasai, dan wajib diimplementasikan.

 Ada paradoks dalam realitas sosial politik umat Islam Indonesia, yaitu mayoritas statistik tetapi minoritas politik. Mayoritas statistik, terkonfirmasi dari data prosentase hasil Sensus Penduduk Indonesia (SPI) berikut ini: 1971 (85.7%), 1980 (88.2%), 1990 (87.21%), dan 2010 (87.18%). Data SPI 2000 dan SPI 2020 tidak tersedia di website Biro Pusat Statistik, tetapi sekira masih di sekitar 80-an persen itu.

Tetapi minoritas politik. Apa ukurannya? Ini terkonfirmasi dari data perolehan suara partai-partai Islam dalam sejarah pemilu negeri ini. Definisi partai Islam ini adalah dengan kriteria Nama, Asas, Tanda gambar, Tujuan atau program, dan Konstituen. Pemilu 1955, gabungan partai Islam meraih 16.518.332 atau 43.72% suara.

Pemilu-pemilu Orde Baru, sejak 1971 sampai 1997, gabungan partai Islam dibawah bendera PPP paling top beroleh 20-an persen suara. Pemilu di era reformasi, berikut perolehan suara gabungan partai Islam: Pemilu 1999 (39.758.725 atau 37.56%), Pemilu 2004 (43.497.767 atau 38.35%), Pemilu 2009 (29.944.328 suara atau 28.77 %), Pemilu 2014 (39.244.020 suara atau 31.40 %), dan Pemilu 2019 (42.059.378 suara atau 30.05 %).

Implikasi dari kondisi paradoks itu adalah kekuatan politik umat relatif terpinggirkan, antara lain terlihat dengan sederetan fakta berikut ini. Diawali dengan pembubaran Partai Masyumi di era Soekarno, berlanjut di era Orde Baru dengan kebijakan fusi partai politik, pemaksaan asas tunggal Pancasila, dan pemberlakuan kebijakan massa mengambang (floating mass).

Dewasa ini umat acapkali dipojokkan melalui narasi intoleransi dan radikalisme. Praktis, umat belum beringsut sepenuhya dari ungkapan klasik, “bagai pendorong mobil mogok yang lantas ditinggalkan saat mobilnya kembali normal.” Umat dibutuhkan suaranya saat pemilu, ditinggalkan selepas pemilu.

Pertanyaan elementernya adalah mengapa umat menyandang status mayoritas statistik namun minoritas politik? Setidaknya ada lima penjelasan berikut ini.

Pertama, kategorisasi tradisionalisme (Islam tradisional) dan modernisme (Islam modern) mampu “membelah” alam bawah sadar umat untuk sulit bersatu. Suara terserak sebagai akibat banyaknya partai Islam adalah bukti nyata akan dampak keterbelahan itu. Hasil-hasil pemilu di atas telah mengkonfirmasikannya. Padahal potensi untuk tampil sebagai pemenang dalam kontestasi politik itu ada, riil alias bukan a-historis.

Contoh fenomena Poros Tengah dalam Sidang Umum MPR 1999. Kala itu kekuatan politik umat amat solid. Walau dalam Pemilu 1999 gabungan partai Islam hanya meraup 37.56% suara, namun posisi Presiden, Ketua MPR, dan Ketua DPR sukses direbut.

Kedua, depolitisasi Islam sejak zaman kolonial hingga Orde Baru, dan berlanjut ke era reformasi dalam tingkat tertentu, berdampak pada sikap apriori sebagian umat terhadap politik. Dalam benak mereka, politik itu busuk, penuh trik, intrik, dan konflik. Residu ini dipupuk dan dipersubur semenjak zaman kolonial Belanda, misalkan, dengan labelling Haji terhadap mereka yang kembali dari berhaji dan penyebutan Langgar untuk musholla.

Pelabelan itu dirancang untuk memilah-milah mana ekstrimis dan mana pula loyalis kolonialis. Di Zaman Orde Baru berlanjut, misalkan, dengan kampanye ”Islam Yes, Partai Islam No” dan kebijakan massa mengambang. Lalu dewasa ini menguat  narasi intoleran dan radikalisme  yang tertuju ke umat yang kritis terhadap rezim. Dampaknya, apriori terhadap politik itu kian mengental.

Ketiga, pendidikan politik terhadap umat lemah, yang menghasilkan persepsi negatif serta sikap alergi terhadap politik. Pada gilirannya umat menjadi buih di lautan politik Indonesia. Keberadaannya antara ada dan tiada.

“Ada” pada saat menjelang  pemilu, dan “Tiada” setelah gelaran pemilu berakhir. Padahal mengutip Mohammad Hatta dalam buku Demokrasi Kita, keinsyafan politik harus diwujudkan melalui pendidikan politik, karena keinsyafan politik itu adalah prasyarat bagi kecerdasan politik.

Keempat, pragamatisme menguat di kalangan umat, karena lilitan kemiskinan dan status pendidikan yang umumnya menengah ke bawah. Mereka permisif terhadap money politic. Dalam pelbagai survei yang dilaksanakan AKSES School of Research sepanjang 2021 ini, masih diketemukan pola umum pragmatisme itu.

Bahkan di level elite umat juga ada yang terjebak pada sikap pragmatisme itu. Ketua umum sebuah ormas Islam di depan publik  pernah secara terbuka menagih komitmen salah satu kontestan Pilpres 2019 karena dukungan yang diberikan.

Kelima, sistem politik Indonesia yang terjerumus ke dalam demokrasi yang terlampau liberal, bersendikan pada tiga pilar: uang, money, dan fulus. Maka hasilnya adalah oligharki politik dan ekonomi, klientilisme, money politic, dan fenomena shadow government, yang semua itu kian subur belakangan ini.

Setidaknya dua studi berikut ini secara gamblang memotret fenomena suram tersebut, yakni Electoral Dynamics in Indonesia: Money Politics, Patronage, and Clientelism at the Grassroots (Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (eds),  2016). Dan, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Edward Aspinall and Ward Berenschot, 2019).

Kelima penjelasan di atas mempertebal keyakinan kita bahwa pendidikan politik itu mutlak diintensifkan dan dimassifkan. Mengapa? Mengutip Mohammad Hatta, sekali lagi, pendidikan politik melahirkan keinsyafan politik dan kecerdasan politik. Plus, tentu tak pula abai dalam agenda pemberdayaan ekonomi umat.

Tanpa kekuasaan politik, status mayoritas statistik bisa meredup bersalin rupa menjadi minoritas statistik. Tanpa kekuasaan politik, peran historis umat bisa didistorsikan dan bahkan dinihilkan. Tanpa kekuasaan politik, hasrat umat untuk berpartisipasi bisa dibekap dengan cara-cara otoritarianistik. Tanpa kekuasaan politik, umat menjadi pelakon utama dalam serial Kisah Sedih di Hari Minggu, dengan tambahan Senin, Selasa, dan seterusnya.

Kamarudin, founder AKSES School of Research