Kolaborasi Melayani Indonesia
PIDATO KEBANGSAAN
KETUA MAJELIS SYURA PKS
“KOLABORASI MELAYANI INDONESIA”
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Para Ketua Umum Partai Politik yang berkenan hadir dan menyampaikan gagasan tentang Indonesia yang kita cita-citakan bersama. Terima kasih atas paparan yang meyakinkan kita semua untuk memperkuat kolaborasi antar elemen bangsa.
Para Tokoh Nasional yang hadir secara fisik maupun virtual untuk menguraikan permasalahan bangsa dari beragam sudut pandang, lalu menawarkan solusi yang cerdas dan mencerahkan. Rekam jejak sebagai pejabat eksekutif dan politik merupakan modal penting untuk mendapat kepercayaan publik yang lebih luas di pentas nasional.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah-air.
Para hadirin, tamu undangan, dan keluarga besar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari segala penjuru di sekitar Jabodetabek. Dalam kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan Selamat Idul Fitri 1443 Hijriyah, semoga Allah Ta’ala menerima segala amal ibadah yang telah kita lakukan. Dan meningkatkan solidaritas sosial di antara kita.
Pertemuan hari ini seperti mengingatkan pada momen penting dalam sejarah kebangsaan, ketika anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) bersidang untuk membahas Dasar Negara yang perlu disepakati bila Republik Indonesia merdeka. Saat itu tampil tokoh seperti Mr. Mohammad Yamin, Prof. Dr. Soepomo dan Ir. Soekarno menyampaikan pandangan brilian tentang fondasi kebangsaan. Puncak pemikiran pada tanggal 1 Juni 1945 yang menandai lahirnya istilah Pancasila, meskipun rumusan resmi Pancasila ditetapkan pada 18 Agustus 1945.
Para Pendiri Bangsa Indonesia menjadi teladan terbaik dalam kolaborasi gagasan dan tindakan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan dari segala ancaman yang muncul. Walaupun latar belakang dan sikap politik mereka mungkin tak selalu sama: ada yang menempuh cara kooperatif atau non-kooperatif, ada yang memilih perlawanan bersenjata dan bergerilya atau berdiplomasi, ada yang berideologi kebangsaan, kedaerahan atau keagamaan. Mereka bersatu untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Dari catatan sejarah, kita membaca perbedaan karakter dan pandangan antara Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Namun, ketiga tokoh ini merupakan peletak dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia yang saling melengkapi.
Kita juga memahami perbedaan sikap dan kebijakan antara Soekarno dan Sjahrir yang menempun jalan negosiasi dan diplomasi dibandingkan dengan Jenderal Soedirman dan Tan Malaka yang memimpin pasukan gerilya. Semua jalan untuk mengawal kemerdekaan Indonesia telah dijalani dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan.
Persahabatan antara Mohammad Natsir (Tokoh Masyumi), Ignatius Joseph Kasimo (Partai Katolik) dan Johannes Leimena (Partai Kristen/Protestan Indonesia) sudah sangat terkenal, walaupun berbeda aliran politik. Kita bisa saksikan, politik identitas di masa kemerdekaan justru menjadi energi pemersatu bangsa, bukan pemecah belah. Bhinneka Tunggal Ika, meski berbeda-beda (aliran) tetap satu (tujuan).
Tidak aneh, apabila M. Natsir selaku Ketua Fraksi Masyumi di Konstituante mengusulkan Mosi Integral untuk mengakhiri status Republik Indonesia Serikat (RIS) disambut dengan antusias oleh politisi lintas kelompok dan aliran, termasuk para Sultan dan Raja yang memimpin beberapa negara bagian RIS. Pada tanggal 3 April 1950, Mosi Integral Natsir disepakati dan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tokoh-tokoh nasional yang hadir hari ini bukan hanya menyambut Milad PKS, namun juga menyongsong Indonesia Masa Depan yang lebih, berdaulat, adil dan sejahtera. PKS bersyukur bisa menjadi tuan rumah bagi Silaturahim Kebangsaan yang dibutuhkan menjelang pergantian kepemimpinan nasional pada tahun 2024 nanti. Demokrasi Indonesia semakin matang.
Kemantapan sistem demokrasi di Indonesia sedang diuji, sekali lagi, melalui pergiliran kekuasaan secara damai. Kita mengenal prinsip Perubahan dan Kesinambungan (Change and Continuity). Perubahan diperlukan untuk memberi peluang bagi kemajuan, sebagaimana perubahan merupakan sunnatullah (hukum alam) yang berlaku dalam berbagai lapangan kehidupan. Sementara itu, kesinambungan juga diperlukan agar upaya mewujudkan cita-cita Proklamasi Indonesia (1945) tidak terputus di tengah jalan. Harus ada estafeta perjuangan bangsa dari generasi ke generasi, jangan sampai diinterupsi atau terdisrupsi hanya karena pergantian pemerintahan.
Rakyat Indonesia sesungguhnya sangat menghormati jasa para Pemimpinnya, disamping bersikap tetap kritis. Setiap Pemimpin tampil pada zamannya, memiliki kelebihan dan kekurangan, karena itu ukuran keberhasilan harus dilihat dari kedekatannya dengan tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Parameter yang bersifat obyektif, selain janji-janji kampanye yang pernah dilontarkan secara subyektif.
Bila kita mencatat secara ringkas, warisan (legacy) para Pemimpin Indonesia sejak kemerdekaan RI, maka terlihat:
- Presiden Soekarno: membangun solidaritas nasional dan karakter masyarakat berdikari (nation and character building);
- Ketua PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia), Mr. Sjafruddin Prawiranegara: menjaga kedaulatan bangsa merdeka dan memompa kesadaran bela negara;
- Presiden Soeharto: mewujudkan stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi dan upaya pemerataan;
- Presiden B.J. Habibie: memanfaatkan teknologi tinggi untuk memperkuat daya saing bangsa dan pengembangan demokratisasi;
- Presiden Abdurrahman Wahid: merawat kemajemukan bangsa dan perlindungan terhadap semua anak bangsa (kaum minoritas atau mayoritas);
- Presiden Megawati: menetapkan fondasi pemberantasan korupsi secara terintegrasi dengan berdirinya KPK RI;
- Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono: memantapkan pembangunan nasional yang lebih inklusif dan memberi jaminan hak dasar rakyat;
- Presiden Joko Widodo: terkenal dengan program Nawa Cita, yang dalam praktek memprioritaskan pembangunan infrastruktur.
Kinerja pemerintahan, termasuk rekam jejak para Pemimpin, terbuka dalam buku sejarah. Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk memberi catatan; plus atau minus. Apapun hasil akhir rapor pemerintah/pemimpin, Rakyat Indonesia bersikap: mikul dhuwur mendem jero (menghormati dan menjaga kehormatan pemimpin). Itu bukan berarti kita meneggelamkan sikap kritis dan urgensi kontrol sosial dalam ranah publik. Terutama generasi muda/millennial dan kalangan mahasiswa/akademisi/professional: mereka adalah kelas menengah yang mengawal nilai demokrasi dan negara kesejahteraan.
Jangan sampai energi kita habis hanya untuk memperdebatkan perkara masa lalu yang belum tuntas, sedangkan pekerjaan rumah hari ini terabaikan, dan peluang perbaikan di masa depan menjadi tertutup. Mari kita bersama menyadari ketertinggalam kita sebagai bangsa dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, seperti Korea Selatan yang hari kemerdekaannya (15 Agustus 1945) hanya terpaut 2 hari dengan kita, tapi kemajuan ekonomi dan teknologinya telah menyamai negara-negara besar. Kita harus berjuang sekuat tenaga dan mencegah agar Indonesia tidak bernasib seperti Sri Langka atau negara-negara di Kawasan Afrika yang terlibat konflik tak berkesudahan.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat. Saya sudah berkunjung ke seluruh daerah/provinsi di Indonesia untuk berdialog dengan beragam kelompok, termasuk tokoh-tokoh masyarakat. Pekan lalu, saya baru berkunjung ke Palu, Sulaewsi Tengah. Masyarakat suku Kaili punya prinsip hidup yang luhur:
“Belo Rapovia, Belo Rakava” (Kebaikan yang dibuat, kebaikan yang akan didapat). Pepatah ini mengajarkan agar kita senantiasa berbuat kebajikan dimana saja, kapan saja, dan dalam posisi apa saja. Sebab, kebaikan yang ditanam akan berbuah kebaikan pula. Demikian sebaliknya, kejahatan/keburukan yang ditanam akan berbuah kejahatan/keburukan pula.
Dua hari lalu, saya baru berziarah ke Aceh bertemu dengan Wali Nanggroe, Gubernur, Ketua Partai Aceh dan berdialog dengan para Ulama, Pengusaha UMKM dan Warga setempat. Masyarakat Aceh mengenal pepatah:
“Pakiban u meunan minyeuk, pakiban abu meunan aneuk” (Sebagaimana kelapa begitulah minyaknya, sebagaimana orangtua begitulah anaknya). Jika pemimpin berbuat baik, maka para pengikutnya akan berbuat kebaikan pula. Bila pemimpin berbuat buruk, maka pengikutnya akan melakukan keburukan serupa. Pemimpin adalah cermin dari masyarakatnya.
Semoga bangsa Indonesia akan mendapat anugerah sosok pemimpin yang mencintai rakyatnya, tanpa diskriminasi dan bebas dari persekusi. Semoga bangsa Indonesia dilindungi dari provokasi para buzzer yang ingin memecah-belah bangsa, dengan mengatasnamakan rakyat.
“Allahummaj’al hadza Biladina Indonesia baladan aminan warzuq ahlahu minats tsamarati man amana minhum billahi waly aumil akhir. Walhamdu lillahi rabbil alamin.”
Allahu akbar, merdeka, merdeka!
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.