Janggalnya Pengungkapan Kasus Novel, Gak Sengaja?

11 April 2017 menjadi salah satu hari yang kelam bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan saat itu sangat sulit untuk tidak diduga oleh publik sebagai upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Desakan publik terhadap penuntasan kasus itu terus disuarakan. Harapan demi harapan terus disampaikan. Bahkan kasus Novel seolah dianggap sebagai simbol upaya pemberantasan korupsi serta simbol keadilan hukum dan HAM di republik ini.

Komitmen demi komitmen juga disampaikan dalam berbagai kesempatan, bukan hanya oleh para penegak hukum terkait, bahkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara. Namun, berbagai komitmen yang ada seringkali tidak ditunjukkan dengan capaian kejelasan dalam mengungkap kasus tersebut. Melalui berbagai rangkaian proses advokasi dan desakan publik, buron pelaku kekerasan pun baru bisa ditangkap di tanggal 26 Desember 2019 atau sekitar 2,5 tahun setelah penyiraman air keras itu membuat buta mata seorang Novel Baswedan.

Kasus Novel memang mendapat sorotan tajam oleh berbagai pihak, terutama dengan posisinya sebagai penyidik KPK. Pada tanggal 21 Desember 2019, dalam laporan dan rekomendasi yang dihasilkan oleh Tim Pemantauan Proses Hukum Kasus Novel Baswedan, Komnas HAM berpandangan bahwa Novel Baswedan sebagai penyidik KPK adalah juga pembela hak asasi manusia (human rights defender) yang telah bekerja untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai pembela HAM, Negara berkewajiban memberikan perlindungan efektif terhadap dirinya dan kerja-kerja yang dilakukan.

Tindakan yang dialami Novel Baswedan, menurut Komnas HAM, diduga direncanakan dan sistematis yang melibatkan beberapa pihak yang masih belum terungkap. Tindakan tersebut diduga melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai: (1) perencana, (2) pengintai, dan (3) pelaku kekerasan.

Dalam peristiwa kekerasan yang dialami Novel Baswedan terdapat bukti permulaan cukup, berdasarkan hasil pemantauan Komnas HAM, diduga terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum dan hak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar tanpa diskriminasi sebagaimana dijamin di dalam Konstitusi dan undang-undang.

Kini, nalar dan harapan publik kembali diusik, dengan perkembangan terbaru kasus Novel. Tuntutan ringan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum dianggap mencederai rasa keadilan di masyarakat. Bahkan jagat dunia maya diramaikan dengan perbincangan mengenai alasan ketidaksengajaan penyiraman air keras ke mata Novel Baswedan.

Berbagai kejanggalan dalam proses panjang pengungkapan kasus Novel ini menjadi pertanyaan besar publik mengenai keseriusan negara melalui perangkatnya. Jangan-jangan satir publik mengenai unsur "ketidaksengajaan" bukan sekadar alasan dari tuntutan ringan saja, tetapi bisa menjadi satir secara keseluruhan dalam pengungkapan kasus Novel Baswedan.