Indonesia Maju dalam Tanda Tanya  

Tuntas sudah lima perspektif untuk menguak mengapa “Politik” itu perlu  diketahui, penting difahami, mutlak dikuasai, dan wajib diimplementasikan, dalam kerangka tema besar “Islam, Politik, dan Umat Islam Indonesia.” Lima paparan padat itu adalah Perspektif Ideologis (Politik itu Mulia), Perspektif Sosiologis (Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa), Perspektif Historis (Jas Hijau), Perspektif Psikologis (Garam dan Gincu), dan Perspektif Politis (Mayoritas Statistik, Minoritas Politik).

Kita berlanjut ke persoalan Indonesia kontemporer untuk beberapa edisi kedepan, diantaranya  Indonesia Maju dalam Tanda Tanya, Anomali Politik Indonesia, Dilema Demokrasi, partai Islam di pentas nasional, lalu berselancar di atas arus persiapan dan kesiapan menuju Pemilu 2024.

Indonesia berpotensi besar menjadi negara besar, negara maju. Sejatinya, Indonesia Maju bukanlah ilusi. Kita setidaknya punya empat modal dasar untuk menopang status paripurna itu: Pertama, Indonesia adalah sekeping surga. Garis khatulistiwa yang melewati Indonesia menjadikannya sebagai negara tropis, punya dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Banyak gunung berapi aktif yang tersebar menjadikan tanah negeri ini amatlah subur. Keanekaragaman flora, fauna, dan hasil tambang adalah berkah yang tersembul dari iklim tropis yang menaunginya.

Kedua, letaknya yang strategis. Daratan Indonesia, yang lebih luas dari gabungan sejumlah negara di Eropa Barat, berada diantara dua benua (Australia dan Asia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Wilayah negara Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil dari Sabang hingga Merauke, terdiri dari 17.508 pulau kecil dan besar, dengan luas perairan 3.257.483 km². Letak strategis ini menjadikannya sebagai pelintasan jalur perdagangan internasional. Bayangkan, berapa besar kutipan tarif pelintasan kapal internasional yang diperoleh negeri ini. Itu baru dari tarif pelintasan kapal saja, belum pula komoditas perdagangan negara tropis ini.

Ketiga, bonus demografis, yaitu keadaan di mana penduduk yang masuk ke dalam usia produktif (15 hingga 64 tahun) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatakan masa bonus demografi akan dialami pada periode 2030-2040, dimana penduduk usia produktif diprediksi akan mencapai 205 juta (www.bisnis.tempo.co, 28 September 2021). Jika tepat dan cerdas mengelolanya, berkah diperoleh. Jika sebaliknya, musibah.

Keempat, negara demokratis ketiga di dunia. Jumlah penduduk Indonesia menurut data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2020 adalah 270.203.917 jiwa. Dengan jumlah sebesar itu menempatkan Indonesia sebagai negara demokratis ketiga setelah India dan AS sejak 1999. Gelar ini jika dikelola dengan baik menjadi salah satu modal berharga untuk berperan signifikan dalam forum internasional dan juga untuk menggaet investor asing.

Tetapi Indonesia dengan empat modal dasar di atas, dewasa ini tidak sedang baik-baik saja. Fakta tak sedap berikut ini sudah cukup menunjukkan tentang paradoks Indonesia, sejatinya berpotensi maju tetapi realitasnya ringkih.

Pertama, kemiskinan massif di tengah kegelimangan harta segelintir orang super kaya. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pada Maret 2021 lalu bahwa sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Garis kemiskinan yang dipatok pemerintah adalah Rp 472.525,00/kapita/bulan. Namun ironis, laporan lembaga keuangan global Credit Suisse bertajuk “Global Wealth Report 2021” yang dirilis Juni 2021 menyebutkan 171.740 orang Indonesia memiliki kekayaan bersih di atas US$ 1 juta (Rp 14,5 miliar) pada 2020. Dibandingkan total 270 juta penduduk, jumlah orang super kaya itu setara dengan 0,1% populasi.

Kedua, kualitas pendidikan Indonesia rendah. Survei PISA (Programme for International Student Assesment) di tahun 2018, menempatkan Indonesia pada posisi ke-74 di antara 79 negara yang disurvei pada aspek kemampuan membaca, matematika, dan sains. Survei PISA yang dilaksanakan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development)  per tiga tahun  sekali ini mengevaluasi sistem pendidikan di dunia dengan mengukur kinerja siswa berpendidikan menengah. Dengan potret buram itu, macam bagaimana pula kita membayangkan daya saing anak negeri ini.

Ketiga, kualitas demokrasi Indonesia dalam trend menurun. Laporan 2020 The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia 2019, dan 2021 Democracy Report mengkonfirmasikan hal tersebut. EIU dan Indeks Demokrasi Indonesia menggarisbawahi menurunnya kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai pangkal utama menurunnya kualitas demokrasi Indonesia.  Laporan EIU menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 167 negara.

Laporan Indeks Demokrasi Indonesia memperlihatkan turunnya skor indeks kebabasan berpendapat yang semula 66,17 di tahun 2018 menjadi 64,29 di tahun 2019. 2021 Democracy Report menempatkan Indonesia pada urutan 73 dari 179 negara dalam hal kebebasan dalam demokrasi. Walhasil, Indonesia berada di dalam kelompok demokrasi cacat (flawd democracy).

Keempat, indek persepsi korupsi. Jebloknya kualitas demokrasi Indonesia itu seturut dengan tingginya tingkat korupsi. "Korupsi jauh lebih mungkin berkembang dimana fondasi demokrasi lemah,” simpul Delia Ferreira Rubio, Ketua Transparency International, 2019. Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 berada di skor 37, turun sebanyak tiga poin dari tahun sebelumnya. Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan.

Versi Global Corruption Barometer Asia 2020 menempatkan Indonesia di kawasan Asia sebagai: Juara 1 korupsi sex (sexfortion), Juara 3 suap (bribery), 49% rakyat yakin korupsi meningkat setahun terakhir, dan 92% melihat korupsi di pemerintahan sebagai masalah besar.

Jadi, Indonesia Maju memang dalam tanda tanya.

Kamarudin, founder AKSES School of Research