Harga Minyak Meningkat: Perekonomian Terancam Melambat, Kesejahteraan Masyarakat Menurun

Terhitung sejak 24 Februari, Pertamina menaikkan harga minyak nonsubsidi seperti Pertamax, Dexlite maupun Pertalite. Kenaikan harga sekitar Rp300 untuk wilayah Jawa dan Bali; sedangkan di luar wilayah tersebut, kenaikan beragam. Harga Pertamax di Jakarta misalnya, naik menjadi Rp8.900 di Jakarta. Harga Dexlite naik dari Rp 7.500 per liter menjadi Rp 8.100 per liter.

Langkah penyesuaian harga BBM yang dilakukan oleh Pertamina tersebut, diyakini akan semakin memberatkan kehidupan rakyat. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan menganggu daya beli masyarakat yang sudah rendah, hal ini disebabkan karena akan menyulut kenaikan angka inflasi. Pada Januari lalu, inflasi mencapai 3,25 persen (yoy) dimana inflasi energi mencapai 8,6 persen; inflasi harga diatur pemerintah 5,82 persen. Artinya, gejolak inflasi masih disebabkan oleh intevensi pemerintah di bidang harga, bukan karena peningkatan konsumsi (belanja).

Pengaruh inflasi tidak bisa dibatasi pada kelompok tertentu saja, misalkan pada golongan orang kaya. Sebaliknya, inflasi lebih menekan bagi rakyat kecil, meski kebijakan yang diambil tidak terkait dengan kepentingan mereka. Dengan demikian, agak sulit juga memperbaiki ketimpangan, jika harga barang-barang pokok terus diintervensi. Kebijakan ini jelas-jelas tidak pro rakyat.

Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi memiliki tendensi melambat, karena perlambatan konsumsi rumah tangga akibat penurunan daya beli. Jadi, rakyat akan menahan untuk konsumsi sebagai upaya antisipasi kalau-kalau minyak naik lagi. Jelas akan sulit mencapai target pertumbuhan tinggi, jika pemerintah seringkali menaikkan BBM. Konsumsi rumah tangga Indonesia itu, sebagian besar golongan menengah ke bawah. Bagi golongan menengah, saat terjadi tekanan harga, maka mereka akan menunda belanja. Namun, bagi golongan bawah, kenaikan harga menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Kondisi ini sebenarnya sangat dipahami oleh Pemerintah.

Dalam beberapa laporan BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga rata-rata di bawah 5 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi. Padahal, peranannya mencapai 55 persen terhadap PDB. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi hanya 5,07 persen dimana konsumsi rumah tangga hanya naik 4,95 persen. Padahal janji Pemerintah untuk membuat perekonomian nasional meroket, atau setidaknya bisa memenuhi target APBN 2018 nantinya sebesar 5,4 persen. Jika pertumbuhan ekonomi tetap rendah, mustahil pemerintah akan mampu menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang lebih cepat.

Ecky A. Mucharam

Ketua Departemen Keuangan dan Perbankan DPP PKS