Harapan Tambahan Pertumbuhan Momen Ramadan-Lebaran Akan Terganggu Oleh Kebijakan Tariff Trump
Memed Sosiawan (Ketua Komisi Kebijakan Publik MPP PKS)
Harapan Menkeu Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani optimis bahwa Idul Fitri 1446H dapat memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi karena aktivitas perekonomian akan meningkat selama Libur Lebaran, terutama pada daerah-daerah tujuan mudik. Menkeu juga optimistis dampak Lebaran akan tercermin pada data perekonomian Indonesia pada kuartal I/2025 mendatang. Sebelumnya, Pemerintah meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2025 akan mencapai 5%, terutama didorong oleh momen Ramadan dan Lebaran.
Situasi Data Pemudik dan Perputaran Uang selama Lebaran
Diketahui, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) awalnya memperkirakan jumlah pemudik pada tahun ini hanya mencapai 146,48 juta orang. Kemenhub kemudian mencatat realisasi jumlah pemudik pada Lebaran 2025 mencapai 154,6 juta orang atau turun 7,6 juta (4,69%) dibandingkan tahun lalu yang mencapai 162,2 juta orang. Selain Kemenhub, beberapa BUMN terkait transportasi publik juga merilis data selama mudik Lebaran.
PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (JSMR) mencatat terdapat 2,16 juta kendaraan yang bergerak meninggalkan wilayah Jabodetabek selama periode arus mudik Lebaran 2025. Corporate Communication and Community Development Group Head Jasa Marga menjelaskan bahwa periode arus mudik resmi telah berakhir terhitung sejak H-10 Lebaran sampai dengan H+2 Lebaran (21 Maret 2025–1 April 2025). Total volume lalin yang meninggalkan wilayah Jabotabek pada Lebaran 2025 naik 0,6% dibandingkan dengan lalin pada Lebaran 2024 pada periode yang sama sebanyak 2,15 juta kendaraan.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) mencatat telah memberangkatkan 2.015.447 pemudik selama H-10 sampai hari pertama Lebaran. Ada kenaikan jumlah penumpang 8% dibandingkan periode sama tahun lalu. Sedangkan PT Angkasa Pura atau InJourney Airports melaporkan, jumlah penumpang pesawat di 37 bandara kelolaannya pada sepuluh hari menjelang Lebaran mencapai sekitar 4,7 juta penumpang. Tahun lalu, dalam sembilan hari sampai hari pertama Lebaran, jumlah penumpang di 35 bandara mencapai 4,1 juta.
Data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) juga memperkirakan perputaran uang selama libur Lebaran 2025 hanya mencapai Rp 137,975 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan 2024 yang mencapai Rp 157,3 triliun. BI telah mempersiapkan uang layak edar (ULE) sebesar Rp180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada periode Ramadan dan Idulfitri 2025 namun diprediksi uang layak edar tersebut tidak akan terserap sepenuhnya.
Meskipun data Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik tahun ini turun 7,6 juta (4,69%) dari tahun lalu, dan KADIN juga memperkirakan bahwa perputaran uang selama selama libur lebaran tahun ini turun 12,28% dari tahun lalu. Data perjalanan darat dan udara menunjukkan ada kenaikan jumlah pemudik yang menggunakan jalan tol sebesar 0,6% (JSMR) dan kenaikan jumlah penumpang kereta api sebesar 8% (KAI), serta ada penurunan jumlah penumpang pesawat per bandara sebesar 2,3% (PT Angkasa Pura) dibandingkan dengan tahun lalu. Terjadi kenaikan jumlah penumpang kereta api namun terjadi stagnasi jumlah pemudik yang melalui jalan tol serta menggunakan pesawat terbang.
Gambaran Kondisi Perekonomian Indonesia.
Kondisi perekonomian Indonesia secara umum dapat tergambar dari beberapa data perkembangan indikator makro dan mikro ekonomi yang berjalan. Ekonomi Indonesia tahun 2024 tumbuh sebesar 5,03%, melambat dibanding capaian tahun 2023 yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,05% (BPS) padahal ada tiga pemilu serentak (Pileg, Pilpres, dan Pilkada) di tahun 2024. BPS mencatat konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang 55% dari total PDB dengan pertumbuhan yang tetap stabil pada kuartal kedua 2024.
Dari rincian konsumsi rumah tangga, sekitar 51,58% dialokasikan untuk kebutuhan makanan, sedangkan 48,42% lainnya digunakan untuk belanja non-makanan. Untuk yang non-makanan ini paling banyak masyarakat kita membelanjakannya untuk transportasi dan komunikasi. Sehingga momen Ramadan-Lebaran melalui belanja makanan, transportasi, dan komunikasi memang bisa diharapkan turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada Senin (03/03), Badan Pusat Statistik alias BPS mengumumkan deflasi tahunan pada Februari 2025 tercatat sebesar 0,09% dibandingkan tahun sebelumnya alias year-on-year. Deflasi adalah penurunan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan berkelanjutan dalam periode waktu tertentu. Selain deflasi tahunan yang pertama dalam sekitar dua dekade (terakhir deflasi terjadi pada tahun 2000), deflasi bulanan alias month-to-month juga tercatat pada Februari 2025 sebesar 0,48%. Padahal, 1 Maret 2025 adalah awal bulan Ramadan yang dimana tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat. Sebagai perbandingan, Ramadan tahun lalu dimulai pada tanggal 11 Maret 2024. Saat itu, BPS mencatat tingkat inflasi (kebalikan dari deflasi) month-to-month pada Februari 2024 sebesar 0,37%.
Pada Januari 2025, Indeks Penjualan Riil (IPR) tercatat sebesar 211,5 atau secara bulanan mengalami kontraksi sebesar 4,7% (mtm) setelah tumbuh 5,9% (mtm) pada Desember. Perkembangan ini sejalan dengan normalisasi permintaan masyarakat pasca-perayaan HBKN Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang menyebabkan kontraksi penjualan mayoritas kelompok, kecuali Suku Cadang dan Aksesori. Penjualan eceran diperkirakan tumbuh tipis pada Februari 2025. Hal ini tecermin dari IPR Februari 2025 yang diprakirakan mencapai 213,2, atau secara bulanan tumbuh sebesar 0,8% (mtm).
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan penurunan 0,8 poin pada Februari 2025 menjadi 126,4 dari Januari yang sebesar 127,2. Indeks dari hasil survei Bank Indonesia (BI) tersebut menandai penurunan dua bulan berturut-turut, usai pada Desember mengalami peningkatan.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat jumlah tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia mencapai lebih dari 18.000 orang. Khususnya dalam dua bulan pertama 2025. Berdasarkan data dalam laman Satu Data Ketenagakerjaan Kemnaker, jumlah orang yang ter-PHK mencapai 18.610 orang per Februari 2025. Angka tersebut meningkat hampir 6 kali lipat dari bulan Januari yang sebanyak 3.325 PHK. Pada periode Januari-Desember 2024 terdapat 77.965 orang tenaga kerja yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sekitar 21,91 % dari jumlah tenaga kerja ter-PHK yang dilaporkan. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebutkan daya beli masyarakat DKI Jakarta menurun sebesar 25% saat Lebaran 2025 atau Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah.
Bank Indonesia (BI) mencatat penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 5,3% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi Rp8.599,4 triliun pada Januari 2025. Simpanan segmen nasabah perorangan semakin terkontraksi di saat DPK korporasi bertumbuh lebih tinggi. Sedangkan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) pada Februari 2025 tercatat sebesar Rp8.612,5 triliun, atau tumbuh 5,1% secara tahunan yoy. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya 4,8 % yoy.
Berdasarkan golongan nasabah, DPK korporasi tumbuh sebesar 12,9% yoy, setelah pada bulan sebelumnya tumbuh sebesar 14,1% yoy. Sementara itu, DPK perorangan terkontraksi sebesar 1,8% yoy, membaik dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya sebesar 3,4% yoy. Artinya korporasi selama bulan Januari dan Februari menambah Tabungan dengan menahan belanja atau investasi sedangkan banyak masyarakat menarik tabungannya untuk belanja karena menurunnya pendapatan dengan kondisi pola konsumsi yang cenderung tetap.
Rangkuman beberapa pemaparan data diatas, seperti: Turunnya pertumbuhan ekonomi pada 2024 dibandingkan 2023; Terjadinya deflasi tahunan yang pertama dalam sekitar dua dekade (terakhir deflasi terjadi pada tahun 2000); Indeks Penjualan Riil (IPR) selama bulan Januari dan Februari 2025 yang turun 3,9% dibandingkan desember 2024; Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan penurunan 0,8 poin pada Februari 2025 menjadi 126,4 dari Januari yang sebesar 127,2, Indeks dari hasil survei Bank Indonesia (BI) tersebut menandai penurunan dua bulan berturut-turut, usai pada Desember mengalami peningkatan; Pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia mencapai lebih dari 18.610 orang khususnya dalam dua bulan pertama 2025; dan DPK perorangan terkontraksi sebesar 5,2% dalam dua bulan pertama 2025, membantu memberi gambaran kondisi perekonomian Indonesia yang sedang melemah dan menurunnya daya beli masyarakat.
Kebijakan Tariff Trump dan Dampaknya
Pada 2 April 2025, Trump menyatakan akan menetapkan tarif dasar sebesar 10% untuk impor dari lebih dari 180 negara. Kemudian untuk subkelompok dari 90 negara dikenai tarif resiprokal yang mulai berlaku pada 9 April 2025. Tarif tersebut berkisar dari 11% hingga 50%, termasuk Indonesia yang dikenai tarif Trump 32%.
Sementara tarif yang dikenakan terhadap Filipina ditetapkan sebesar 17%, negara-negara lainnya di Asia Tenggara menghadapi tarif yang jauh lebih tinggi. Vietnam sebesar 46%, Thailand sebesar 36%, dan Malaysia sebesar 24%. Sementara itu, Singapura dikenakan tarif sebesar 10%. China dikenakan tarif timbal balik sebesar 34% (kemudian dirubah menjadi 104%, kemudian dinaikkan lagi menjadi 145%), sementara Uni Eropa akan menanggung tarif sebesar 20%. Negara Asean yang dikenakan tariff lebih rendah dari Indonesia adalah Singapura, Filipina, dan Malaysia.
Bagi negara-negara yang dikenakan tariff tersebut akan berdampak pada terganggunya produksi ekspor, barang yang selama ini bisa diekspor dikirim ke Amerika akan menumpuk sehingga terjadi kelebihan produksi dan penumpukan stock. Stock barang ekspor yang menumpuk akan mengalir ke negara dengan tariff lebih rendah dengan kata lain negara yang dikenakan tariff lebih rendah dapat kebanjiran stock dari negara yang dikenakan tariff lebih tinggi, tentunya dengan harga yang rendah.
Bagi negara yang dikenakan tariff akan mendapatkan dua tekanan, tekanan internal dari penumpukan stock barang yang tidak bisa di ekspor dan tekanan eksternal dari mengalirnya stock barang dengan harga rendah dari negara yang dikenakan tariff lebih tinggi, maka yang selanjutnya akan terjadi adalah inefisiensi produksi. Produktifitas Perusahaan akan menurun yang juga akan membuat profitabilitas menurun. Dengan kondisi demikian yang dapat dilakukan untuk bertahan adalah relokasi produksi ke Amerika atau negara dengan tariff lebih rendah, atau menjadi jembatan penghubung menerima produksi (impor) dari negara dengan tariff lebih tinggi untuk dikirim kembali (ekspor) ke Amerika atau melakukan gelombang PHK lanjutan untuk meningkatkan efisiensi produksi.
Tantangan Kebijakan Pemerintah dalam mendorong Konsumsi untuk meningkatkan Pertumbuhan
Pada APBN 2025 Presiden Prabowo melakukan sebuah langkah berbeda dengan melakukan pemangkasan anggaran pemerintah untuk membiayai program prioritas. Sederet kebijakan pemangkasan anggaran pemerintah pusat mencapai Rp 306,69 triliun. Kebijakan pemangkasan anggaran APBN ini berujung efisiensi besar-besaran operasional pemerintah. Efisiensi anggaran bisa berkaitan dengan situasi penurunan jumlah pemudik, kondisi perekonomian Indonesia yang melemah dan adanya sinyal penurunan daya beli masyarakat.
Efisiensi anggaran pemerintah menyebabkan penurunan stimulus fiskal sehingga berbagai insentif yang diberikan pemerintah kepada sektor produksi dan subsidi kepada masyarakat selama ini juga ikut berkurang. Dikhawatirkan dapat terjadi stagnasi ekonomi (pertumbuhan berjalan lambat) dalam jangka pendek sebagaimana tergambar dari penurunan jumlah pemudik dan perputaran selama Lebaran, yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan kontraksi berlanjut pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam kondisi perekonomian demikian ditambah dengan berlakunya kebijakan Tariff Trump sejak 9 April 2025, yang terbayang adalah akan terjadinya gelombang PHK lanjutan sehingga daya beli masyarakat akan semakin tergerus. Maka menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, melalui peningkatan daya beli masyarakat sehingga konsumsi masyarakat bisa meningkat.
Pemerintah harus mendorong sektor produksi baik yang padat modal atau padat karya untuk terus maju dan berkembang. Sektor produksi padat modal didorong melalui deregulasi pemerintah dan efisiensi birokrasi agar mereka yang berperan sebagai produsen atau sebagai partner relokasi produksi dari negara yang dikenakan tariff tinggi atau sebagai jembatan mengalirkan produksi dari negara yang dikenakan tariff tinggi ke Amerika bisa maju dan meningkat investasi serta kinerjanya. Sedangkan bagi sektor produksi padat karya dilindungi dan diberi insentif untuk maju dan berkembang agar dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Penguatan sektor produksi juga harus memperhatikan penguatan keunggulan ekonomi domestik. Wallohualam.
Depok, 16 April 2025