Catatan APBN 2018: Pencapaiannya Belum Berdampak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Pencapain APBN 2018 yang disampaikan oleh Menteri Keuangan disambut dengan gegap gempita oleh Pemerintahan, tak terkecuali oleh Presiden Jolowi. Pencapaian ini seolah2 sebagai kado akhir tahun dari Kementerian Keuangan yang dikomandani oleh Sri Mulyani untuk Pemerintah khususnya Pres Jokowi. Tapi pertanyaan mendasarnya adalah apakah dampaknya juga signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat..? T

Terdapat beberapa catatan yang bisa menjadi gambaran terhadap kondisi pencapaian APBN 2018.

Pertama, pencapaian APBN 2018 yang tergambar dalam realisasi penerimaan negara dalam APBN 2018 per akhir Desember 2018 tembus 102,5% atau setara Rp 1.942,3 triliun atau 102,5% dari target APBN yang sebesar Rp 1.894,7 triliun. Adapun realisasi belanja negara sampai dengam akhir Desember 2018 sebesar Rp 2.202,2 triliun atau 99,2% dari target Rp 2.220,7 triliun. Sedangkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2018 sebesar Rp259,9 triliun atau sebesar 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto dari target Rp325,9 atau 2,19% dalam APBN 2019, belum bisa memberikan gambaran terhadap kondisi perekonomian secara riil.

Kedua, pencapaian anggaran pemerintah tersebut belum cukup kuat untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi sampai dengan akhir tahun 2018. Sepanjang tahun 2018 ekonomi hanya tumbuh 5,15% atau tidak mencapai target APBN 2018 yang mencapai 5,4%. Artinya pertumbuhan sektor perpajakan yang mencapai 13,2% belum berkorelasi positif dengan perekonimian. Begitupula kinerja belanja negara guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi belum signigikan mengangkat perekonomian nasional.

Ketiga, secara umum kinerja sektor perpajakan masih belum maksimal. Sampai dengan akhir Desember 2018 penerimaan pajak mencapai Rp1.315,9 triliun atau sebesar 92,4% dari target sebesar Rp1.424,00 triliun dalam APBN 2018. Dengan kata lain masih terdapat shortfall (defisit) pajak mencapai Rp108,1 triliun. Angka ini jauh lebih lebar dibandingkan target Pemerintah yang memperkirakan shortfall pajak berkisar Rp73,1 triliun.

Keempat, faktor kenaikan harga minyak dunia, yang berimbas pada harga acuan minyak Indonesia (ICP), turut andil dalam mendongkrak penerimaan negara dalam APBN 2018. Sepanjang tahun ini, ICP bergerak pada rentang harga US$ 59-77 per barel. Akhir November lalu, ICP mencapai US$ 62,98 per barel. Padahal, asumsi harga minyak dalam APBN 2018 hanya sebesar US$ 48 per barel. Adanya selisih antara asumsi APBN dengan pergerakan harga minyak dunia membuat penerimaan negara dari sektor migas otomatis meningkat tajam, baik dari pajak, maupun penerimaan lain non-pajak.

Kelima, kontribusi harga minyak dunia tersebut, terlihat pada penerimaan PPh Migas sebesar Rp 64,7 triliun atau mencapai 156% dari target APBN 2018 sebesar Rp38,13 triliun. Begitupula Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP mencapai Rp407,1 triliun atau 147,8% dari target APBN 2018 sebesar Rp275,42 triliun. Dimana kontribusi PNBP SDA Migas per Nov 2918 mencapai Rp119,82 triliun atau sekitar 149,13% terhadap APBN 2018.

Keenam, nilai keseimbangan primer juga masih negatif sebesar 1,8%. Hal ini menunjukkan Pemerintah masih gali lubang tutup lubang untuk menutup anggaran yang ada. Dengan kata lain Pemerintah masih berutang untuk membayar bunga utang dalam APBN 2018.

Ketujuh, angka kemiskinan per akhir Desember 2018 yang mencapai 9,82%, belum bisa menggambarkan kinerja Pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan. Rata2 penurunan angka kemiskinan justru semakin lambat. Dari tahun 2015 hingga 2018, penurunan angka kemiskinan rata2 hanya mencapai 0,88% jauh dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai angka 3,4%.

Kedelapan, begitupula dengan angka pengangguran yang mencapai angka 5,34% pada akhir tahun 2018. Persentase penurunan angka pengangguran dalam empat tahun terakhir rata2 hanya mencapai 0,84%, jauh dari periode sebelumnya yang mencapai 2.0%.

(Jakarta, 03 Januari 2019, Oleh: Handi Risza, Caleg PKS DPR RI No2 Dapil Sumbar I, Jubir PKS Muda  dan Jubir BPN Prabowo-Sandi)