BPJS Naik 100 Persen, Adang Sudrajat: Tidak Masuk Akal, Memberatkan Rakyat

Anggota DPR RI komisi IX, dr Adang Sudrajat
Anggota DPR RI komisi IX, dr Adang Sudrajat

Jakarta -- Kenaikan iuran BPJS hingga 100% yang berlaku awal 2020 mendatang membuat khawatir Anggota DPR RI komisi IX, dr Adang Sudrajat. Karena kini pemerintah secra resmi melalui presiden Joko Widodo, meresmikan menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja sebesar dua kali lipat dari sekarang.

“Ini kebijakan tidak masuk akal. Pemerintah mestinya menghitung, kenaikan angka iuran itu bukan satuan yang kelihatan tidak memberatkan. Tapi mestinya menghitung faktor pengali jumlah keluarga. Dalam Pasal 34 Perpres 75/2019, tarif iuran kelas Mandiri III dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik Rp16.500 dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan. Kita mengetahui, keluarga yang belum beruntung ekonominya, sangat berat pada iuran BPJS saat ini sehingga banyak menunggak. Untuk angka Rp16.500,- kali lima orang asumsinya anaknya tiga, menjadi Rp 82.500,- akan semakin memberatkan," urai Politisi PKS ini.

Pada peserta iuran BPJS kelas I, lanjut Adang, kenaikannya semakin drastis. Terakhir, iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I melonjak 100% dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan.

Politisi PKS ini mengatakan, bahwa dalam jangka pendek, BPJS memang perlu diselamatkan cash flow nya. Penyelamatan BPJS yang sudah mulai skarat ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk menunjukkan kreativitas pendanannya. Kemampuan menyediakan cashflow penyelamatan BPJS tanpa merepotkan rakyat adalah yang paling tepat. Kebijakan-kebijakan yang keluar dari pemerintahm akan menunjukkan kualitas pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Menurutnya, pemerintah tengah melakukan langkah kebijakan pukul rata tanpa seleksi yang pantas. Ada banyak peserta mandiri yang sebenarnya sangat tidak mampu untuk membayar iuran, tetapi tidak bisa dimasukkan dalam PBI. "Puluhan ribu buruh ter-PHK tidak bisa mengurus SKTM karena tinggal di perumahan, walaupun faktanya mereka sudah terPHK lebih dari 6 bulan bahkan ada yang lebih dari 4 tahun belum punya pekerjaan tetap," papar dia.

Dan hal penting lagi menurut Adang, belum ada keterbukaan komponen biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh BPJS. Dugaan saat ini justru biaya dari PBI yang dipakai untuk mensubsidi penyakit-penyakit yang dialami orang kaya. Keterbukaan ini yang perlu disampaikan ke publik sehingga semua eksekusi kebijakan ini dapat dilakukan secara adil untuk rakyat.

“BPJS ini kan sebenarnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin hak akses masyarakat pada fasilitas kesehatan yang ada. Sebaiknya dapat mengkaji ulang kebijakan kenaikan BPJS ini. Masyarakat mestinya diberikan ruang yang lebih nyaman dalam berkehidupan. Ini malah diberikan beban, dan semakin menjauh dari kesejahteraan," tutup Adang Sudrajat.