Aturan Mendagri countreproductive dan akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat

Kebijakan baru yang dikeluarkan Mendagri terkait aplikasi PeduliLindungi bisa menjurus pada kontrol total oleh negara terhadap masyarakat, yang tidak sehat untuk civil liberty dan data privacy kedepannya.

Hal tersebut disampaikan Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Farouk Abdullah Alwyni.

Menurut Farouk, kebijakan ini tidak tepat karena juga akan berdampak negatif terhadap ekonomi masyarakat. “Secara jumlah unit, persentase UMKM adalah 99,99% dari seluruh pelaku usaha, kebijakan terkait aplikasi PeduliLindungi hanya akan mempersulit bisnis mereka,” katanya, Kamis (30/12/2021).

Sebagaimana diketahui, per 21 Desember 2021, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meneken Surat Edaran Mendagri Nomor 440/7183/SJ tentang Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 Varian Omicron serta Penegakan Penggunaan Aplikasi PeduliLindungi. 

Di dalamnya diatur kewajiban bagi penyelenggara tempat publik untuk memasang aplikasi PeduliLindungi. 

Hal ini bertujuan agar masyarakat umum punya sarana menunjukkan apakah dirinya sudah divaksin atau belum. Seterusnya akan ada sanksi tegas jika ada penyelenggara terbukti melanggar aturan. Pemberian sanksi di antaranya pencabutan sementara atau tetap terhadap izin operasional sebuah tempat usaha.

Farouk Alwyni mengatakan, SE Mendagri adalah counterproductive, bukan saja menyulitkan bisnis UMKM untuk bangkit, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah masih tidak memahami persoalan vaksinasi Covid-19. 

“Pemerintah terjebak paradigma bahwa vaksin adalah satu-satunya jalan keluar pandemi. Padahal pengetahuan baru sudah banyak bermunculan. Studi menunjukkan persoalan Covid-19 akan selalu kembali pada persoalan imunitas. Tanpa perlu vaksin sekalipun, seseorang yang berdaya tahan tubuh baik cenderung lebih terhindar dari penularan virus, dan kalaupun tertular akan masuk kategori asymptomatic (Orang Tanpa Gejala),” katanya.

Di sisi lain, studi juga membuktikan vaksin-vaksin yang ada sekarang ini sebagai leaky vaccine, yakni vaksin yang tidak bisa mencegah penularan Covid-19. Artinya, orang yang telah divaksin pun masih bisa tertular dan juga bisa menularkan virus. 

“Satu kemanfaatan vaksin yang masih bisa disepakati adalah kemampuannya mencegah sakit berat. Itupun mulai tertantang mengingat banyak pula ditemukan kasus sakit berat bahkan kematian pada orang yang sudah vaksin dosis penuh,” lanjutnya.

Secara internasional, Farouk menjelaskan, kasus kematian penerima vaksin dosis penuh banyak ditemui pada kelompok lanjut usia dan yang mempunyai penyakit bawaan. Padahal tujuan utama vaksin adalah melindungi kelompok ini. 

Di sinilah menurutnya kebijakan vaksinasi secara umum patut dikaji ulang. Lebih-lebih, tingkat kematian Covid-19 yang berada di kisaran 3,38 persen banyak di antaranya berasal dari kelompok rentan.

“Objektif dari vaksinasi semestinya melindungi kelompok rentan, tetapi itu juga tidak sepenuhnya berhasil. 

Ini seharusnya membuka mata para pemegang kebijakan bahwa perlu ada aturan yang lebih tepat sasaran dan tidak merugikan orang banyak. Belum lagi kalau kita bicara dampak samping vaksin yang mulai bermunculan sejauh ini,” kata Farouk Alwyni.

Dalam kondisi sekarang, kata Farouk, strategi yang lebih perlu dilakukan adalah focused protection, yakni fokus melindungi kelompok rentan di antaranya mereka yang berusia lanjut (di atas 65 tahun), kelompok yang masuk kategori obesitas, maupun yang memiliki diabetes. “Merekalah sebenarnya yang mayoritas berkontribusi terhadap kematian,” jelas Farouk.

Dengan penanganan yang lebih terarah, kata Farouk, maka sebetulnya pemerintah tak perlu mengeluarkan larangan mubazir sebagaimana diambil oleh Mendagri. Kebijakan ini menurutnya hanya akan meneruskan terpuruknya pertumbuhan ekonomi yang sudah terjungkal di kuartal tiga tahun 2021.

“Kebijakan histeria seperti PPKM Darurat & kebijakan sertifikat vaksin (KSV) ini senyatanya tidak tepat. Apalagi kebijakan ini (KSV) bertentangan dengan otonomi kesehatan individu yang diatur dlm UU No. 36 Tahun 2009, di mana setiap tindak kesehatan harusnya disetujui oleh warga atau yang dikenal dengan informed consent,” kata Farouk Alwyni.

Dalam pada itu, sudah banyak masyarakat menyuarakan keberatannya terhadap aturan yang dinilai telah merampas hak-hak sipil, sosial, dan ekonomi orang banyak ini. Namun alih-alih mendengarkan keluhan mereka, Farouk menyayangkan para pemegang kebijakan justru terkesan masih menganggap dirinya sebagai entitas yang paling tahu cara memperbaiki keadaan. 

Menurutnya, pemerintah perlu lebih sensitif dan menyadari kesulitan hidup masyarakat banyak akibat berbagai kebijakan penanganan Covid-19 yang diambilnya. 

Tanpa sensitifitas dan kerendahan hati, kata Farouk, pemerintah hanya akan mendapati bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat terus memburuk, dan pihak yang paling menanggung persoalan ini akhirnya adalah masyarakat menengah ke bawah. 

“Tanpa strategi penanganan yang baik, yang memperhatikan focused protection, maka akan terus berlanjut kesulitan ekonomi yang diderita masyarakat. Kondisi ekonomi yang sulit pada akhirnya akan menimbulkan persoalan pula bagi kesehatan masyarakat, bukan sekadar Covid-19, tetapi juga berbagai penyakit lainnya,” pungkas alumni program MBA Birmingham University ini.