Anomali Politik Indonesia

Anomali, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan. Diksi ini memperjelas mengapa Indonesia Maju yang sejatinya bukan ilusi itu namun ringkih dalam realitas sosial, ekonomi, dan politik belakangan ini. Atau, sebagaimana diungkap pekan lalu, paradoks Indonesia: Indonesia adalah sekeping surga; Letaknya yang strategis; Bonus demografis; Negara demokratis ketiga di dunia (kuantitas), akan tetapi tersergap daftar horor berikut: Kemiskinan massif di tengah kegelimangan harta segelintir orang super kaya; Kualitas pendidikan Indonesia rendah; Kualitas demokrasi Indonesia dalam trend menurun; Indeks persepsi korupsi dalam trend menurun.

Jika pertanyaannya apa ukuran Indonesia Maju, jawabannya ada dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam alinea keempatnya terpampang jelas tujuan kita berbangsa dan bernegara, yakni, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial."

Pembaca, sila menyelami kondisi kekinian negeri ini, lalu berkontemplasi dengan menggunakan penggalan Pembukaan UUD 1945 itu sebagai standar penilaian. Tanpa dinujum, hasilnya, sekali lagi, paradoks Indonesia.

Berikut ini adalah realitas politik kontemporer yang menunjukkan anomali politik Indonesia itu bukanlah isapan jempol. Pertama,  kesenjangan nilai Pancasila, antara idealitas dengan realitas (Das Sein dan Dan Sollen). Misalkan satu sila saja, yakni sila keempat yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Alih-alih Demokrasi Pancasila bersendikan sila keempat itu tegak, yang terjadi adalah demokrasi yang terlampau liberal. Dampaknya antara lain oligarkhi politik dan ekonomi yang kian subur, sejurus dengan makin subur pula praktek korupsi.  

Kedua, sistem kepartaian yang belum berubah secara signifikan ditinjau dari aspek kelembagaan, sistem pendanaan dan transparansi keuangan, serta sistem perekrutan calon kepala daerah dan anggota legislatif. Hasilnya? Enam kelemahan kelembagaan partai politik di Indonesia versi Prof. Ramlan Surbakti dalam “Parpol dan Sistem Pemilu” (Kompas, 5 Maret 2020): (1) Parpol belum dikelola secara demokratis; (2) Secara finansial dibiayai para elite parpol; (3) Lebih berorientasi jabatan (power seeking) daripada kebijakan publik (policy seeking); (4) Ideologi lebih difungsikan sebagai tontonan publik daripada tuntunan bagi kader dalam melaksanakan kegiatan politik; (5) Lebih dikenal popularitas tokoh dan kadernya daripada rencana kebijakan dan program yang diperjuangkan menjadi kebijakan publik; (6) Jumlah warga negara yang mengindentifikasi diri secara psikologis dan ideologis dengan suatu partai sangat rendah.

Ketiga,  Presidensial dengan rasa Parlementer. Secara resmi, sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensial. Pilpres secara langsung adalah salah satu ikhtiar untuk memperkokoh sistem Presidensial itu. Namun bukannya beroleh pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) serta kepemimpinan yang kuat (strong leadership), justru hasrat membentuk koalisi gemuk yang lebih dikedepankan seiring dengan pembungkaman kalangan oposisi.

Keempat, politik hukum yang menampakkan fenomena “tajam ke bawah, tumpul ke atas”, serta ditingkahi pula oleh tudingan radikalisme, intoleran, dan lain-lain narasi negatif terhadap elemen umat yang kritis terhadap rezim. Hukum adalah soal rasa keadilan. Jika diskriminasi hukum acapkali dipertontonkan tentu implikasinya berbahaya, terentang dari ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum hingga civil disobedience (pembangkangan sipil).

Anomali politik Indonesia di atas bila tidak diselesaikan secara baik menghasilkan sistem politik yang minim transparansi, minim meritokrasi, dan berbiaya tinggi. Prof. Edward Aspinall, Indonesianis dari Australian National University, dalam makalah bertajuk Indonesian Election and Democracy: The New Research Agenda (Binnual International Conference on Indonesian Politics and Government, University of Indonesia, 10 – 11 Juli 2019), menyebutnya sebagai The negative effect of illiberal democracy. Ada empat dampaknya, yaitu Political financing cycle (Siklus pembiayaan politik), Corruption (Korupsi), Poor policy outcomes (Kebijakan yang buruk), dan Lack of serious opposition (Minim oposisi yang serius).

Apa jalan keluar dari anomali politik Indonesia itu? Berikut daftar tawaran solusi. Pertama, mentalitas untuk mau mengakui bahwa cita-cita proklamasi itu dengan realitas kekinian bagai jauh panggang dari api. Keberanian berkontemplasi secara kolektif sebagai anak bangsa ini sungguh dibutuhkan agar kita tak terjerembab menuju status negara gagal (the Filed State). Sebuah kekhawatiran yang beralasan manakala kita menyaksikan fenomena oposisi layu di tengah gurita dominasi rezim, kebebasan berserikat dan berpendapat yang kian menjauh. Ditengah krisis jati diri dan disorientasi politik itu, bolehlah kiranya kita merunduk, mengikuti  ungkapan Amartya Sen, “Join the past to build a new!”

Kedua, korupsi politik sebagai the extraordinary crime adalah musuh Bersama (Public enemy). Asal muasalnya adalah money politic, karena parasit ini adalah hulu dari pelbagai penyakit kronis kita: KKN, fenomena shadow government, klientilisme, oligarkhi, politik rente, dan lain-lain. Di titik ini maka penguatan KPK adalah solusi, pelemahan KPK adalah musibah. 

Ketiga, reformasi sistem pemilu. Ada banyak PR dalam tema ini, antara lain kelembagaan penyelenggara pemilu, konversi suara menjadi kursi tanpa harus kehilangan begitu banyak suara pemilih sah, teknis pelaksanaan hari H pemilu yang tidak menguras tenaga penyelenggara pemilu, hingga kemungkinan penerapan e-voting.

Namun satu hal amat krusial adalah masalah Presidential Threshold 20%. Dampaknya sudah riil terjadi, yakni calon presiden yang dia lagi dia lagi, berasal dari partai yang itu-itu sahaja. Stok kepemimpinan nasional kita amat sangat dibatasi oleh aturan Presidential Threshold 20% itu. Di titik inilah  para bandar politik berpesta pora, menyisakan sejumlah dampak yang diistilahkan Prof. Edward Aspinall sebagai, The negative effect of illiberal democracy.

 

Kamarudin, founder AKSES School of Research