Utang Menjadi Tumpuan Penggerak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2016

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2016 mencapai 4.92%, meleset dari harapan semula diatas 5%. Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal sebelumnya yaitu kuartal IV 2015 yang mencapai 5.04%. Bahkan Bank Indonesia kemudian juga mengoreksi target pertumbuhan ekonomi untuk 2016 menjadi 5.0-5.4% (yoy), sedikit lebih rendah dari perkiraan target sebelumnya dalam Asumsi Makro APBN2016, dalam kisaran 5.2-5.6% (yoy), sebesar 5.5%. Kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dikoreksi tersebut sejalan dengan penurunan kondisi ekonomi global yang belum pulih.

Penurunan kondisi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak terlepas dari kondisi kelesuan yang membayangi perekonomian Indonesia 2016, dalam kurun waktu setahun terakhir berbagai sumber penggerak pertumbuhan ekonomi mengalami kemerosatan, seperti: jatuhnya harga komoditas di pasar internasional; pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melemah dari 4.99% di triwulan IV 2015 menjadi 4.97% di triwulan I 2016; bahkan pertumbuhan konsumsi pemerintah merosot dari 7.31% di triwulan IV 2015 menjadi 2.93% di triwulan I 2016; pertumbuhan investasi yang tersendat dari 6.90% di triwulan IV 2015 menjadi 5.57% di triwulan I 2016; pertumbuhan ekspor yang masih negatif dari -6.44% di triwulan IV 2015 menjadi -3.88% di triwulan IV 2016; dan kondisi impor yang membaik karena berkurangnya impor dari -8.05% di triwulan IV 2015 menjadi -4.24% di triwulan I 2016.

Dengan melemahnya berbagai sumber penggerak pertumbuhan ekonomi 2016, maka pemerintah harus mengambil inisiatif melakukan intervensi sebagai sumber penggerak ekonomi dengan melakukan ekspansi mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja pemerintah (Goverment Spending). Namun dengan kondisi keuangan negara yang sangat mengkhawatirkan sangat sulit bagi pemerintah melakukan intervensi yang diharapkan. Kondisi penerimaan negara sampai akhir Mei 2016 tercatat sebesar Rp 466,6 triliun atau sebesar 25.24% dari target penerimaan negara yang ditetapkan dalam APBN2016 sebesar Rp 1.848,1 triliun. Bahkan penerimaan negara 2016 telah diperkirakan meleset sebesar Rp 290 triliun.

Diantara usaha yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara adalah: Pertama, mendorong disetujuinya RUU Pengampunan Pajak, dengan harapan akan ada tambahan penerimaan negara apabila RUU tersebut disetujui DPR; Kedua, adalah melakukan pemotongan anggaran belanja kementerian dan lembaga negara sebesar Rp 50 triliun, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016; dan Ketiga, dengan menambah utang melalui pengajukan RAPBNP2016 kepada DPR untuk meningkatkan defisit anggaran dari 2.15% (senilai Rp 273 triliun) menjadi 2.48% (senilai Rp 313 triliun), sehingga bisa menambah anggaran sebesar Rp 40 triliun.

Peningkatan utang pemerintah untuk dijadikan tumpuan penggerak pertumbuhan ekonomi bukanlah merupakan pilihan yang tepat dan ideal, dikarenakan adanya beberapa alasan: Pertama, sebenarnya Rasio Utang Indonesia (Pemerintah, BI, dan Swasta) terhadap PDB selalu meningkat setiap tahun meskipun masih dalam batas aman konvensional (Debt to PDB Ratio < 60%), misalnya Rasio Utang terhadap PDB pada 2012 sebesar 27.41% dan terus meningkat sehingga pada 2015 menjadi 35.98%, ada pertumbuhan Rasio Utang terhadap PDB sebesar 4.2% per tahun; Kedua, jumlah kewajiban pembayaran utang (cicilan bunga dan pokok utang) setiap tahun semakin membebani APBN, meningkat dari Rp 159 triliun pada 2012 menjadi Rp 220 triliun pada 2015, ada peningkatan pertumbuhan kewajiban pembayaran utang sebesar 12.6% per tahun yang lebih besar dari pertumbuhan penerimaan negara yang sebesar 10.7% per tahun (dari penerimaan negara Rp 1332 triliun di 2012 menjadi Rp 1758 triliun di 2015); dan Ketiga, kondisi postur fiskal yang kurang sehat dalam beberapa tahun terakhir, dimana sejak tahun 2012 kondisi Keseimbangan Primer (penerimaan negara dikurangi dengan belanja rutin plus pembayaran cicilan bunga dan pokok utang) keuangan negara selalu negatif, Keseimbangan Primer dalam APBN 2012 sebesar negatif Rp 52 triliun, dalam APBNP2015 sebesar negatif Rp 66 triliun, dan dalam APBN2016 negatif Rp 89 triliun.

Hal ini berarti bahwa penerimaan negara sejak 2012, tidak cukup untuk melakukan pembayaran kewajiban utang (pembayaran cicilan bunga dan pokok utang) pada tahun berjalan, dan harus menarik utang untuk mampu membayar kewajiban utang tahun berjalan, atau disebut juga negara berhutang untuk sebagiannya digunakan untuk membayar utang, atau utang yang dibayar dengan utang. Untuk APBN2016, dari total kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 273 triliun (defisit 2.15%), maka sebagiannya harus digunakan untuk kewajiban membayar utang (pembayaran cicilan bunga dan pokok utang) pada tahun berjalan sebesar Rp 89 triliun, sisanya tinggal sebesar Rp 184 triliun, baru bisa digunakan untuk alokasi belanja atau pembiayaan pemerintah lainnya. (PB 32. 180616)

Ir. Memed Sosiawan, ME

Ketua Bidang Ekuinteklh DPP PKS