Quantitative Easing (QE) Policy BI Senilai Rp 503,8 Triliun Belum akan Menggerakkan Sektor Riil
Oleh: Memed Sosiawan
Ketua DPP PKS Bidang Ekuintek-LH
Ditengah wabah COVID-19, mobilitas penduduk yang terbatas baik antara wilayah maupun antar negara menyebabkan penurunan permintaan dan terganggunya proses produksi global. Indikator dini menunjukkan ekonomi global terkontraksi sangat tajam, bahkan lebih dalam dari periode krisis finansial global 2008.
Kinerja manufaktur di mayoritas negara mengalami pemburukan signifikan di antaranya tercermin pada penurunan tajam Purchasing Manager Index (PMI). PMI negara-negara mitra dagang Indonesia pada bulan maret 2020, seperti: Amerika, Eropa, Jepang, dan Tiongkok, berada dibawah angka indeks 50, hanya India yang masih mempunyai PMI diatas angka indeks 50.
International Monetary Fund (IMF) pada World Economic Outlook (WEO) April 2020 merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2020 dari semula 3,3% (yoy) menjadi -3,0% (yoy) (Tabel 1.2). Consesus Forecast April 2020 juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2020 dari semula 2,8% (yoy) menjadi -0,9% (yoy). Proyeksi perekonomian global yang terkontraksi tersebut telah memperhitungkan dampak COVID-19 dari berbagai aspek, seperti (i) pola pandemi, (ii) containment, (iii) gangguan pasokan, (iv) keketatan kondisi finansial, (v) perubahan pola konsumsi dan perilaku, (vi) keyakinan bisnis, (vii) efek kepercayaan, dan (vii) volatilitas harga komoditas.
Perekonomian global menghadapi resiko resesi, kecuali Tiongkok dan India. IMF memprakirakan bahwa perekonomian AS pada 2020 akan tumbuh negatif sebesar -5,9% (yoy) dan pada 2021 tumbuh sebesar 4,7% (yoy). IMF juga memperkirakan bahwa perekonomian Eropa pada 2020 diprakirakan terkontraksi sebesar -7,5% (yoy) dengan penurunan terdalam pada triwulan II 2020. Kemudian IMF memperkirakan ekonomi Tiongkok hanya tumbuh 1,2% (yoy) pada 2020, jauh melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada 2019 sebesar 6,1%.
Perlambatan perekonomian dunia karena COVID-19 menurunkan permintaan barang-barang ekspor dan impor sehingga volume perdagangan menurun. Permintaan ekspor AS menurun akibat penurunan permintaan dari mitra dagang utamanya yakni Tiongkok dan Eropa. Permintaan ekspor Eropa juga menurun, bahkan lebih dalam dibandingkan dengan periode krisis finansial global (GFC). Pada 2020 volume perdagangan dunia diprakirakan mengalami kontraksi dengan pertumbuhan -0,8% pertahun dan mulai meningkat pada 2021 sejalan dengan pemulihan perekonomian global.
Kebijakan moneter ultra-akomodatif ditempuh berbagai negara untuk memitigasi dampak COVID-19. Bank sentral di berbagai negara melakukan pelonggaran suku bunga kebijakan dan likuiditas. The Federal Reserves (the Fed) dan Bank of Canada telah menurunkan suku bunga kebijakan hingga 150 bps sejak awal 2019. The Fed menurunkan Fed Fund Rate (FFR) dari 1,75% pada Januari 2020 menjadi 0,25% pada April 2020. Demikian pula sebagian besar negara maju dan berkembang juga menurunkan suku bunga kebijakan.
Selain itu, pelonggaran moneter juga dilakukan sejumlah bank sentral melalui Quantitative Easing (QE) secara masif. The Fed melakukan QE melalui pembelian US Treasury (UST) dan Mortgage Backed Securities serta Municipal Bonds dan bond yang lebih berisiko hingga 2,3 triliun dolar AS atau sekitar 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) AS. Sejumlah bank sentral juga melakukan pembelian obligasi pemerintah, penurunan Giro Wajib Minimum, dan Emergency Purchase Programme.
Bank Indonesia juga menginjeksi likuiditas sebesar Rp 503,8 triliun melalui kebijakan pelonggaran moneter atau Quantitative Easing (QE) untuk mendukung likuiditas perbankan yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari Januari-April 2020 telah QE yang dilakukan mencapai Rp 386 triliun.
Total injeksi periode Januari - April 2020 itu terdiri atas pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder yang dilepas investor asing sebesar Rp 166,2 triliun. Selain itu, QE juga bersumber dari term repo atau perjanjian pembelian kembali SBN perbankan, termasuk korporasi yang memiliki SBN dengan jumlah mencapai Rp137,1 triliun.
Selanjutnya, penurunan GWM pada Januari dan April 2020 mencapai Rp 53 triliun dan swap valuta asing mencapai Rp 29,7 triliun. Kemudian, untuk periode Mei 2020, kebijakan penurunan GWM 2 persen sebesar Rp 102 triliun sesuai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang akan berlaku pada 4 Mei 2020. Selanjutnya ada tambahan likuiditas dari kebijakan BI yang tidak mewajibkan selama satu tahun bagi bank yang tidak memenuhi rasio intermediasi makroprudensial senilai Rp 15,8 triliun.
Meskipun sudah dilakukan injeksi likuiditas moneter, kebijakan moneter tidak akan bisa langsung berdampak ke sektor riil, belum dapat langsung berpengaruh untuk menggerakkan sektor riil karena diperlukan percepatan kebijakan stimulus fiskal yang sudah diumumkan pemerintah untuk penanganan COVID-19.
Selain itu keberhasilan negara-negara besar meredam Global Financial Crisis (GFC) 2008 melalui kebijakan QE adalah, suku bunga yang ditetapkan untuk mendukung kebijakan QE mempunyai rate yang mendekati 0%. Seperti di Amerika, Fed Fund Rate (FFR) ditetapkan 0,25%. Demikian pula yang terjadi di Eropa dan Jepang dalam menjalankan kebijakan QE. Dengan suku bunga yang mendekati 0%, maka kelonggaran likuiditas yang diterima tidak disimpan lagi di perbankan namun digunakan untuk mendapatkan keuntungan lebih lanjut dan lebih besar di sektor riil.
Namun di Indonesia, suku bunga acuan BI masih ditetapkan 4,5%, dan sejak akhir Juni 2019 rerata tertimbang suku bunga deposito tercatat sebesar 6,16% atau turun 67 bps pada Februari 2020, sedangkan suku bunga kredit modal kerja turun 36 bps menjadi 10,07%.
Dalam kondisi wabah COVID-19 yang berisiko mendorong resesi dan membekukan sektor riil, akhirnya kelonggaran likuiditas yang didapatkan disimpan kembali ke perbankan karena tingginya suku bunga deposito atau digunakan untuk membeli obligasi pemerintah, yang yield-nya masih tinggi (dibandingkan dengan yield obligasi negara Asean lainnya). Pada Maret 2020, yield Surat Berharga Negara (SBN) mengalami kenaikan yang merata di seluruh tenor, yield SBN seri benchmark 10 tahun meningkat sebesar 96 bps ke level 7,91%.
Meskipun obligasi pemerintah dapat pula menggerakkan sektor riil karena dana yang didapatkan dari penjualan obligasi digunakan untuk membiayai defisit fiskal, maka akhirnya yang bisa tetap bergerak adalah program pemerintah di sektor riil, padahal proporsi belanja pemerintah (Government Spending) dan investasi pemerintah perannya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) hanyalah sekitar 20%, sedangkan sektor swasta dengan peran yang lebih besar dalam pembentukan PDB ketika mempunyai kelonggaran likuiditas akibat kebijakan QE tetap menunggu wait and see sambil menyimpan dananya di perbankan atau membeli obligasi pemerintah dan menunda investasi di sektor riil.
Bagi para peminjam yang memerlukan modal kerja untuk investasi juga masih akan menunggu turunnya suku bunga kredit yang tergolong masih tinggi dalam kondisi wabah COVID-19 (Jakarta, 2 Mei 2020. Bidang Ekuinteklh, DPP PKS).