PKS: Kalau Bukan Parpol, Siapa Lagi Yang Bisa Uji PT 20 Persen?

Jakata -- Kuasa Hukum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zainudin Paru mengatakan bahwa pihaknya yakin bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima legal standing atau kedudukan hukum PKS dan Dr. Salim Segaf Al Jufri, dan melanjutkan persidangan ke pembahasan pokok perkara berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur presidential threshold. 

“Kami memiliki kedudukan hukum secara khusus atau hak eksklusif yang eksplisit disebut dalam UUD 1945. Kalau bukan parpol, siapa lagi yang bisa mengui ketentuan presidential threshold 20%?” ujarnya usai persidangan pemeriksaan pendahuluan Mahkamah Konstitusi secara daring di Jakarta, Senin (8/8). 

Pernyataan Zainudin ini disampaikan untuk menjawab keraguan sejumlah kalangan terkait legal standing atau kedudukan hukum PKS dan Dr. Salim Segaf Al Jufri selaku pemohon, karena PKS dinilai telah ikut membahas pembuatan UU Pemilu yang sedang diujikan ini. 

Zainudin mengatakan tim kuasa hukum PKS telah memperjelas kedudukan hukum atau legal standing dalam pengujian ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 20% kursi DPR atau 25% suara nasional dalam perbaikan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan nasehat panel hakim konstitusi pada sidang sebelumnya. 

Setidaknya, ada dua poin utama mengapa dirinya yakin bahwa kedudukan hukum atau legal standing para pemohon akan diterima. Pertama, dalam pembahasan UU Pemilu, PKS secara tegas menyatakan menolak ketentuan PT 20%, bahkan melakukan walk out dalam persetujuan dalam rapat paripurna DPR RI. Ini menunjukan bahwa PKS telah menolak sejak awal. 

“MK dalam putusan sebelumnya memang pernah menyebutkan bahwa parpol yang ikut membahas dan menyetujui suatu UU, lalu mengujinya ke MK sebagai pelanggaran etika politik. Dalam kondisi judicial review UU Pemilu ini berbeda. Karena PKS sejak awal tidak menyetujui PT 20% ini,” tukasnya. 

Kedua, Zainudin menambahkan alasan lain mengapa PKS layak untuk mendapat kedudukan hukum. Ia mengutarakan berdasarkan riset tim hukum terhadap banyak putusan MK, terdapat pendekatan umum dan khusus, terhadap legal standing atau kedudukan hukum partai politik atau anggota DPR yang pernah membahas suatu UU, tetapi kemudian menguji UU tersebut ke MK. 

“Secara umum, dalam banyak putusannya, MK memang berpendapat bahwa parpol atau anggota DPR yang ikut membahas dan mengesahkan suatu UU tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk menguji UU tersebut ke MK,” ujarnya. 

Namun, lanjutnya, di dalam putusan MK yang lain, MK memberikan pengecualian terhadap pendekatan umum tersebut. “Dalam putusan lainnya, MK menyatakan bahwa anggota DPR yang ikut membahas dan mengesahkan suatu UU dapat diberikan legal standing, sepanjang berkaitan dengan hak eksklusif yang diberikan di dalam UUD 1945,” tukasnya. 

Jadi, berdasarkan argumentasi tersebut, maka sudah selayaknya PKS mendapatkan legal standing, karena permohonan yang diajukan berkaitan dengan hak eksklusif partai politik dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. “Berdasarkan Pasal 6A ayat (1) memang hanya parpol yang memiliki hak eksklusif mencalonkan presiden dan wakil presiden,” tukasnya. 

Selain berkaitan dengan kedudukan hukum, PKS juga memperbaiki dan memperkuat beberapa hal di dalam permohonan yang diajukan. Di antaranya adalah terkait dengan penghitungan angka presidential threshold berbasis ilmiah menggunakan metode effective number of parliamentary parties (ENPP). Dalam permohonan ini, PKS meminta agar MK menetapkan batas bawah 7 persen dan batas atas 9 persen untuk pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) dalam menetapkan ambang batas pencalonan presiden. 

Untuk memperkuat argumentasi tersebut, Zainudin menuturkan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah ahli pemilu dan hukum tata negara, baik dari dalam maupun dari luar negeri, untuk meyakinkan majelis hakim Mahkamah Konstitusi.