Muslimah Pemimpin itu Bernama Kalinyamat

Foto: Azzam/PKSFoto Jateng
Foto: Azzam/PKSFoto Jateng
Siang di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah cukup terik. Lamat-lamat gumpalan awan hitam mulai mengumpul. Penanda waktu belum juga menujukkan tengah hari saat puluhan perempuan berbusana putih-putih menaiki tangga berundak Astana Sultan Hadirin.

Satu per satu langsung menuju tempat mengambil air wudhu. Puluhan perempuan ini sedang mendatangi satu dari sepuluh masjid tertua di Tanah Jawa, Masjid Mantingan, Selasa (17/4/2018) kemarin.

Usai berwudhu di sayap utara masjid, perempuan Muslimah itu menunaikan shalat sunnah dua rakaat. Shalat tahiyyatul masjid. Mereka shalat diantara pilar-pilar bangunan masjid yang berdiri sejak abad 15 itu. Bangunan luar masjidnya adalah bangunan yang diperlebar. Guna melihat sejarahnya, kita hanya perlu melihat ruangan utama masjid yang tak lebih besar dari lapangan basket. Kecil memang, tetapi amat besar nilai sejarahnya.

Sang ketua rombongan, Wirianingsih lantas beranjak menemui Sang Penerima Tamu Masjid Mantingan, Ali Syafi'i. Mbah Ali yang tinggal 500 meter dari Masjid Mantingan kerap disebut orang-orang sebagai juru kunci masjid. Namun, lelaki 63 tahun ini lebih memilih sebutan Penerima Tamu.

Mbah Ali ini sederhana saja. Sarung, peci dan kemeja krem lama menjadi tampilan resminya sehari-hari. "Silahkan bertanya apa saja, nanti saya terangkan," paparnya kepada Wiwik yang membawa delegasi Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) DPP PKS.

Dengan tangkas Ali mengisahkan jika Masjid Mantingan dibangun oleh tiga pilar, Sultan Hadiri, Ratu Kalinyamat dan seorang arsitek dari China Tjie Hwio Gwan pada 1559.

Maka tak heran ada sentuhan arsitektur bergaya Tiongkok di Masjid Mantingan. Warna Merah, Hijau yang mencolok khas Tiongkok masih bisa dilihat pada mimbar khatib.

Ali menyebutkan peran besar Ratu Kalinyamat yang turut andil mendakwahkan Islam lewat pembangunan masjid. Sebagai putri keturunan Kesultanan Islam Demak, Ratu Kalinyamat menghidupkan syiar Islam lewat kekuasaannya.

Ali juga ingin meluruskan pandangan miring orang tentang sosok Ratu Kalinyamat. Ia digambarkan serupa sosok mistis. Ratu Kalinyamat disematkan dengan anggapan pertapa yang menjalani pertapaannya dengan melepas pakaian.

Dalam sebuah tembang Pangkur, disebutkan "Nimas Ratu Kalinyamat;Tilar pura mertapa ing wukir; Tapa wuda sinjang rambut"

Menurut Ali ungkapan tapa tanpa busana dalam tembang itu adalah kiasan semata bukan arti secara harfiah. Ali menyebut tapa melepas busana berarti melepas semua belenggu duniawi dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.

Hal ini dikonfirmasi oleh Sejarawan Jepara Hadi Priyanto. Dalam bukunya 'Ratu Kalinyamat Rainha de Japara' ia menyebut jika pertapa tanpa busana yang keterangannya berasal dari sebuah tembang tidak boleh dimaknai secara harfiah.

Menurut Hadi itu adalah simbol merendahkan diri dihadapan Yang Maha Agung dengan menanggalkan pakaian dan perhiasan sebagai simbol dunia.

Ali mengisahkan banyak simbol-simbol Islam dan pesan tauhid di Masjid Mantingan. Gerbang di dekat masjid adalah gapura bertuliskan lafadz syahadat.

Ukiran-ukiran yang menempel di dinding masjid dibuat dari batu yang khusus didatangkan dari China. Sebagai ahli ukir kerajaan China, konon sosok Tjie Hwio Gwan-lah yang memopulerkan seni ukir ke masyarakat Jepara.

Di dinding masjid ditemui dua jenis motif ukiran. Motif pertama adalah bentuk susunan masjid yang memiliki gerbang di bawah dan bangunan utama masjid di atasnya.

Sementara motif kedua adalah motif tanaman Brotowali yang tak memiliki ujung dan pangkal serta berpusat di tengah. "Inilah simbol Allahu awwalu wa akhiru, berpusat di tengah satu tidak ada Tuhan selain Allah SWT," kisahnya.

Masjid Mantingan adalah simbol. Simbol sosok Muslimah pejuang bernama Ratu Kalinyamat. Alih-alih sosok mistis, Ratu Kalinyamat adalah pejuang antikolonialisme. Baik Mbah Ali maupun dalam catatan Hadi, menyebutkan jika Ratu Kalinyamat dua kali mengirim pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka.

Wirianingsih yang sehari-hari disapa Wiwik mengaku mendapatkan inspirasi dari Mantingan. Di Bumi Jepara, jauh sebelum Kartini lahir sudah ada sosok perempuan maju dalam diri Kalinyamat.

Bahkan dalam beberapa literatur, Kartini yang lahir tiga abad setelah Kalinyamat wafat juga terinspirasi dari perjuangan putri Sultan Trenggono dari Kesultanan Islam Demak itu.

"Bahwa di Jepara sebelum Kartini lahir dengan segala perjuangannya pernah ada Ratu Kalinyamat, seorang pemimpin Muslimah yang mampu membawa Jepara sebagai daerah yang maju bahkan membangun hubungan internasional dengan China," papar Wiwik.

Pada momentum Hari Kartini yang ke-139 tahun ini, Wiwik bersama pegiat BPKK PKS dari Pusat, Jawa Tengah dan Jepara melakukan napak tilas perjalanan Kartini.

Kunjungan ke Makam Kalinyamat di kompleks Masjid Mantingan memiliki relevansi dengan semangat Kartini dalam memberdayakan perempuan Nusantara.

Secara silsilah, Ratu Kalinyamat dan Kartini bertemu di garis keturunan Prabu Brawijaya. Kartini juga menjadikan Kalinyamat sebagai model merumuskan cita-cita dan gagasannya. Selain itu sosok Kalinyamat dan Kartini membuktikan jika perempuan Indonesia sudah maju jauh sebelum negara ini berdiri.