Mindset Ekspansi

Mindset Ekspansi, Oleh Dr Sukamta (Anggota DPR RI dari Fraksi PKS)
Dimuat di Harian Republika 29 Oktober 2014

Di tengah berkecamuknya permasalahan bangsa, Sumpah Pemuda menjadi momentum yang tepat bagi kita untuk merefleksikan maknanya. Bangsa Indonesia telah berkali-kali memperingatinya, namun permasalahan bangsa belum juga terurai. Memang ini semua membutuhkan waktu. Dan ketidakjelasan mindset bangsa cukup signifikan menyebabkan kemajuan berjalan lambat meskipun Sumpah Pemuda telah terlewati 86 tahun lamanya, juga kemerdekaan yang 69 tahun sudah berlalu. Refleksi kita terhadap Sumpah Pemuda hendaknya menembus sekat-sekat yang ada hingga menyelami sanubari terdalam sejarah dan kekayaan bangsa. Mindset, yang merupakan derivasi dari visi bangsa kita, perlu terus diasah agar dapat memberikan arah perjalanan bangsa secara jelas.

Benar, selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, bangsa yang majemuk namun mampu hidup berdampingan dan bangsa yang secara geostrategis diapit oleh 2 samudera dan 2 benua. Namun hal ini bukanlah identitas yang menjadi visi, melainkan hanyalah sebuah identitas berupa fakta alamiah.

Bangsa Amerika menjadikan kebebasan (freedom) sebagai identitas yang sekaligus menjadi visi. Hal tersebut mengalir dan mendarah daging dalam jiwa setiap masyarakat Amerika. Jargon “novus ordo seclorum” menunjukkan visi Amerika untuk membawa masyarakat dunia pada satu tata dunia baru yang menjunjung tinggi kebebasan. Hasilnya, Amerika telah menjadi negara besar dan maju serta mampu “berekspansi” ke seluruh penjuru dunia. Jepang juga terkenal dengan sifat ksatria-nya. Jiwa Bushido demikian melekat pada jiwa-jiwa masyarakatnya. Jargon “hakko ichiu” juga merupakan visi besar bangsa Jepang yang menginginkan semua bangsa di dunia dari 8 penjuru mata angin berada di bawah satu atapnya. Demikian juga dengan bangsa Tiongkok yang memiliki visi “zhong guo” yang terkandung maknanya dalam nama negerinya : tiong / zhong (tengah) dan guo / kok (negeri). Bangsa Tiongkok menginginkan negerinya menjadi pusat peradaban dunia.

Visi-visi tadilah yang melahirkan mindset ekspansi. Amerika dengan visi besarnya itu kini mampu berekspansi dan “menguasai” dunia dengan ajaran demokrasi liberal dan kapitalismenya. Jepang juga mampu berekspansi dan merajai dunia dengan produk-produk teknologinya bahkan sempat “head to head”, meminjam istilah Lester Thurow, dengan Amerika. Tiongkok juga mampu berekspansi dan “menguasai” dunia dengan jumlah rasnya yang berjumlah sekitar 1.5 milyar dan produk-produknya yang membanjiri pasaran dengan harga bersaing. Kini Tiongkok pun menjadi “ancaman” yang digadang-gadang akan menggantikan Amerika sebagai penguasa dunia. Jargon Lebensraum Hitler juga menjadi inspirator bagi Jerman untuk berekspansi mencari ruang hidup (leben = hidup, sraum = ruang) ke bangsa-bangsa lain. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Bangsa Arisan

Bangsa Indonesia telah dijajah oleh bangsa-bangsa lain seperti Spanyol, Belanda, Portugis dan Jepang selama berabad-abad. Konon, bangsa Eropa terinspirasi mencari rempah-rempah ke nusantara dari sebuah buku Ittinerario yang menyebutkan adanya sebuah wilayah kepulauan di wilayah Timur yang kaya akan rempah-rempah, bertanah subur dan beriklim tropis. Terlepas dari benar atau tidaknya berita ini, penjajahan bangsa-bangsa tadi memang fakta.

Alih-alih untuk berekspansi, bangsa kita sibuk dengan keterkungkungan dalam negeri akibat penjajahan tadi. Penjajahan yang terjadi sebagai akibat dari segala hal ada di sini. Mulai dari minyak bumi, batu bara, gas alam, karet, kelapa sawit, bauksit, rempah-rempah, perikanan, hingga kekayaan flora dan fauna. Kekayaan alam inilah yang menjadikan bangsa kita kurang memiliki jiwa ekspansi karena justeru bangsa-bangsa lainlah yang berekspansi ke nusantara untuk mengeruk kekayaan alamnya.

Kecenderungan "mangan ora mangan asal kumpul" menandakan bangsa kita suka dengan kebersamaan. Jargon ini tetap hidup hingga sekarang. Maka tidak mengherankan jika masyarakat kita dikenal suka dengan aktivitas kumpul-kumpul dalam berbagai bentuknya seperti perkumpulan, paguyuban dan arisan. Pada level politik, hal ini menjadi social capital yang membentuk corak pengambilan keputusan dengan mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat.

Tapi hampir dapat dipastikan, bangsa Indonesia tidak pernah melakukan ekspansi ke bangsa-bangsa lain. Memang nenek moyang kita dahulu para pelaut yang menjelajahi samudera. Tapi hal ini tidak lantas menjadi indikator bahwa bangsa kita melakukan ekspansi. Masyarakat kita lebih cenderung untuk berkumpul di negerinya sendiri. Maka muncul pameo "hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri." Di sini, "orang bilang tanah kita tanah surga, rumput dan batu tumbuh jadi tanaman," kata Koes Plus.

Kimia Perubahan

Minimnya jiwa ekspansi yang diakibatkan secara tidak langsung oleh keterlenaan jiwa karena kenyamanan di negeri sendiri, menyebabkan pula bangsa kita menjadi bangsa yang rapuh. Hampir tidak ada kemandirian yang kita miliki. Banyak sekali sektor kita yang tergantung dengan kepentingan asing. Tidak ada keadaan yang mampu memaksa kita untuk menciptakan sesuatu yang dapat menjadi komoditas bangsa yang layak ekspor, selain bahan mentah.

Melihat realita seperti ini, hendaknya kita tanamkan dalam jiwa kita masing-masing tekad kuat untuk berubah. Untuk melakukan perubahan, alangkah baiknya kita menengok kimia perubahan yang tercipta saat Sumpah Pemuda dahulu.

Pada masa sebelum tahun 1928, para pemuda terpecah-pecah ke dalam kelompok-kelompok suku. Kemudian pada tahun 1928, mereka yang berasal dari beragam organisasi seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Islamiten Bond, Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Borneo, merasa terpanggil untuk berkumpul, berinteraksi dan berdiskusi demi kemajuan bangsa. Interaksi ini menghasilkan kesenyawaan dan keterikatan dalam hal pandangan dan perasaan. Ibarat reaksi kimia yang terjadi akibat dua unsur yang berinteraksi yang menyebabkan elektron-elektron bertemu lalu menghasilkan senyawa baru. Yang kemudian melahirkan kimia perubahan dalam pikiran dan jiwa mereka. Berubahlah mindset dan perasaan mereka yang sebelumnya terpecah ke dalam suku-suku bangsa. Mereka yang datang dari berbagai daerah dengan unsur-unsur kimia suku yang berbeda seperti fisik, bahasa, adat dan budaya, melebur menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa; Indonesia. Tercetuslah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai tonggak berdirinya sebuah bangsa.

17 tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945 adalah puncak perlawanan rakyat Indonesia dengan diproklamasikan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini menjadi tonggak berdirinya sebuah negara. Lalu 53 tahun lamanya Indonesia menyibukkan dirinya dengan pembangunan. Hingga kemudian lahirlah senyawa baru tahun 1998 bernama reformasi. Sejak itulah bangsa Indonesia melakukan perbaikan dalam semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegaranya.

Syarat Perubahan

Kimia perubahan yang terjadi pada Sumpah Pemuda tadi memberi contoh sebuah perubahan yang nyata dalam generasi kita. Maka, hal penting yang menjadi syarat perubahan di sini adalah adanya interaksi. Jika kita ingin berubah, banyak-banyaklah berinteraksi dengan segala hal. Berinteraksilah dengan peradaban lain, dengan orang lain. Lakukanlah diskusi dan curah gagasan, bukan sekadar kumpul-kumpul atau arisan. Diharapkan dengan interaksi-interaksi ini terbentuklah kimia perubahan yang melahirkan senyawa baru berupa mindset dan jiwa ekspansi.

Jika kita ingin menumbuhkan mindset dan jiwa ekspansi pada generasi muda, dorong dan bukalah peluang mereka untuk berinteraksi dengan peradaban luar. Sekitar 1 dekade belakangan ini ada gelombang berbondong-bondongnya generasi muda kita untuk mengenyam pendidikan di luar negeri. Ini sinyal yang bagus dan harus terus ditingkatkan. Anggaran pendidikan nasional 20% turut andil penting dalam menciptakan gelombang ini. Dengan menimba ilmu dari bangsa Amerika, Eropa, Tiongkok, Jepang, dst, diharapkan lahir jiwa ekspansi, bukan malah lahir perasaan inferiority complex terhadap bangsa-bangsa yang sudah maju.

Karenanya, tidak hanya sekadar interaksi, generasi muda harus mampu meneguhkan jati diri, identitas dan visinya sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kepribadian tangguh serta berbudi luhur. Jika tidak, maka alih-alih jiwa ekspansi yang lahir, tapi justeru perasaan minder. Alih-alih mampu memberi pengaruh positif kepada bangsa-bangsa lain, tapi justeru terlarut oleh arus global yang akhirnya "menjajah" bangsanya sendiri.

Modal Ekspansi

Seiring dengan kemajuan zaman, ekspansi tidak melulu dilakukan dengan persenjataan militer. Budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta tata nilai dapat menjadi modal ekspansi.
Bangsa Amerika, Eropa, Tiongkok, Jepang dan India, tidak serta merta melakukan ekspansi yang bebas tata nilai. Amerika berekspansi dengan tata nilai kebebasan dan demokrasi. Tiongkok juga berekspansi dengan nilai-nilai keluhuran filosofi Konfusianisme. Demikian juga dengan Jepang dan India yang masing-masing memiliki tata nilai dan budayanya.

Maka, tata nilai adalah modal ekspansi yang paling utama. Tata nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah nilai-nilai luhur yang ada pada Pancasila. Seharusnya, Pancasila inilah yang kita jadikan sebagai nilai jual ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa yang lain. Hampir semua ideologi di dunia terakomodasi dalam payung bernama Pancasila. Hal ini unik, karena sepertinya belum ada negara di dunia ini yang mampu mengakomodasi keragaman ideologi yang ada ke dalam dasar negaranya seperti Indonesia. Indonesia bukan negara agama sekaligus bukan negara sekular, tapi agama menjadi dasar yang menjiwai kehidupan berbangsa. Karenanya, Pancasila inilah nilai jual bangsa Indonesia di kancah global. Pancasila bisa menjadi contoh tata nilai bagi bangsa-bangsa lain. Dan inilah modal ekspansi kita.

Tidak Asal Ekspansi

Selama ini bangsa kita juga dianggap telah melakukan "ekspansi" dengan mengirim tenaga-tenaga kerja (TKI) pembantu rumah tangga ke berbagai negara di dunia yang pada praktiknya banyak mengalami intimidasi dan kekerasan dari para majikannya. Kita harus berusaha untuk menciptakan generasi muda yang tangguh sehingga dapat berekspansi ke seluruh penjuru dunia untuk menjadi tenaga kerja yang dihargai dan disegani karena keahlian, kepribadian dan intelektualitasnya.

Selama ini juga bangsa kita telah melakukan "ekspansi" secara ekonomi dengan mengekspor bahan-bahan mentah ke berbagai penjuru dunia. Sebetulnya hal ini tidaklah terlalu menguntungkan karena bahan mentah itu berharga cukup murah yang memiliki selisih harga yang besar dengan harga jual ketika bahan tersebut telah siap pakai. Selisih yang besar inilah yang menjadi keuntungan bagi negara-negara importir bahan mentah tadi. Ke depannya kita harus mampu mengelola sendiri bahan mentah menjadi barang siap pakai agar kemakmuran itu dapat kita rasakan.

Demikian harapan-harapan yang menjadi pekerjaan rumah kita semua. Bangsa ini memerlukan tekad perubahan dan ini dapat kita refleksikan dari semangat Sumpah Pemuda. Dengan modal nilai Pancasila, keahlian, intelektualitas, kekayaan alam dan kepribadian bangsa, kita dapat menciptakan mindset ekspansi ke segala penjuru dunia pada jiwa generasi muda. Menjadikan Indonesia sebagai soko guru peradaban dunia. Semoga.

Sumber: Harian Republika 29 Oktober 2014