Mega Korupsi di BUMN Asuransi, PKS: Mengelola BUMN Seperti Main-main

JAKARTA -- Dua perusahaan asuransi pelat merah (BUMN) PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (AJS) dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merugikan negara hampir Rp 40 triliun.

Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP PKS Farouk Abdullah Alwyni mengatakan, nilai kerugian dua perusahaan asuransi BUMN tersebut sangat fantastis dalam sejarah pengelolaan keuangan BUMN.

Farouk menilai, kesalahan yang menimbulkan kerugian negara sangat besar ini terletak pada tata kelola investasi dan risiko yang dilakukan oleh institusi keuangan yang melayani nasabah TNI, Polri, PNS Kementerian Pertahanan (Asabri) serta nasabah umum (Jiwasraya) tersebut.

Belum selesai sampai di situ, publik kembali dikagetkan dengan perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek.

"Saya melihat, ini sudah pada kayak main-main saja mengelola BUMN. Jiwasraya juga sudah dimasukkan dalam IFG (Indonesia Financial Group), BUMN Holding Perasuransian dan Penjaminan, dan juga telah meminta dan disetujui suntikan dana penanaman modal negara (PMN) sebesar Rp 20 triliun. Bahkan, saat ini sedang dalam proses untuk mendapatkan tambahan sebesar lagi Rp 2 triliun lagi," jelas mantan direktur Bank Muamalat tersebut dalam keterangannya, Jumat (5/3/2021).

"Berbagai skandal mega korupsi diatas menunjukkan buruknya penerapan corporate governance di BUMN Asuransi ataupun institusi negara kita,” kata Farouk.

Menurut alumnus New York University dan Birmingham University tersebut, kasus Asabri dan Jiwasraya memperlihatkan bahwa ada kelemahan fundamental terkait supervisi dari pemerintah selaku pemegang saham pengendali (PSP).

Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan tidak dapat mendeteksi persoalan-persoalan yang ada sejak dini yang pada akhirnya terjadi ledakan dari akumulasi persoalan yang ada. Farouk lantas juga mempertanyakan fungsi pengawasan OJK.

Dengan melihat proses kolusi tersebut, Farouk menyentil paket remunerasi yangg besar bagi para pejabat pemerintah dan petinggi BUMN karena faktanya tidak sejalan dengan kinerjanya.

"Meski para petinggi dan pejabat BUMN telah menikmati remunerasi yang besar tapi tetap saja korupsi, maka disini ada persoalan sistemik baik terkait GCG maupun terkait etika dan integritas dari para pengelolanya," tukasnya.

"Bayangkan jika dana dana (remunerasi-red) tersebut bisa dimanfaatkan untuk program pengentasan kemiskinan, suntikan dana untuk para pelaku sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan juga perbaikan fasilitas kesehatan tingkat kelurahan,” imbuh Farouk.

PKS memandang dari kasus-kasus perampokan duit negara bermodus investasi ini ujung pangkalnya adalah masalah dalam pengelolaan dana investasi di BUMN-BUMN keuangan, lembaga keuangan dan entitas pemerintah.

Jika ditilik lebih dalam, ada kemiripan dalam praktik investasi di Jiwasraya dan Asabri. Kemiripannya adalah kedua BUMN Asuransi tersebut banyak menginvestasikan dananya disaham tidak likuid. Pada kasus Jiwasraya hanya 5 persen yang diinvestasikan disaham LQ45, disamping juga 98 persen dari reksadana dikelola oleh manajer investasi yang tidak termasuk ‘top tier.’  

Bahkan banyak saham-saham yang dimiliki oleh Jiwasraya juga dimiliki oleh Asabri. Hal yang lebih mengagetkan adalah, saham-saham tersebut terafiliasi dengan Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro (Bentjok), yang keduanya menjadi terdakwa untuk kasus Jiwasraya dan status tersangka untuk kasus Asabri.

Hal ini terjadi karena adanya kerjasama antara Heru dan Benny dengan Jiwasraya maupun Asabri dalam mengelola investasi kedua BUMN tersebut, sebagaimana disebutkan oleh persidangan Jiwasraya dan pernyataan Kejagung.