Konflik Iran dan AS, Berdampak Bagi Perekonomian Indonesia

Jakarta (07/01) --- Konflik AS dan Iran memberikan tekanan yang cukup berarti bagi ekonomi dunia. Satu hal yang paling terasa adalah kenaikan harga minyak mentah. Harga minyak jenis WTI dan Brent sudah mencapai US$63 per barrel dan US$68 per barrel.

Di Indonesia, pada jangka pendek, transmisi pengaruh konflik AS dan Iran terlihat dari pergerakan Rupiah terhadap US$ serta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Data nilai tukar Rupiah terhadap US$ per 2 Januari menguat menjadi US$13.895; sedangkan pada 6 Januari tertekan menjadi US$13.961 per US$. IHSG pada 6 Januari terkoreksi menjadi 6.257 dari posisi 6.323 pada 3 Januari lalu.

Sementara pada jangka menengah, transmisi konflik AS dan Iran bergerak ke defisit neraca perdagangan melalui defisit neraca migas.

Ecky Awal Mucharam, Anggota DPR Fraksi PKS, menjelaskan tantangan di awal 2020 sudah cukup berat terutama tekanan eksternal.

"Jadi, pemerintah sudah sejak awal harus siap dan mencari langkah-langkah antisipasi. Konflik AS-Iran akan mendongkrak harga minyak dan memaksa defisit neraca migas naik. Padahal, defisit migas mulai surut pada 2019", ungkap Ecky.

Sementara lanjut Ecky, Januari-November 2018, defisit migas mencapai US$12,3 miliar dan pada Januari-November 2019 mencapai US$8,3 miliar. Jadi, defisit migas bisa memburuk dan mendekati angka 2018.

“Sebagai negara net importir minyak, Indonesia terlihat tidak memiliki langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan energi nasional. Padahal, dampaknya sangat krusial bukan hanya bagi kantong pemerintah juga terhadap masyarakat", terang Ecky.

Jika nantinya harga minyak jauh di atas asumsi APBN, kata Ecky mau tidak mau pemerintah akan menaikkan harga minyak subsidi. Tentu ini akan menyengsarakan rakyat.

“Ketahanan energi kita sangat lemah, sehingga rentah terhadap gejolak dari ekonomi global”, tutup Ecky.