KONDISI PEREKONOMIAN GLOBAL MASIH BELUM PULIH (RECOVERED) DALAM POTRET IMF DAN THE FED

Dalam lima tahun terakhir, sejak dimulainya perang dagang (Trade War) antara Amerika dan China selama pemerintahan Trump kondisi perekonomian global terus mengalami pelemahan. Pada saat itu diprediksikan hanya tiga negara yang mempunyai kondisi perekonomian yang masih baik yaitu China, India, dan Indonesia. Prediksi tersebut ternyata meleset disebabkan oleh terjadinya pandemi Covid19 secara global. Sehingga seluruh dunia akhirnya mengalami pelemahan ekonomi yang berlanjut dalam kurun dua tahun. Lockdown yang terjadi di seluaruh dunia menyebabkan melambatnya (slowdown) bahkan macetnya aktifitas perekonomiaan. Karena pergerakan orang, barang, dan jasa merosot tajam serta cenderung stagnan. Bahkan Indonesia yang semula di prediksi masih mempunyai pertumbuhan ekonomi positif, ternyata mengalami resesi pada tahun 2020 dengan pertumbuhan ekonomi (-) 2,07%.

Ketika semua negara di dunia sedang berusaha melakukan pemulihan (recovery) terhadap kondisi perekonomiannya yang terpuruk selama pandemi Covid19, kemudian terjadilah perang Ukraina Rusia yang sudah berlangsung selama enam bulan terakhir. Perang ini sangat menghambat pemulihan perekonomian global, karena Ukraina dan Rusia (terutama Rusia) adalah penghasil komoditas pangan dan energi dunia, yang memasok gas, minyak, batubara, minyak nabati, gandum, pupuk, emas dan lain-lain ke pasar global. Sampai hari ini Amerika masih mengimpor pupuk dari Rusia. Tidak mungkin terjadi pemulihan ekonomi tanpa adanya kelancaran rantai pasokan komoditas ke pasar global.

Dalam sepekan terakhir ada dua lembaga yang merilis laporannya terkait dengan kondisi perekonomiaan dan pengaruhnya secara global, yaitu: Internasional Monetary Fund (IMF), World Economic Outlook Update (Gloomy and more Uncertain), pada 26 Juli 2022; dan The Federal Reserve Bank (The FED), Federal Open Market Comitte (FOMC) Meeting, pada 27 Juli 2022. Tentu saja Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem perekonomian terbuka akan sangat dipengaruhi oleh terjadinya dinamika perekonomian global.

Internasional Monetary Fund (IMF), World Economic Outlook Update (Gloomy and more Uncertain).

Untuk 2022, IMF memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 3,2%. Melambat dibandingkan proyeksi pada akhir tahun lalu sebesar 6,1% dan proyeksi pada bulan April lalu sebesar 3,6%. Lebih rendahnya proyeksi pertumbuhan tersebut disebabkan, diantaranya oleh penurunan konsumsi daya beli dan kebijakan moneter ketat membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi AS berkurang 1,4 poin persentase. Di China, dengan terus berlanjutnya lockdown dan krisis properti yang semakin dalam membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi ke bawah sebanyak 1,1 poin persentase. Di Eropa, efek perang di Ukraina dan kebijakan moneter ketat membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi berkurang signifikan.

Tidak hanya itu, tantangan ke depan juga masih sangat berat sehingga sangat mungkin menyebabkan risiko penurunan proyeksi lebih lanjut. Seretnya pasokan gas alam dari Rusia, inflasi yang kian sulit dikendalikan, ketatnya kondisi pasar keuangan, penyebaran Covid19, eskalasi krisis properti di China, serta fragmentasi geopolitik membuat upaya pemulihan bakal terhambat. Kalau risiko-risiko tersebut terjadi. Pertumbuhan ekonomi global bisa melambat menjadi 2,6% dan 2,0% pada 2022 dan 2023.

Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju diprediksi sebesar 2,5% (2022) dan 1,4% (2023), sedangkan di negara-negara berkembang diprediksi sebesar 3,6% (2022) dan 3,9% (2023). Pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asean diprediksi sebesar 5,3% (2022) dan 5,1% (2023), dengan kondisi yang lebih baik dari pertumbuhan ekonomi di negara-negara Timur Tengah dan Asia Tengah yang diprediksi sebesar 4,8% (2022) dan 3,5% (2023), serta pertumbuhan ekonomi di negara-negara Sub Sahara Afrika yang diprediksi sebesar 3,8% (2022) dan 4,0% (2023). China sendiri diprediksi hanya akan mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 3,3% (2022) dan 4,6% (2023), pertumbuhan tersebut adalah setengah dari pertumbuhan ekonomi China selama ini. Dan Rusia yang sedang terlibat perang dengan Ukraina diprediksi mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi (-)6,0% (2022) dan (-)3,5% (2023).

Saat pertumbuhan ekonomi di berbagai negara melambat, ternyata tidak demikian dengan inflasi. Pada 2022, IMF memperkirakan laju inflasi di negara-negara maju bisa mencapai 6,6% dan di negara-negara berkembang diperkirakan 9,5%. Masing-masing bertambah 0,9 poin persentase dan 0,8 poin persentase dibandingkan prediksi edisi April 2022.

Amerika dan Inggris mengalami inflasi tertinggi selama 40 tahun terakhir, inflasi Inggris pada bulan Mei sebesar 9,1% dan inflasi Amerika pada bulan Juni sebesar 9,1%. Di negara Eropa mengalami inflasi sebesar 8,6% yang merupakan inflasi tertinggi sejak berlakunya mata uang tunggal Euro, bahkan Spanyol mengalami inflasi yang meroket menjadi 10,8%. Eropa masih diperkirakan akan mengalami inflasi lebih tinggi lagi karena sejak bulan April, aliran gas dari Rusia sudah berkurang drastis menjadi 40% dari total pasokan gas ke Eropa tahun lalu, dan pada akhir Juli ini Rusia kembali mengurangi pasokan gas ke Eropa menjadi 20% menjelang musim dingin yang akan segera datang. 

The Federal Reserve Bank (The FED), Federal Open Market Comitte (FOMC) Meeting.

Dengan adanya mandat dari Kongres Amerika untuk mendorong terbukanya lapangan pekerjaan dan menjaga stabilitas harga, sedangkan kondisi pasar tenaga kerja saat ini sangat ketat dan adanya inflasi yang tinggi, maka rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC) pada 27 Juni 2022 menetapkan kebijakan kenaikan interest rate sebesar 0,75% basis point (bps) menjadi 2,25% - 2,50%. Dengan kebijakan kenaikan suku bunga ini, The Fed ingin menekan inflasi kembali turun dari 9,1% menjadi dibawah 2,0% dengan kondisi pasar tenaga kerja yang baik dan berkesinambungan.

Kenaikan suku bunga menjadi 2,5% pada akhir bulan Juli 2022 ini termasuk lebih cepat dari rencana The Fed pada tahun 2021, karena Rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC) pada 16 Juni 2021 memroyeksikan kenaikan suku bunga beberapa kali direncanakan nanti pada 2023 dari suku bunga awal sebesar 0,25% - 0,05% (End of Zero Interest Rate Policy). Padahal sebelumnya bahkan diperkirakan kenaikan suku bunga baru akan terjadi pada 2024. Tingginya angka inflasi mendorong The Fed menaikkan suku bunga lebih cepat dari rencana semula pada 2023 atau 2024.

Sebenarnya Amerika Serikat (AS) secara definisi saat ini telah mengalami resesi. Amerika mencatatkan pertumbuhan negatif dua kali berturut-turut selama dua kuartal dalam tahun yang sama. Dalam pengumuman terbaru Biro Statistik, produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal II/2022 kontraksi atau negatif 0,9% secara tahunan (year-on-year/yoy). Padahal di kuartal I/2022 yoy, pertumbuhan pun tercatat negatif sebesar 1,6%. Namun Menteri Keuangan AS Janet Yellen membantah negerinya mengsalami resesi, karena mengatakan bahwa ekonomi AS berada dalam keadaan transisi, bukan resesi, meskipun dua kuartal berturut-turut dalam tahun yang sama mengalami pertumbuhan negatif.

Dampak Suramnya Kondisi Perekonomian Global bagi Negara Berkembang termasuk Indonesia

Rangkaian kondisi pelemahan perekonomian dengan inflasi tinggi karena terhambatnya rantai pasokan, bukan meningkatnya permintaan, yang diredam dengan kebijakan suku bunga tinggi berpotensi mendatangkan resesi. Di Amerika kondisi kebijakan suku bunga tinggi yang diikuti dengan resesi ini dalam empat-puluh tahun terakhir telah terjadi beberapa kali. Pada awal tahun 1979 ketika terjadi Krisis Minyak (Oil Crisis), suku bunga ditetapkan sebesar 17% sehingga mendorong adanya resesi (-)2,0%, bahkan suku bunga dilanjutkan naik sampai 19% (1980) yang mendatangkan resesi sebesar (-)3,0%. Kemudian suku bunga diturunkan secara drastis menjadi 9% pada tahun berikutnya sehingga pertumbuhan ekonomi bisa sampai meningkat menjadi 8%.

Pada tahun 1990 terjadi krisis tabungan dan pinjaman (Saving and Loan Crisis) ketika diterapkan suku bunga tinggi 10% yang mendorong terjadinya resesi (-)1,0%. Kemudian suku bunga diturunkan menjadi pada kisaran 3,0% - 6,0% dan Amerika juga memulai perang Iraq sehingga pertumbuhan ekonomi terjaga pada kisaran 4,5% sampai tahun 2000. Lima tahun berikutnya The Fed mulai menerapkan suku bunga rendah pada kisaran 2,0% dan pertumbuhan ekonomi terjaga pada 3,5%. Namun sejak 2006 diterapkan kembali suku bunga tinggi sebesar 5% untuk meredam inflasi yang juga naik mendekati 5%. Kemudian terjadilah krisis keuangan global (Financial Crisis) pada 2008 yang mendorong Amerika ke jurang resesi (-)4,0%. Untuk mendorong pemulihan ekonomi, maka sejak 2009 kemudian diterapkan kebijakan suku bunga rendah 0,25% - 0,50% (End of Zero Interest Rate Policy) yang mendorong perekonomian Amerika stabil dengan pertumbuhan pada kisaran 3,0% sampai tahun 2015. Kemudian inflasi kembali merangkak naik diikuti dengan kenaikan suku bunga karena terjadinya perang dagang dengan China, Pandemi Covid19, dilanjukan dengan terjadinya perang Ukraina Rusia.

Siklus naik dan turunnya suku bunga The Fed sangat mempengaruhi perekonomian global karena mata uang dollar Amerika (US$) digunakan sebagai alat pembayaran sampai lebih dari 50% transaksi perdagangan global, sehingga siklus tersebut juga mempengaruhi kuat lemahnya kurs mata uang dari negara lain yang terkoneksi dengan perekonomian global. Semua krisis yang terjadi di Amerika dari tahun 1970 - 2008 juga menyebabkan terjadinya krisis keuangan di negara-negara berkembang. 

Siklus turunnya suku bunga The Fed selalu diikuti oleh penambahan likuiditas perbankan (Quantitave Easing) yang dimaksudkan untuk medorong perekonomian dan menjaga stabilitas inflasi, sedangkan siklus kenaikan suku bunganya selalu diikuti oleh pengurangan likuiditas perbankan (Tapering Off) dalam rangka meredam ancaman inflasi. Kenaikan suku bunga The Fed akan menaikkan suku bunga simpanan di perbankan Amerika. 

Ketika suku bunga simpanan di perbankan Amerika naik, maka pemilik modal US$ yang selama ini menempatkan dananya di luar negeri yaitu di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia akan menarik dananya untuk ditempatkan kembali di Amerika. Sehingga akan banyak pemilik modal US$ menarik keluar dananya dari Indonesia untuk kembali ke Amerika, akibatnya korporasi di Indonesia yang selama ini mengandalkan modal US$ akan mengalami kesulitan likuiditas. Disisi lain jumlah US$ yang beredar di Indonesia juga akan berkurang drastis sehingga menaikkan kurs US$ dan melemahkan kurs Rupiah, akibatnya korporasi di Indonesia yang memiliki utang dalam US$ akan kesulitan mendapatkan pasokan US$ dan kalaupun tersedia harus didapatkan dengan nilai kurs yang tinggi. Kondisi kurangnya likuiditas US$ ini akan semakin meningkatkan resiko pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Gabungan situasi melemahnya perekonomian global yang diiringi dengan inflasi tinggi dan tingginya suku bunga dapat menjurus ke kondisi resesi. Padahal negara-negara Amerika, Eropa, China, Jepang, Korea, juga Timur Tengah merupakan negara tujuan ekspor dari barang dan komoditas dari Indonesia. Selanjutnya tersumbatnya rantai pasokan gandum, minyak, gas, minyak nabati, barang modal industri dibarengi dengan kenaikan harga-harganya dapat mengganggu kelancaran produksi perekonomian Indonesia. Beberapa negara berkembang yang diperkirakan akan mengalami krisis keuangan selain Srilangka adalah: Laos, Myanmar, Afghanistan, Maladewa, Bangladesh, dan Pakistasn. Indonesia sendiri berpotensi mengalami inflasi tinggi karena naiknya harga-harga komoditas di pasar global dan harus mulai menyesuaikan suku bunganya menjadi lebih tinggi untuk meredam inflasi yang naik, serta Indonesia juga masih termasuk dalam daftar negara dengan potensi resesi (-)3%. (Depok, 29 Juli 2022)