Hidayat Nur Wahid Dialog dengan Mahasiswa Indonesia di Saudi

Arab Saudi -- Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid bersama delegasi MPR RI menggelar dialog dengan mahasiswa Indonesia yang ada di Arab Saudi. Dialog ini diadakan di sela-sela kunjungan bertemu dengan Raja Salman, Ketua Majelis Syura Arab Saudi dan Sekjen World Muslim League.

Dalam dialog tersebut, Salah seorang wakil mahasiswa, Ridho menjelaskan mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Saudi berjumlah sekitar 1.500 orang. Mereka kuliah di 19 kampus yang tersebar di 16 kota. Tidak hanya menuntut ilmu agama, melainkan juga sains dan teknologi karena kampus di Saudi sudah berstandar internasional.

"Kami mahasiswa Indonesia berusaha menunaikan kewajiban utama untuk belajar sesuai dengan kompetensi masing-masing. Tetap kami juga peduli dengan masalah kemanusiaan karena UUD NRI 1945 menyatakan dalam Pembukaan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dari situ kami belajar memahami semangat para Pendiri Bangsa," ujar Ridho yang kini menjabat Ketua Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Saudi.

Berbagai isu kemanusiaan sempat dibahas dan diadvokasi mahasiswa, antara lain penindasan yang terjadi terhadap rakyat Palestina, Uighur dan Rohingnya. Bahkan, mahasiswa sempat melakukan simposium internasional di Amman, Yordania untuk membahas isu global dan perdamaian dunia. Perwakilan mahasiswa dari 17 negara di kawasan Timur Tengah hadir.

"Kami ingin mengetahui sejauhmana sikap pemerintah Indonesia terhadap masalah kemanusiaan seperti Palestina dan Uighur. Kami sudah berdiskusi dan kampanye damai, namun yang dibutuhkan adalah tindakan kongkrit. Kami sadar itu hanya bisa dilakukan pemerintah yang memiliki otoritas dan sumber daya," tanya Ridho yang kuliah di King Saud University.

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid sangat senang melihat semangat mahasiswa. Itu mengingatkan saat Hidayat belajar di Islamic University Madinah selama 13 tahun (1980-1993) untuk menempuh pendidikan sarjana hingga doktoral. Hidayat juga pernah aktif sebagai Ketua PPI cabang Arab Saudi sebelum berubah menjadi PPMI.

"Perlu dijelaskan posisi MPR (yang terdiri dari anggota DPR dan DPD RI) dalam tata negara memang berbeda dengan pemerintah atau Presiden dan kabinetnya. Posisi kami mengawasi jalannya pemerintahan sesuai UUD dan UU terkait. Jika sikap pemerintah sudah sejalan dengan semangat konstitusi, maka kita dukung. Bila menyimpang, kami akan ingatkan," Hidayat menegaskan.

Berkaitan dengan sikap dan kebijakan pemerintah terhadap isu-isu kemanusiaan memiliki koridor tersendiri, yang biasa disebut kepentingan nasional. Namun, konstitusi juga menggariskan prinsip yang harus dipegang pemerintah dalam menjalankan kebijakan.

"Dalam kaitan dengan isu Palestina, kami melihat pemerintah sudah cukup serius. Mulai dari upaya diplomatik di forum internasional maupun tindakan di lapangan. Namun, dalam isu Uighur yang mencuat saat ini, kami ingatkan agar pemerintah Indonesia jangan sekadar menjadi penonton. Karena sudah 22 negara anggota PBB yang menyetujui petisi agar pemerintah RRC diminta penjelasan Komisi HAM PBB," ungkap Hidayat.

Sikap pemerintah jangan pasif yang dibungkus istilah soft diplomacy, karena politik luar negeri kita berprinsip bebas-aktif. Indonesia bisa mendorong dibentuknya komisi pencari fakta independen yang beranggotakan tokoh-tokoh profesional dan kredibel dari berbagai negara.