Dukung Sebatik Secara De Facto dan De Jure

Penulis: Dr Sukamta (Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS)Tulisan ini dimuat di rubrik Suara Politikus Sindonews.com pada 15 November 2014

Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan merupakan pulau kecil yang harus mendapatkan perhatian khusus dan solusi konkret terkait dengan situasi sosial dan fakta carut-marut perbatasan di sana.

Secara administratif, Pulau Sebatik terbagi dua, yaitu Bagian utara seluas 187,23 km2, masuk wilayah negara bagian Sabah, Malaysia, dan bagian selatan seluas 246.61 km2 menjadi bagian dari Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara.

Ada banyak pulau kecil yang termasuk ke dalam 3 T (tertinggal, terluar, terdepan). Kita harus serius untuk membangun daerah-daerah 3 T ini.

Salah satunya adalah Pulau Sebatik yang kondisi di sana cukup memprihatinkan dilihat dari segi sosial, perbatasan wilayah dan ketimpangan ekonomi. Hal ini harus mendapat solusi yang konkret dari kita semua secara de facto dan de jure.

Ini tiga hal kondisi di Sebatik. Pertama, perbatasan wilayah Indonesia dengan Malaysia seolah tidak ada, dikarenakan tidak adanya batas fisik yang jelas seperti pagar atau dinding misalnya yang menandakan batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia, sehingga keluar masuk orang antar dua negara menjadi bebas.

Kedua, akibatnya, secara sosial warga negara Indonesia dan warga negara Malaysia telah berbaur tanpa sekat. Bahkan di sana ada dualisme mata uang, rupiah dan ringgit. Sampai ada rumah yang bagian terasnya masuk wilayah Indonesia, namun dapurnya masuk wilayah Malaysia.

Ketiga, adanya ketimpangan ekonomi antara warga negara Indonesia dengan warga negara Malaysia. Ketimpangan itu juga tampak jelas jika kita membandingkan kondisi pembangunan Sebatik dengan Tawau, Malaysia.

Ketimpangan ini berimbas kepada banyaknya warga negara Indonesia yang mengunjungi Tawau dibanding warga negara Malaysia yang mengunjungi Sebatik.

Menurut data Statistik Kegiatan Pos Imigrasi Sungai Pancang Tahun 2011, terdapat 29.107 Warga Negara Indonesia yang pergi ke Tawau, sedangkan warga negara Malaysia yang pergi ke Sebatik hanya sekitar 108 orang. Timpang sekali. Angka ini jelas menunjukkan ketergantungan Sebatik kepada Tawau.

Harga-harga antara Sebatik dan Tawau juga terjadi kesenjangan yang luar biasa. Bayangkan saja, misalnya harga gas elpiji 12 kg dari Pertamina harganya Rp250.000 per tabung, sedangkan harga gas elpiji 14 kg dari Malaysia hanya seharga kurang dari Rp80.000.

Transaksi jual beli gas ini juga dilakukan dengan tidak mempedulikan asal kewarganegaraan. orang yang tidak punya Mykad (KTP Malaysia) saja bisa beli gas Malaysia dan ke luar masuk Tawau dengan bebas.

Gaji menjadi tentara Kerajaan Malaysia juga lima kali lebih besar dari pada gaji menjadi tentara di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka tidak heran jika banyak warga negara Indonesia yang menyeberang menjadi Warga Negara Malaysia karena urusan perut yang lapar.

Anggota DPR dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta ini juga menceritakan bahwa sepanjang November 2012, sekitar 2.000 lebih warga Sebatik Indonesia ke luar masuk Tawau, Malaysia, tanpa paspor, hanya menggunakan kartu pas lintas batas untuk menjual berbagai hasil bumi seperti pepaya, pisang, hingga ikan, sedangkan pulangnya mereka membawa gula, beras hingga solar.

Untuk membangun pabrik es saja tergantung dengan Tawau, karena untuk memenuhi kebutuhan nelayan saja es harus dibeli di Tawau, apalagi listriknya tidak kuat.

Ketertinggalan pembangunan Sebatik juga tampak jelas. Meski sudah ada beberapa puskesmas, beberapa SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah, hotel tanpa bintang, dan kendaraan-kendaraan lebih ramai lalu-lalang dibanding masa lalu, namun Sebatik tetaplah daerah yang dapat dikatakan miskin. Karenanya Sebatik ini masuk kategori daerah 3 T tadi.

Solusi dari permasalahan Sebatik ini harus meliputi dukungan secara de facto dan de jure agar jangan sampai kasus seperti Sipadan dan Ligitan, di mana bangsa Indonesia kalah telak secara de facto dan de jure dari Malaysia, kembali terulang.

Dukungan untuk Sebatik secara de facto adalah perlumya dibangun infrastruktur fisik di garis batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia.

Memang sekarang berkembang konsep bahwa batas negara lebih bersifat frontier (batas nonfisik), namun meskipun begitu border (batas fisik) juga jangan dilupakan. Sedangkan secara de jure kita perlu pikirkan agar Sebatik ini menjadi Kabupaten tersendiri di Provinsi Kailmantan Utara, bukan sebatas kecamatan seperti selama ini.

Dengan menajdi kabupaten, Sebatik berpotensi akan menjadi mandiri dan lebih kuat secara de jure. Kalau hanya menjadi kecamatan di bawah Kabupaten Nunukan, investasi tidak mau masuk ke Sebatik karena izin dipegang Kabupaten Nunukan.

Anggaran untuk Pulau Sebatik juga harus dikucurkan melalui Nunukan sehingga Sebatik sulit berkembang. Dengan menjadi kabupaten maka berbagai persoalan di Sebatik berpotensi bisa diselesaikan sendiri. Sekali lagi ini musti kita pikirkan. Kalau tidak, bisa lepas itu pulau. Jangan sampai.

Sumber: Sindonews.com pada 15 November 2014