Ancaman Moneter AS dan Lambatnya Pemulihan (Recovery Speed) Perekonomian Indonesia

Oleh: Memed Sosiawan

Ketua KKP MPP PKS

Setelah merosot dihantam wabah pandemi Covid19, perekonomian AS pulih (Recovery Speed) lebih cepat dari yang diperkirakan semula. Kondisi tersebut ditandai dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang mencapai 6,4% secara tahunan. Sejalan dengan naiknya permintaan dan tumbuhnya perekonomian, inflasi tahunan AS juga naik menjadi 1,9% per akhir Maret 2021. Bahkan, Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari perkiraan sebelumnya 2,4%. Merespons pertumbuhan ekonomi AS yang relatif cepat tersebut, Rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (Federal Open Market Committe/FOMC) pada 16 Juni 2021 memroyeksikan kenaikan suku bunga 2 kali pada 2023 dari level saat ini sebesar 0,25%. Padahal sebelumnya diperkirakan, kenaikan suku Bunga baru akan terjadi pada 2024 (Kompas, 23/06/2021).

Ada 2 indikator yang dijadikan acuan The Fed dalam merubah kebijakan moneternya, yaitu: inflasi lebih besar dari 2,0% dan perbaikan kondisi pasar tenaga kerja AS. Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (25/6/2021) merilis data terbaru yang melaporkan inflasi inti berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan Mei tumbuh 3,4% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992. Sementara data tenaga kerja yang dirilis pada Jumat malam (02/07/2021), menyatakan bahwa hasil polling Reuters terhadap para ekonom menunjukkan sepanjang bulan Juni penambahan pekerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll) diprediksi sebanyak 700.000 orang, lebih banyak dibandingkan penambahan bulan Mei 559.000 orang. Sementara tingkat pengangguran diprediksi turun menjadi 5,7% dari sebelumnya 5,8%.

Sebelum merubah kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan, The Fed tentunya akan melakukan Tapering Off (TO) dari Quantitative Easing (QE) yang ada saat ini diguyurkan senilai US$ 120 miliar atau sekitar Rp 1700 triliun per bulan. Kalau nilai QE nya dikurangi US$ 10 miliar per bulan, maka diperlukan waktu setahun sehingga QE akan berakhir pada 2022. Dua kebijakan dari AS yaitu TO dan kenaikan suku bunga ini akan berpotensi menimbulkan dampak ikutan bagi perekonomian Indonesia.

TO akan menurunkan permintaan pembelian obligasi AS sehingga harganya akan jatuh. Dampaknya, imbal hasil (yield) obligasi AS akan meningkat. Adapun kenaikan suku bunga acuan akan diikuti oleh naiknya pula bunga berbagai instrument investasi di AS. Kondisi ini tentu akan membuat portofolio investasi di AS menjadi relatif lebih menarik dibandingkan dengan pasar keuangan (money market) di negara-negara lain, terutama negara berkembang. Pada gilirannya, dana asing jangka pendek (hot money) yang ditanam di negara-negara berkembang  termasuk Indonesia, akan lari (capital out flow) ke AS.

Kondisi ini akan memicu sejumlah persoalan di Indonesia, antara lain kejatuhan kurs rupiah dan anjloknya harga surat utang yang diterbitkan pemerintah (surat berharga negara/SBN). Agar SBN tetap mempertahankan dan menarik kembali investor, pemerintah harus menaikkan imbal hasil (yield) SBN. Kenaikan yield SBN tentu akan menjadi beban tambahan bagi pengelolaan fiskal karena beban bunga utang akan meningkat dan berpotensi menggerus anggaran pemerintah. Padahal belanja pemerintah masih menjadi andalan untuk memulihkan ekonomi.

Sementara itu Bank Indonesia juga harus menaikkan suku bunga acuan untuk meredam kejatuhan kurs rupiah agar tidak menjadi lebih dalam. Tercatat level terkuat rupiah Rp 13.855/US$ dicapai pada 4 Januari lalu. Namun sayangnya rupiah malah berbalik melemah bahkan sempat ke atas Rp 14.600/US$. Di akhir semester I-2021, rupiah berada di kisaran Rp 14.495/US$, dan mencatat pelemahan sebesar 3,24%.

Kemampuan ekonomi AS yang dapat pulih lebih cepat dari perkiraan semula sehingga memberi potensi ancaman moneter ke Indonesia, dapat menghambat kondisi pemulihan ekonomi di Indonesia selama atau setelah pandemi Covid19 sampai beberapa tahun kedepan. Terkait dengan kecepatan pemulihan ekonomi (Recovery Speed) di Indonesia, Bank Dunia (World Bank) pada bulan Juni 2021 telah merilis Indonesia Economic Prospect yang menggambarkan prediksi prospek perekonomian Indonesia sampai dengan tahun 2023. Dalam laporan tersebut kecepatan pemulihan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan 12 negara lain. Ternyata kecepatan pemulihan ekonomi Indonesia termasuk yang paling lambat, hanya sekitar 1% pada Q1-2021. Sedangkan negara lain seperti Rusia sebesar 2%, Thailand dan China 3%, Brasil dan Paraguay 4%, Afrika Selatan dan Malaysia serta Argentina 5%, Mexico 6%, India dan Turkey 8%, serta Philipina 13%.

Laporan Bank Dunia tersebut juga menggambarkan kondisi penjualan barang retail (retail sales) dan kegiatan manufaktur. Meskipun penjualan barang retail Indonesia masih paling lemah dibandingkan dengan negara China, Thailand, Brasil, Afrika Selatan, dan Turkey. Namun kegiatan manufaktur Indonesia sudah kembali menguat, yang tergambar dari Purchasing Managers Index (PMI). Kegiatan manufaktur Indonesia posisinya nomer dua dibawah Malaysia, sedangkan beberapa negara lain seperti India, Thailand, Brasil, Vietnam, China, dan Philipina posisinya berada dibawah Indonesia.

Laporan Bank Dunia tersebut juga menyampaikan perkiraan kondisi perekonomian Indonesia sampai tahun 2023, sebagaimana terlampir dalam Table ES.1 diatas. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 4,4% (2021), 5,0% (2022), dan 5,1% (2023). Defisit anggaran diperkirakan sebesar -5,4% (2021), -4,1% (2022), dan kemudian kembali menjadi -3,0% (2023) sesuai dengan amanat Undang-Undang. Dengan kondisi pertumbuhan ekonomi dan defisit anggaran selama tiga tahun kedepan, diperkirakan rasio utang pemerintah adalah 43,0% pada tahun 2023, artinya rasio utang tersebut naik hampir dua kali lipat dari 24,68% pada tahun 2014 (Depok, 5 Juli 2021).