MENYIKAPI HOAX

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mohamad Sohibul Iman
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mohamad Sohibul Iman

MENYIKAPI HOAX

OLEH MOHAMAD SOHIBUL IMAN,Ph.D.

PRESIDEN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)

 

Akhir-akhir ini ruang publik kita dipenuhi dengan percakapan berita bohong atau hoax. Ini tentu meresahkan kita semua. Banyak pihak bertanya-tanya, kenapa hal ini bisa terjadi?

Secara garis besar, kita bisa melihat fenomena ini sebagai cerminan dari tiga hal. 

Pertama, terbiarkannya isu-isu krusial yang terus berkembang di masyarakat namun belum mendapatkan penjelasan yang memadai dari pihak yang berwewenang. Pemerintah tampak begitu gagap dan lambat dalam menjawab isu-isu krusial tersebut sehingga meresahkan publik.

Ironisnya, bukan hanya tidak memberi kejelasan atas permasalahan yang berkembang, pemerintah justru seakan-akan ikut andil dalam menciptakan suatu kondisi yang menyebabkan tumbuh suburnya hoax di tengah-tengah masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari buruknya koordinasi antara Presiden dan para anggota kabinetnya dalam menyikapi suatu permasalahan yang muncul serta berbagai pernyataan publik yang mereka sampaikan.

Ambil contoh bagaimana Pemerintah dalam hal ini penegak hukum tampak begitu lambat dalam merespon tuntutan publik terkait dengan kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (BTP). Penegak hukum terkesan seolah-olah pasang badan dan melindungi Saudara BTP sehingga sikap itu berhasil memantik amarah publik. Di saat yang sama, kondisi ini diperparah dengan tindakan yang cenderung represif dari pemerintah yang mana hal tersebut justru menimbulkan masalah baru di tengah-tengah masyarakat. Ketidakmampuan Pemerintah menyikapi kasus tersebut semakin menguatkan kecurigaan publik atas adanya agenda tertentu sehingga menjadikan kasus tersebut bola liar yang dapat mencipatkan instabilitas sosial dan politik nasional.

Respon pemerintah dalam isu tenaga kerja asing dan hegemoni Tiongkok di kawasan termasuk terhadap Indonesia terlihat juga kurang meyakinkan. Kegamangan pemerintah ini seolah-olah menjadi pembenaran atas keresahan publik di tengah-tengah kondisi ketidakadilan sosial-ekonomi yang semakin memburuk. Tidak heran jika publik pun menaruh rasa curiga terhadap informasi yang disuguhkan oleh pemerintah karena dianggap informasi tersebut berat sebelah, sarat keberpihakan dan diduga menjadi instrument propaganda.

Kedua, fenomena hoax bisa jadi merupakan cerminan dari kegagalan media mainstream sebagai referensi publik yang dapat dipercaya. Di saat pemerintah mengalami krisis kredibilitas, ternyata media juga kurang mampu meneguhkan dirinya sebagai referensi publik dalam mendapatkan informasi yang kredibel. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh dua hal. Pertama, kualitas produk jurnalistik yang terkadang kurang memperhatikan standar dan kode etik jurnalistik. Kedua, rapuhnya independensi media dalam bekerja.

Dalam konteks kualitas jurnalistik, terkadang media turut andil dalam menciptakan hoax dan menyulut konflik di tengah-tengah masyarakat. Sebagai pilar demokrasi, seharusnya jurnalistik mengusung jurnalisme edukatif yang mencerahkan sehingga publik memiliki kesadaran luhur menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan persaudaraan.  Bukan justru menyulut sengketa dan konflik. Prinsip “bad news is good news” sangat tidak baik bagi demokrasi dan persatuan bangsa. 

Banyak media yang tersandera oleh kepentingan pemilik modal yang juga seorang politisi atau pendukung kekuatan politik tertentu. Media sebagai salah satu pilar terpenting demokrasi telah kehilangan independensinya. Sehingga media menjadi partisan dan jurnalis pun menjadi petugas partai. Ini memprihatinkan dan tentunya tidak kita harapkan.

Yang ketiga adalah faktor media sosial. Semakin menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah dan media mainstream dalam memperoleh informasi, mendorong mereka berkreasi sendiri dengan mengakses atau bahkan memproduksi sendiri informasi. Media sosial akhirnya menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya berbagai macam informasi. Namun sayangnya, meningkatnya peran media sosial tidak diiringi dengan kecerdasan literasi publik. 

Darurat kecerdasan literasi telah membuat ruang publik digital kita tercemari dengan informasi yang memicu permusuhan. Melimpahnya informasi terkadang membuat kita terlihat seperti orang yang tidak terdidik (untuk tidak mengatakan bodoh). Dengan mudah kita share info-info sampah, bahkan dengan info-info itu kita tebarkan ujaran kebencian dan fitnah. 

Boleh jadi ini paradoks paling heboh di era media sosial: makin melimpah informasi bukan membuat kita semakin bijak dan penuh hikmah tetapi justru membuat kita semakin ceroboh dan gemar tebarkan fitnah.

Pada kasus ekstrim, ujaran kebencian dan hoax itu timbulkan irreversible damage yakni kerusakan korban yang tidak bisa dipulihkan. Itu kerugian besar. Petaka bagi semua.

Di media sosial ada orang atau kelompok yang hobinya menghasut. Ada juga orang atau kelompok yang dengan mudah dihasut. Jadilah kolaborasi antara penghasut dan terhasut sehingga semua pihak menjadi kusut. Ada orang atau kelompok yang hanya bisa eksis dengan menghasut. Hakikatnya mereka itu pengecut. Mereka sorak sorai bila kita layani. Kita tinggalkan mereka akan mati sendiri. 

Jika demikian, bagaimana kita menyikapi fenomena hoax ini? 

Pertama, Pemerintah harus mampu merespon isu-isu krusial yang berkembang di masyarakat secara cepat, tepat dan akurat. Keresahan publik harus dijawab dengan bukti dan nalar argumentasi, bukan tindakan represi. Integritas harus dikedepankan dengan satunya ucapan, tindakan dan kebijakan. Pernyataan dan sikap yang saling lempar tanggungjawab semakin menunjukkan inkompentsi pemerintah dalam mengelola negara. Inkompentensi ini akan melahirkan kegamangan kolektif di benak publik. 

Kedua, mari kita dorong bersama agar peran pers atau media kembali kepada khittahnya sebagai penyambung lidah rakyat. Kembalikan jurnalis sebagai petugas rakyat, bukan petugas partai atau petugas pemilik modal. Demokrasi membutuhkan pers yang sehat, pers yang cermat, pers yang berdiri dengan kaki sendiri yang senantiasa berjuang dengan menegakkan prinsip-prinsip kebenaran yang mereka yakini bukan didorong oleh kepentingan modal dan politik praktis. 

Ketiga, pemerintah, pers, civil society dan tentunya partai politik harus bersama-sama mengkampanyekan pentingnya membangun kecerdasan literasi publik dalam mengakses dan memproduksi informasi. Hoax adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh siapa pun, dan harus dijadikan musuh bersama karena merugikan semua pihak dan menceraiberaikan keutuhan bangsa. 

Di saat yang sama publik harus dibekali dua hal: kesadaran moral dan kesadaran operasional. Kesadaran moral penting ditumbuhkan karena berbohong dan menyebarkan kebohongan adalah tindakan yang tidak bermoral dan tidak dibenarkan oleh agama manapun.

Sedangkan kesadaran operasional memberikan edukasi terkait bagaimana menggunakan media sosial yang beradab.  Pastikan kita memahami, mengkonfirmasi dan memverifikasi terlebih dahulu informasi yang kita terima sebelum kita menyebarluaskan. Dan kita harus cegah dan lawan perilaku hoax di sekitar kita. Mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat kita. 

Kesadaran moral dan operasional ini harus menjadi kerja kolektif bersama semua pihak. Pemerintah, pers, civil society dan partai politik bisa menjadi motor dalam mengkampanyekan ini. Kebohongan tidak akan pernah bisa bertahan selama kebenaran masih ada yang mempercayainya dan istiqomah memperjuangkannya.