Komisi X: Isu Pendidikan Jangan Hanya Untuk Kepentingan Jualan Pilkada

Jakarta (8/1) -- Isu pendidikan seharusnya tidak dijadikan jargon-jargon kampanye para calon kepala daerah menjelang Pilkada Serentak yang akan berlangsung di 171 daerah di seluruh Indonesia pada Juni tahun ini. Karena yang terjadi malah jauh antara janji dan realisasi.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mencermati, hampir pasti para calon kepala daerah akan mengusung isu pendidikan di samping isu-isu lainnya, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.

“Saking seringnya isu pendidikan dijadikan andalan para calon yang bertarung di Pilkada, maka hampir pasti isu ini akan terus dijual. Sayangnya hal tersebut tidak diikuti dengan realisasi perbaikan sarana pendidikan usai para calon terpilih. Apalagi di seantero negeri jumlah sekolah dengan kelas rusak mencapai 70 persen, dan menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan banyak daerah sudah angkat tangan untuk mengatasi sekolah yang rusak,” ujar Fikri, dalam rilisnya, Senin (8/01/2018).

Ia juga menjelaskan mengenai adanya Undang-Undang Otonomi Daerah memang telah mengatur pembagian kewenangan pusat dan daerah, salah satunya urusan pendidikan. Karenanya, setiap daerah memiliki perangkat kerja sendiri (SKPD) yang khusus menangani urusan pendidikan dan langsung bekerja di bawah Walikota, Bupati atau Gubernur.

“Selain Pemerintah Pusat, Kepala Daerah jelas ikut bertanggungjawab atas kemajuan pendidikan di daerahnya. Sistem otonomi yang demikian luas diberikan kepada Pemerintah Daerah, terbukti gagal dimanfaatkan dengan baik, khususnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah melalui infrastruktur. Buktinya, terdapat 1,3 juta lebih ruang kelas yang rusak, dari 1,8 juta total secara nasional,” ungkap Fikri.

Selain itu, tambah Fikri, adanya itikad yang kurang baik juga ditunjukkan oleh tidak terserapnya Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan dari pusat sebanyak triliunan rupiah. Menurut data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2016, oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan senilai Rp 8,4 triliun DAK tidak disalurkan daerah dengan berbagai alasan.

“DAK adalah representasi dana pusat yang penggunaannya harus seoptimal mungkin oleh daerah, agar pembangunan dapat merata. Bila uang yang ada saja tidak terserap, bagaimana mau mengoptimalkan pendapatan daerah untuk membangun sektor pendidikan,” tegasnya.

Fikri menyayangkan banyaknya kejadian kepala daerah yang terlibat korupsi. Sebagian besar bahkan terkait penyelewengan dana pendidikan, yang menempati porsi terbesar dalam anggaran pemerintah.

“Hampir setengah kasus korupsi di daerah terkait dana pendidikan. Hal itu karena daerah melalui pimpinannya kurang mendorong proses penganggaran yang partisipatif dan terbuka. Saya berharap agar publik akan semakin cerdas dalam memilih calonnya di Pilkada nanti, terutama yang memiliki kerja nyata dan terbukti bersih dan peduli,” harap Fikri.