Hari Aksara Internasional, Abdul Fikri Soroti Rendahnya Indeks Literasi

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih

Jakarta (8/9) – 8 September 2017 diperingati sebagai Hari Aksara Internasional sejak ditetapkan di Teheran (Iran) pada tahun 1965. Adapun tema besar yang diusung pada peringatan Hari Aksara Internasional kali ini adalah “Literacy in A Digital World”. Sehingga, Kemdikbud menerjemahkan hal itu menjadi “Membangun Budaya Literasi di Era Digital”.

Merujuk hal itu, Indonesia telah mencapai 97,93 persen angka bebas buta aksara (Kemendikbud, 2016). Artinya, masih ada sekitar 2,07 persen atau 3,4 juta warga Indonesia yang masih belum mengenal huruf dan mampu membaca.

Jumlah Angka Buta Aksara itu berada dalam rentang usia 15-59 tahun yang tersebar di 11 provinsi Indonesia. Peringkat pertama diduduki oleh Provinsi Papua (28,75 persen), NTB (7,91 persen), NTT (5,15 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen), Kalimantan Barat (4,50 peren), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jawa Timur (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,90 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), dan Jawa Tengah (2,20 persen).

Meskipun demikian, dari sisi Indeks Literasi Dunia, berdasarkan riset dari John Miller, President Universitas Central Connecticut State di New Britain pada 2016, Indonesia masih menempati peringkat 60 dari 61 negara yang berhasil dihimpun datanya.

Riset ini menekankan pada hasil ujian literasi dan juga melihat  karakteristik sikap terpelajar. Misalnya, jumlah perpustakaan dan koran hingga lamanya sekolah, serta ketersediaan komputer di sebuah negara.  Sehingga, indeks ini bukan hanya melihat kemampuan penduduk sebuah negra dalam membaca atau menulis saja. Tapi, juga perangkat pendukung dan sikap terpelajar warganya.

Menanggapi ini, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengaku prihatin melihat indeks tersebut. Pemerintah, tambahnya, perlu kerja keras untuk menaikkannya. Terutama Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan Perpusnas.

“Urusan literasi ini tersebar di beberapa instansi namun koordinasinya rendah. Program pemberantasan buta aksara ada di Dirjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud. Tapi yang terus memantau tingkat literasi negeri ini adalah Perpusnas. Koordinasi antar keduanya pun tak terlihat, belum lagi dengan instansi lain yang mengampu fungsi pendidikan,” jelas Anggota Fraksi PKS DPR RI ini.

Di sisi lain, anggaran untuk meningkatkan Indeks Literasi masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara di ASEAN. Misalnya, Singapura mengalokasikan anggaran untuk institusi seperti Perpusnas hingga Rp 1,7 triliyun per tahun. Malaysia sampai Rp 66,8 triliyun rupiah. Indonesia hanya Rp 500 miliar.  

“Padahal jumlah penduduk mereka sangat jauh lebih sedikit dibanding kita, Indonesia,” tegas wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX yang meliputi Kabupaten/Kota Tegal, serta Kabupaten Brebes ini.

Faktor lain yang jadi pemicu rendahnya literasi Indonesia adalah rendahnya koordinasi vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Seharusnya Pemerintah Daerah saling melengkapi, tidak melulu bergantung dengan Pemerintah Pusat.

Hal itu karena, tambahnya, fungsi pendidikan adalah fungsi yang didesentralisasikan sesuai asas otonomi daerah.

“Namun, faktanya, daerah masih tergantung pusat  terutama dari sisi anggaran, karena memang PAD daerah maksimal hanya 10% dari APBD-nya. 90% anggaran daeerah selama ini berasal dari kucuran pusat berupa DAU, DAK, dan dana bagi hasil. Sehingga ruang fiskal daerah untuk mengatasi problema lokal kesulitan. Termasuk masalah literasi ini,” papar Fikri.

Sehingga, Abdul Fikri berharap adanya Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ini menjadi kesempatan bagi pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia dapat merenungkan kembali tantangan keaksaraan, termasuk rendahnya tingkat literasi di antara negara-negara dunia.