Fraksi PKS Menolak Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Jakarta -- RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi sorotan banyak pihak karena isinya dinilai berpotensi memberi ruang bagi perilaku seks bebas yang secara otomatis bertentangan dengan Pancasila dan norma agama. 

Setelah terlibat dalam beberapa kali pembahasan akhirnya Fraksi PKS pun memutuskan menolak RUU ini. Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Sukamta menegaskan pimpinan Fraksi PKS menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan akan memerintahkan Poksi 8 untuk menindaklanjutinya secara teknis.

Sukamta menjelaskan alasan PKS menolak RUU ini. “Sekilas tujuan RUU ini nampak baik yaitu untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan seksual, namun setelah dipelajari lebih dalam, pasal demi pasal, ayat demi ayat, ada yang secara makna dan tafsiran bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama,” papar Sukamta di Jakarta, Rabu (30/1).

Ia menjelaskan Fraksi PKS tidak serta merta menolak. Dalam perjalanan pembahasan RUU ini, Fraksi PKS telah mengajukan empat poin perubahan yang dianggap penting dan mendasar.

Pertama adalah usulan pergantian nomenklatur ‘kekerasan seksual’ menjadi ‘kejahatan seksual’, agar memiliki ketegasan derajat hukum yang berat.

Istilah kejahatan seksual menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang lebih tegas sehingga dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur pidana dalam pembuktian.

"Istilah Kejahatan Seksual juga lebih memenuhi kriteria 'darurat kejahatan seksual' yang sedang terjadi di masyarakat. Selain itu istilah kejahatan seksual juga sudah digunakan dalam Undang-undang Pelindungan Anak," ungkap dia.

Kedua, papar Sukamta, melakukan perubahan definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Definisi yang dirumuskan dalam RUU yang ada sekarang masih ambigu sehingga menimbulkan keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan.

"Diantaranya dengan tidak memperhitungkan risiko korban dapat kehilangan nyawa dari tindakan kejahatan seksual; memasukkan unsur 'hasrat seksual' yang luas yang dapat berimplikasi pada sikap permisif terhadap perilaku seksual menyimpang juga karena menggunakan istilah 'relasi kuasa' yang dapat disalahpahami dengan 'relasi suami-istri'," papar Sukamta.

Ketiga, berkaitan dengan peran pemerintah, FPKS mengusulkan untuk memasukkan klausul langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual.

Diantaranya dengan mewajibkan kepada pemerintah untuk memerangi pornografi, peredaran ilegal narkotika, zat psikotropika, serta minuman keras sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencegahan kejahatan seksual.

Keempat, F-PKS mengajukan untuk menambahkan nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi asas pertama dalam Rancangan Undang-undang tersebut.

Fraksi PKS berpandangan menjadi penting untuk menggunakan pendekatan ketaatan terhadap Agama sebagai salah satu perspektif dalam pencegahan kejahatan seksual. Ketaatan terhadap ajaran Agama yang dianut akan menimbulkan kesadaran hakiki seseorang untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat seseorang karena dianggap sebagai perbuatan dosa.

Hal ini sejalan pula dengan makna filosofis Sila ke-2 Pancasila yang dijiwai oleh Sila ke-1 bahwa upaya-upaya untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab dengan menentang segala perbuatan keji, jahat, tercela yang tidak mencerminkan keberadaban sebagai manusia, haruslah dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sayangnya, tutur dia, keempat poin perubahan tersebut tersebut tidak terakomodasi dalam RUU hingga pembahasan terakhir. Maka setelah menimbang dengan cermat serta mendengarkan aspirasi dari banyak pakar dan tokoh umat, dengan tegas Fraksi PKS memutuskan menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini.

“Sesuai dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan Pancasila maka FPKS dengan tegas menolak RUU ini demi tetap terjaganya NKRI dan terjaganya moral bangsa kita di masa sekarang dan masa yang akan datang," tegas wakil rakyat dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta ini.