Waspadai Ancaman Bencana di Akhir Tahun

Semarang (28/11) - Anggota Komisi D DPRD Jawa Tengah Rusman meminta seluruh elemen masyarakat di Jateng untuk mewaspadai ancaman bencana yang terjadi di bulan-bulan akhir tahun 2017 dan awal tahun 2018. Hal tersebut tak terlepas masuknya musim hujan di bulan November 2017.
 
“Hujan sudah datang kembali, sehingga kewaspadaan terhadap potensi bencana alam di Provinsi Jawa Tengah harus diitngkatkan, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat sendiri,” katanya pada Senin (27/11/2017) di Kota Semarang.
 
Ada 76 zona merah kawasan bencana. Dan berdasarkan Data Dinas PU SDA dan Taru Jateng mencatat, 32 kabupaten/ kota masuk rawan bencana. Kecuali, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, dan Kota Tegal. Dari puluhan daerah itu, 1.719 desa di 334 kecamatan berstatus rawan banjir dan 1.594 desa berstatus rawan longsor.
 
“Yang pertama, perlu dipahami adanya anomali cuaca, seperti karakteristik curah hujan, hujan tersebut adalah karena siklus hidrologi yang tidak pernah berubah. Jika dulu, ada bulan pasti yakni bulan September hingga April atau sekitar delapan bulan. Namun saat ini, karena adanya pemanasan global, hujan itu semakin pendek, lari ke bulan Oktober sampai bulan Januari,” jelasnya.
 
Selain itu, kata Rusman, sesuai dengan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Semarang yang menyebutkan puncak musim hujan terjadi pada Januari 2018. Pada November ini, seluruh Jateng sudah masuk awal penghujan.
 
“Adanya pemangkasan waktu hujan karena Global Warming ini mengakibatkan jumlah air yang turun ke bumi sama dengan kondisi saat musim hujan bulan stabil, cenderung mengakibatkan curah hujan menjadi ekstrem. Akhirnya,hal ini menjadi penyebab timbulnya bencana alam. Ini yang pertama yang harus dipahami,” tukasnya.
 
Dalam kondisi tersebut, terutama di Jateng, alur hujan di Jateng bergerak dari Jateng barat-selatan, yakni Karesidenan Banyumas, menuju ke Purworejo, ke Banjarnegara, kemudian bergerak ke tengah, seperti di Temanggung, Semarang, Demak.
 
“Jika di wilayah selatan sudah terjadi masuk hujan sangat deras, ternyata di wilayah solo Raya masih hujan pertama, bahkan masih ada daerah yang belum terdampak hujan, dari sini bisa kita memahami bahwa di Jateng, daerah yang paling rawan terjadi bencana adalah Banjarnegara, Wonosobo dan Magelang untuk bencana tanah longsor,” jelasnya.
 
Selain itu, Rusman mengatakan bahwa salah satu kunci utama dari Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah aspek pemahaman, yakni masyarakat. Aspek ini adalah agar warga masyarakat tetap hidup aman, nyaman selamat dari bencana walau berdampingan dengan ancaman (living in harmony with disaster).
 
“Dalam konteks kebencanaan, masyarakat harus terus di edukasi. Tapi memang ini bukan perkara sederhana, kita mencontohkan kalau di daerah yang rawan bencana di Gunung Merapi dan Gunung Merbabu terjadi bencana, masyarakat, uatamanya di Kabupaten Klaten, Boyolali dan Magelang sadar dan kadang ‘nagih’ Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat untuk diedukasi kebencanaan,” paparnya.
 
Dia menuturkan bahwa lain halnya ketika sudah ada di Banyumas, Banjarnegara, Karanganyar yang juga masuk titik-titik bencana longsor, mereka cenderung menghindar ketika akan diedukasi tentang kebencanaan.
 
“Dengan kondisi semcam itu, pola pendekatan ini harus diubah dalam skala penanganan bencana. Harusnya, Edukasi penyadaran masyarakat, early warning sistem, bahkan membuat simpul-simpul relawan sampai di tingkat yang paling kecil, utamanya di daerah yang di indikasi rawan bencana alam,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
 
Sementara, untuk masyarakat, kata Rusman, harus jeli tentang tanda-tanda alam, masyarakat harus jeli, jangan terlalu berharap kepada pemerintah. Karena 80 persen penyelamatan bencana itu di masyarakat sendiri, masyarakat harus peka terhadap tanda alam.
 
“Jika berada di daerah yang perbedaan kandungan air, antara musim kemarau dan hujan itu ekstrim, daerah tersebut cenderung rawan longsor. Dengan kondisi tersebut, masyarakat jangan menanam pohon besar. Atau jika ada masyarakat yang ada bantaran sungai, biasanya sungai menjadi keruh dan sampah hanyut di sungai, lalu menemui fenomena saat masa hujan deras tiba-tiba sungai menjadi jernih, harus peka karena bisa jadi ada penyumbatan sungai,” ujarnya lagi.
 
Dalam waktu dekat ini, Rusman juga meminta masyarakat waspada cuaca ekstrem untuk seluruh wilayah Jataeng, khususnya untuk terjangan angin kencang bersamaan dengan hujan yang juga disertai dengan kilat dan petir.
 
Berdasarkan data BMKG, potensi hujan lebat hingga ekstrem di wilayah Jawa Tengah akan terjadi di Ambarawa, Majenang, Wonosobo, Ungaran, Temanggung, Sragen, Semarang, Salatiga, Purworejo, Purwokerto, Purwodadi, Purbalingga, Pati, Mungkid, Magelang, Kendal, Kebumen, Jepara, Demak, Cilacap, Boyolali, Blora, Batang, dan Banjarnegara.
 
“Secara umum, masyarakat harus mewaspadai potensi genangan, banjir maupun longsor di kawasan yang berpotensi hujan lebat. Kami juga menyarankan masyarakat harus menyiapkan diri dengan selalu memawa payung dan jas hujan ketika keluar rumah, waspada dengan perubahan kondisi cuaca di laut tiba-tiba akibat adanya awan Cumulonimbus, serta tunda aktivitas penangkapan ikan secara tradisional hingga gelombang tinggi mereda," katanya lagi.
 
Menurut Rusman, berdasarkan data BMKG menyebutkan bahwa potensi puting beliung dan angin kencang akan terjadi pada sore hingga menjelang malam hari.
 
“Khusus untuk otoritas transportasi waspadai terhadap potensi genangan yang bisa muncul di jalan raya, jalur kereta api dan bandar udara, periksa kendaraan ketika akan melakukan perjalanan serta memerika ban untuk bersiap kondisi jalanan licin,” pungkasnya.